Ian membawa tubuh Irene di kedua lengannya yang berotot. Langkahnya sangat mantap. Matanya terlihat sangat fokus, hanya tertuju pada pintu kamar utama.
"Ian!! Turunin aku!!"
"Tidak akan!"
"Makan dulu..." Irene mencari-cari alasan. Melihat sorot mata Ian membuat rasa takut menghinggapinya.
"Kamu makan malamku."
"Ian!!" Ian tidak menghentikan langkah. Ia menendang pintu kamar dan berjalan ke arah ranjang, kemudian secara perlahan ia membaringkan tubuh Irene.
Tubuhnya mengikuti kemana pun tubuh Irene berada. Seperti ada kandungan feromon kuat yang membuat kumbang sepertinya datang mendekat.
Kecupan-kecupan hangat mulai Ian daratkan di sepanjang leher Irene. Membuat wanita itu bergerak-gerak gelisah, berusaha untuk menghindari kecupan membabi buta. Ian tidak membiarkan wanita itu lepas dari kungkungan tubuhnya.
"I-ian..." Tangan Irene berusaha menahan dada Ian. Irene benar-benar ketakutan. Ini pengalaman pertamanya. Akankah menjadi pengalaman mengerikan?
"I-ian... Sa-sabar dulu... Bi-bisakah pelan-pelan?" Irene mendorong bahu Ian. Bibir pria itu masih asyik menjelajahi leher jenjang Irene, sementara tangannya mulai bergerilya kesana-kemari. Menyusuri setiap jengkal tubuh Irene, mengabaikan setiap protes yang dilakukan wanita itu. Pikiran Ian sudah tertutup oleh nafsu. Aroma dan lekuk tubuh Irene mengosongkan segala logika yang ada.
"Ian!!" Irene mendorong tubuh Ian dengan kuat ketika merasa tangan kokoh itu meremas bukit kembarnya. Rasa malu sekaligus terkejut menyelimutinya. Irene beringsut dan duduk dengan cepat. Gerakan tubuhnya tanpa sadar menjauhi Ian.
Dorongan dan pekikan suara Irene sedikit menyadarkan Ian. Pria itu menatap Irene dengan bingung. Sorot matanya masih diliputi gairah yang belum padam.
Ian melihat Irene terduduk sembari memeluk tubuhnya sendiri. Wanita itu terlihat tak nyaman sekaligus ketakutan. Irene takut??
"H-hei... Kenapa?" Ian beringsut, mendekati Irene secara perlahan, tangannya berusaha menjangkau wajah Irene.
"Apa aku berbuat salah?" tanyanya. Irene tidak menjawab, wanita itu masih tertunduk. Ian memperhatikan Irene dengan seksama. Kemudian ia tersadar, Irene belum siap untuknya. Ia menghela napas panjang.
"Kamu belum siap. Tidurlah," ucap Ian sembari mengecup kening Irene dan turun dari ranjang.
"Ian..." Irene meraih lengan Ian. Wanita itu bisa merasakan kekecewaan dalam nada suara suaminya.
Ian menoleh. Senyum terpaksa menghiasi bibirnya. "Tidur ya," ucapnya lembut sembari berusaha melepaskan cengkraman tangan Irene di lengannya.
"Ian... A-aku sudah siap... Dengerin dulu aku ngomong... Please..." Irene tahu Ian kecewa. Ia tidak ingin kekecewaan itu berlanjut. Ia harus segera menjelaskan apa yang mengganjal di hatinya.
"Please, dengerin aku ngomong..." Mata Irene mengiba. Awalnya Ian terlihat enggan. Penolakan Irene terhadapnya membuatnya kecewa. Tapi melihat mata jernih Irene, membuat pria itu mau tidak mau kembali duduk di atas ranjang, bersiap mendengarkan alasan Irene.
"Ya?"
"Ian... Begini..." Irene terdiam, menarik napas dalam-dalam. "Kamu tahu kan aku sangat tidak berpengalaman dalam hal ini. Aku tidak pernah memiliki hubungan khusus sebelumnya. Kamu menjadi yang pertama untuk semuanya. Ten-tentu saja hal ini sangat mengejutkan..." Pupil mata Irene bergerak kesana kemari, tampak berusaha mencari kata-kata yang pas untuk mengungkapkan segala isi hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...