Ch 5 - Melamar

1.6K 149 5
                                    

Pria yang disebut "Papa" itu meninggalkan Mama ketika ia masih duduk dibangku sekolah menengah pertama hanya demi wanita lain. Wanita yang lebih muda dan lebih segar dibandingkan Mama.

Ian bisa melihat, bahwa cinta bisa berubah. Papa yang dilihatnya sangat mencintai Mama tiba-tiba berubah karena kehadiran wanita lain. Pernikahan yang awalnya bahagia berubah menjadi bencana. Banyak tangisan dan airmata.

Mama yang ceria berubah menjadi pendiam dan murung. Kesedihan tampak sangat terlihat di wajahnya. Selama berbulan-bulan terjadi pertengkaran demi pertengkaran yang memekakkan telinga. Menangis, memohon, mengemis, sudah Mama lakukan semua agar pria itu tidak meninggalkannya. Hingga pada akhirnya Mama memutuskan untuk melepas Papa. Ya, hal itu beliau lakukan setelah kunjungan wanita muda berperut buncit ke rumah kami. Mama melepas Papa untuk kehidupan baru yang tak berdosa itu.

Sejak itu, Ian tidak percaya dengan cinta. Ian juga tidak percaya dengan pernikahan. Perasaan cinta bisa hilang sewaktu-waktu. Pun dengan pernikahan.

Berulang kali Mama selalu menyuruhnya untuk menikah, namun Ian selalu mengabaikan permintaan itu. Untuk apa menikah bila pada akhirnya akan berakhir juga? Ian menjadikan pernikahan orangtuanya sebagai patokan utama. Untuk itu ia memutuskan untuk tidak pernah menikah.

Namun keputusan itu goyah begitu mendengar ucapan Ibu Silvi. Entah mengapa hatinya bergemuruh dan panas ketika mendengar Ibu Silvi berniat untuk menikahkan Irene.

Ayolah, Irene salah satu wanita yang berarti untuknya selain Mama. Membayangkan Irene dinikahi dan dimiliki pria lain menimbulkan rasa marah dan tidak ikhlas di hatinya. Ia tidak rela Irene menikah!!

Tanpa sadar mulutnya sudah berkata hal itu. Ya!! Dia sudah meminta Irene untuk menikah dengannya. Bukan meminta lagi, tapi mendesak dan memaksa hingga akhirnya wanita itu menyetujuinya.

Ian menunggu perasaan menyesal datang menghampiri. Namun bukannya menyesal, tapi perasaan lega dan bahagia yang datang. Ya, ia sama sekali tidak menyesal telah meminta Irene untuk menikah dengannya. Sepertinya ini akan menjadi keputusan yang tak akan pernah disesalinya seumur hidup!!

***

"Kamu tidak bercanda kan Nak? Tidak sedang menggoda Mama?" Mama Inge menatap putranya dengan tatapan tak percaya. Kedua tangannya memegang bahu Ian, meminta kejelasan.

"Tidak Ma. Ian tidak sedang bercanda. Sekarang Mama persiapkan saja kebutuhan untuk melamar. Nanti malam kita pergi ke rumah Pak Adi untuk melamar Irene..."

"Ian!! Huuuu..." Mama Inge menubruk tubuh Ian dan memeluknya dengan erat. Tubuhnya berguncang karena tangis. Ian memeluk tubuh Mama. Ia tidak menyangka keputusannya ini mampu membuat Mama sebahagia ini. Ian sangat yakin bahwa keputusannya sudah benar.

***

Acara itu terkesan sangat mendadak. Ian memberitahu rencana lamaran itu pukul setengah empat sore, sementara pukul tujuh malam mereka harus ke rumah keluarga Bapak Adi untuk melamar.

Spare waktu yang tersisa membuat Mama Inge tunggang langgang. Beliau tampak mempersiapkan ini itu yang sekiranya cukup layak untuk dijadikan buah tangan. Sesekali Mama Inge tampak menyalahkan Ian karena memberinya kabar begitu tiba-tiba.

Ian menawarkan untuk melakukan penundaan sampai semua persiapan selesai. Namun Mama Inge bersikukuh untuk melanjutkan acara. Mama meminimalisir kemungkinan Ian akan berubah pikiran dan membatalkan acara lamaran.

Ian mematut dirinya di kaca. Entah mengapa ada perasaan gugup datang melanda. Pertanyaan demi pertanyaan datang melanda.

Bagaimana bila keluarga Irene menolaknya? Bagaimana bila keluarga Irene memiliki calon yang lebih baik dari dirinya? Bagaimana bila keluarga Irene memandang keluarganya sebagai keluarga yang rusak sehingga tak patut untuk menikahi anak mereka?

Ian mengusap dagunya dengan kasar. Rasa cemas menyelimuti hatinya. Pikiran-pikiran ini baru saja datang. Entah mengapa baru terpikirkan sekarang. Memikirkan segala kemungkinan itu membuat rasa percaya dirinya menghilang.

"Duh, gantengnya anak Mama. Sudah siap?" Mama Inge tiba-tiba datang dan menatap putranya yang sedang mematut tubuhnya di depan cermin.

Mama Inge berjalan mendekati Ian dengan langkah yang lembut. Beliau kemudian mengusap kerah baju Ian, seolah-olah ingin merapikan baju Ian.

"Mama tidak menyangka hari seperti ini akan datang Nak. Putra Mama satu-satunya akan melamar anak gadis orang. Kamu tidak akan bisa membayangkan bagaimana perasaan Mama..."

"Apa Mama bahagia?" tanya Ian sembari menatap wajah ibunya lekat-lekat. Mama Inge menganggukkan kepala dengan antusias. Buliran airmata tampak akan jatuh tumpah ruah dari netra hitamnya.

"Ya, Mama sangat bahagia Nak. Mama sudah membayangkan hari seperti ini ribuan kali. Mama tidak menyangka hari ini akan tiba. Melihat betapa keras kepalanya kamu menolak permintaan Mama sudah putus asa. Mama pikir tidak akan pernah melihatmu menikah..."

"Mama, lamaran Ian belum tentu diterima. Orangtua Irene mungkin sudah memiliki calon yang lebih baik..."

"Mama yakin mereka akan menerimamu Nak. Mama bisa melihat, betapa inginnya Bu Silvi untuk menjadikanmu menantunya. Percaya dirilah." Mama Inge menepuk-nepuk bahu anaknya, seolah-olah menyalurkan kekuatan.

Mama Inge bukannya tidak tahu alasan Ian menolak untuk menikah. Ian pasti menjadikan pernikahan orangtuanya sebagai acuan. Mama Inge selalu merasa bersalah bila mengingat hal itu semua. Kegagalan rumah tangganya menyebabkan luka yang mendalam di hati putra tunggalnya.

"Nak, jangan menjadikan pernikahan Mama sebagai acuan. Setiap pernikahan memiliki kisahnya tersendiri. Pernikahan Mama mungkin gagal, tapi bukankah ada hikmah yang bisa diambil dari itu semua? Mama menjadi pribadi yang lebih bahagia,"

"Mama yakin kamu dan Irene akan sangat bahagia. Tidak ada wanita yang lebih baik untuk mendampingimu selain Irene. Dia mengerti kamu luar dalam. Kamu pun begitu. Kalian begitu saling menyayangi. Jadi apalagi yang harus kamu ragukan?"

"Aku ragu Pak Adi akan menerima lamaranku Ma," ucap Ian dengan nada menggoda. Berusaha mengusir kekhawatirannya. Ucapan Mama ada benarnya. Untuk apa ia mengkhawatirkan nasib pernikahannya dengan Irene?(kalau Pak Adi bersedia menerimanya sebagai menantu)

Ia dan Irene akan menjadi partner yang sempurna. Mereka sudah saling memahami satu sama lain. Tidak ada hal yang bisa memisahkan mereka seperti kisah kedua orangtuanya. Yang patut dikhawatirkannya saat ini adalah, akankah kedua orangtua Irene menerimanya?

***

Pada akhirnya malam itu Ian dan Mama Inge pergi ke rumah kediaman keluarga Irene yang letaknya berhadapan dengan rumah mereka. Kedatangan mereka disambut dengan hangat karena pada dasarnya hubungan kedua keluarga itu sangat dekat.

"Tumben Mama Ian rapi. Mau berangkat kondangan Ma?" tanya Ibu Silvi yang tengah berpakaian rapi juga. Putrinya mengatakan akan ada pria yang datang melamar. Untuk itu Ibu Silvi dan Bapak Adi berpakaian rapi. Mereka tengah menunggu tamu itu datang.

Bukannya tamu yang datang, tetapi malah tetangga di depan rumah. Ibu Silvi berharap kedatangan tetangganya itu tidak akan mengganggu pertemuan dengan tamunya.

"Tidak Bu. Tujuan saya ke sini untuk mengantar putra saya melamar anak gadis njenengan (bahasa jawa halus, artinya : kamu)," ucap Mama Inge dengan senyum merekah yang selalu menghias bibirnya.

Ibu Silvi dan Pak Adi menatap keduanya dengan tatapan melongo. Ibu Silvi membuka mulutnya, namun kemudian menutupnya kembali, seolah-olah kehabisan kata-kata. Begitu pula dengan Pak Adi. Namun pria paruh baya itu cepat menguasai situasi dan mengalihkan pandangannya pada Ian yang sedari tadi masih diam.

"Be-benar kata ibumu Nak?" tanya beliau.

Ian terlihat nervous. Dia menegakan tubuhnya dan duduk dengan sikap sempurna. Menatap Pak Adi dengan tatapan bersungguh-sungguh sebelum menjawab, "benar Pak. Kedatangan saya kemari adalah untuk meminta putri Bapak, Irene Meiva Luvina sebagai istri saya. Kiranya Bapak berkenan untuk memberikan putri kesayangan Bapak untuk saya persunting sebagai istri?"

***

Happy Reading 😚

The Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang