Irene menatap semu tembok di depannya. Kata-kata Ian terngiang-ngiang di kepala. Entah mengapa kata-kata itu sangat menyakitinya.
Bila dipikir lebih mendalam, Irene tahu bahwa kata-kata Ian ada benarnya. Mereka sudah menikah, sudah sepantasnya bila mereka tidur bersama. Tidak ada salahnya pula melakukan hubungan badan. Itu hal yang wajar dan lumrah dilakukan oleh sepasang suami istri.
Tapi ... hatinya tidak bisa menerima. Seolah-olah ada lubang menganga di dada. Sesak dan menyakitkan. Irene mengharapkan lebih dari ini. Bukan hanya hubungan badan, tapi melibatkan perasaan. Ian tidak bisa memberikan apa yang ia inginkan. Perasaan Ian terhadapnya hanya sebatas sahabat, tidak bisa lebih.
Irene takut dengan perasaannya. Irene takut bila mereka lebih dekat dari ini, perasaan itu akan kembali muncul seketika. Irene tahu konsekuensi menyukai dan mencintai seorang Ian. Pada akhirnya hatinya akan kembali terluka. Ia tidak ingin merasakan luka itu lagi. Terlalu menyakitkan hanya untuk diingat, apalagi dirasakan.
Lalu bagaimana? Apakah mereka akan seperti ini seterusnya? Hidup bagaikan dua orang asing. Ataukah ia hanya perlu berpikir secara dewasa, menutup mata dan mengabaikan segala perasaan yang ada? Membiarkan Ian mendapatkan haknya?
Irene menggeleng-gelengkan kepala. Hal seperti ini harus dipikirkan secara serius. Ia tidak boleh egois dan berpikir dari satu sisi. Ia butuh waktu untuk berpikir dan menelaah semuanya.
Malam itu mereka tidur dalam posisi saling membelakangi. Irene tampak sibuk dengan pikirannya. Berusaha memejamkan mata, namun pikiran berkelana, hingga akhirnya kantuk pun tiba.
***
Pagi itu Irene bangun jam lima pagi. Terlalu memikirkan kata-kata Ian membuatnya harus puas tidur hanya beberapa jam.
Irene menatap pria di sampingnya. Ian masih tertidur pulas. Bahkan tertidur dalam kondisi mulut terbuka pun Ian masih terlihat sempurna. Irene memperhatikan wajah lelap itu secara intens. Hanya ketika Ian tidur ia bisa menatap wajah pria itu dengan sepuasnya.
Betapa bodohnya dulu ia tidak berpikir sejauh ini. Hidup bersama Ian, tidak akan mampu mencegahnya untuk tidak jatuh cinta dengan pria ini lagi. Kehadiran Ian akan sangat mempengaruhi.
Sudah Irene duga pernikahan ini tidak akan berjalan sesuai rencana. Akan ada gesekan-gesekan masalah yang tidak didapat ketika status mereka hanya sekedar sahabat. Mungkin ke depannya akan ada masalah yang lebih berat dari sekedar kontak fisik?
Irene menghela napas dalam-dalam. Di saat seperti ini, ia benar-benar butuh seorang teman curhat. Tapi ia tidak memiliki teman cukup dekat yang bisa diajak berbicara masalah ranjang.
Di tengah kebingungannya, mata Irene menangkap pergerakan dari tubuh di depannya. Secara tiba-tiba mata itu terbuka. Membuat mata mereka bertatapan dengan sempurna. Senyum malas tersungging di sudut bibir Ian.
"Pagi Ren," suara serak itu menyapanya. Irene langsung terlonjak. Ia duduk secara tiba-tiba. Memalingkan wajah. Menghindari bertatapan mata.
"H-hem ... Pa-pagi ..."
"Jam berapa?" tanya Ian sembari mengucek-ucek mata.
"Jam lima kurang. A-aku sholat dulu." Irene cepat-cepat turun dari ranjang. Entah mengapa ia sangat canggung. Hari ini adalah pagi kedua mereka setelah menikah dan kecanggungannya masih terasa.
"Bareng," ucap Ian.
"Hem."
Pagi itu mereka sholat berjema'ah. Selesai sholat, Ian membalik tubuh dan memberi punggung tangannya. Dengan ragu-ragu dan canggung, Irene menciumnya.
"A-aku mau masak dulu." Irene cepat-cepat membuka mukenah dan pergi dari ruang ibadah.
Ian dengan santai melipat sarung dan sajadah, kemudian ia pergi menyusul Irene. Di dapur ia melihat Irene tengah sibuk melihat-lihat isi kulkas. Berapa kali pun dibuka, isi kulkas itu tidak akan berubah. Tidak ada yang bisa dimasak.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...