Ch 9 - Hari Pernikahan

1.1K 129 2
                                    

Setelah membaca balasan chat dari Ian, Irene menjadi lebih tenang. Kata-kata Ian yang terakhir membuatnya yakin. Konsep pernikahan mereka memang tidak sama dengan orang kebanyakan, tapi setidaknya pernikahan tidak akan pernah mengubah jati diri dan kehidupan mereka.

Irene tetap bisa melanjutkan hobby yang dijadikannya sebagai pekerjaan utama, yaitu menulis, sementara Ian tetap bekerja seperti biasanya. Kehidupan mereka tidak akan berubah. Hanya status saja yang berubah.

Masalah tempat tinggal pun tidak akan menjadi masalah. Mungkin mereka bisa bergantian tidur di rumah keluarga. Seminggu di rumahnya, seminggu di rumah Ian. Atau bisa jadi mereka tetap tidur di rumah keluarga masing-masing. Benar-benar tidak akan ada yang berubah dari kehidupan mereka.

Baiklah, kalau konsep pernikahannya seperti ini, Irene tidak akan keberatan untuk menjalaninya. Sekarang ia sangat yakin untuk melanjutkan pernikahan ini.

***

Akad pernikahan itu dilakukan di hari Sabtu pagi yang dilanjutkan dengan acara resepsi di sore hari. Selama proses itu, mata Ian tak henti-hentinya menatap Irene. Ia begitu takjub. Rasanya masih tidak percaya bahwa wanita yang ada di depannya itu adalah sahabat yang keseharian selalu bersamanya.

Irene terlihat sangat luar biasa cantik. Baiklah, Ian mengakui. Pada dasarnya dari dulu Irene memang sudah cantik. Syukurlah wanita itu tidak begitu pintar merias diri, hingga kecantikannya tertutupi. Sekarang, hanya dirinya yang berhak untuk mengagumi dan memiliki.

"Biasa aja sih liatnya. Nggak usah bernafsu gitu. Nanti malem juga bisa lu serang!" bisik seseorang.

"Uhuk!!" Ian terbatuk-batuk. Ia melirik orang di sampingnya. Ternyata itu Bima, salah satu teman mereka ketika masih SMA.

"Pantes aja lu halang-halangin gua deketin Irene, ternyata mau lu embat sendiri. Licik lu ya!" Bima menoyor kepala Ian.

"Apaan sih! Berisik! Cepet taruh amplop, makan, terus pergi jauh-jauh!!" bisik Ian dengan kesal.

Mereka tengah berada di pelaminan. Irene tampak sibuk meladeni ajakan teman-teman kuliahnya untuk berfoto, sehingga tidak memungkinkan wanita itu untuk mendengar percakapan Ian dan Bima.

"Tega lu! Gw bela-belain datang dari Jakarta cuman buat hadirin nikahan elu. Baru nyampe juga udah di usir!!"

"Makanya nggak usah bikin masalah!"

"Tapi emang Irene cakep banget. Nyesel dulu gw nggak nekad buat deketin dia. Eh malah lu yang nikahin dia. Kan anjirrr!!" Bima kembali menoyor kepala Ian.

"Jangan lihat. Dia istriku!" Ian menutup mata Bima yang jelalatan menatap Irene penuh kekaguman.

Benar kata Bima, dari dulu memang banyak lelaki yang ingin mendekati Irene. Jiwa melindunginya pun tak rela. Ian menghalau jauh-jauh pria-pria yang mendekati Irene. Itulah alasannya mengapa sampai usia 27 tahun Irene selalu menjomblo. Ian bangga, karena selama ini ia tidak pernah kecolongan satu kalipun hingga Irene menjadi miliknya.

"Ren, foto sama suami kamu juga." Ian mendengar ucapan salah satu teman Irene. Wanita itu menoleh dan tatapan mereka pun bertemu. Entah mengapa situasi canggung kembali terjadi.

Setiap menatap Ian, wajah Irene selalu memerah. Pun begitu dengan Ian. Pria itu menjadi begitu gugup. Namun Ian menghalau rasa gugupnya dan mendekati Irene. Dia pun meladeni ajakan berselfie ria.

Hampir delapan puluh persen tamu undangan hadir di acara resepsi mereka. Irene mengundang teman yang cukup akrab dengan dirinya dari teman SD sampai kuliah. Dia juga mengundang teman dari tempat kerjanya terdahulu. Pun begitu, undangan Irene tidak sampai empat puluh orang.

The Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang