Ch 14 - Beri Aku Waktu

1.1K 122 5
                                    

Pagi itu Irene memasak makanan kesukaan Ian. Pria itu menyukai sayur berkuah dengan minim bumbu seperti sayur asem, sayur bening, sayur sop. Untuk lauk menyesuaikan.

Ian tidak suka minum kopi. Lambungnya hanya bisa menerima teh dan air hangat. Ia juga tidak merokok, apalagi minum miras. Hidupnya sangat bersih dari hal-hal yang bisa merusak tubuh.

Ian tidak bisa telat makan. Pria itu memiliki maag akut. Untuk itu Irene harus memastikan pria itu makan tepat waktu.

Sop daging, tempe dan tahu goreng, sambal terasi dan teh hangat telah Irene siapkan. Irene juga mengambil nasi untuk Ian dan menyerahkannya pada pria itu.

"Makasih Ren. Tanpamu, aku nggak bisa hidup," gombalnya.

"Apaan sih. Lebay." Irene memutar bola mata bosan. "Makan yang banyak," ucapnya.

Mereka makan dalam diam. Ian memperhatikan Irene secara intens, sementara Irene menunduk, menghindari tatapan mereka bertemu.

"Aneh ya Ren?" tanya Ian memecah keheningan.

"Apanya?"

"Menikah denganku ... "

"Maksudnya?" Irene akhirnya berani menatap Ian.

"Dulu kita tidak secanggung ini. Tapi setelah menikah, jadi sangat canggung. Bahkan untuk menatapku saja kamu tidak mau. Kenapa Ren? Apa karena kata-kataku tadi malam?" Ian menunggu reaksi Irene, namun wanita itu tidak menjawab.

"Kalau kamu keberatan dengan perkataanku semalam, kamu boleh menolaknya. Aku tidak akan memaksamu melakukan hal yang tidak kamu suka ..."

"Ian ... "

"Ya?" Ian menjawab Irene dengan cepat. Ia begitu bersemangat ketika Irene merespon perkataannya.

"Aku tidak keberatan. Hanya saja, beri aku waktu ... " Irene kembali menatap makanannya, tidak berani menatap Ian. Dia tidak melihat kilatan kecil yang muncul di mata Ian.

"Ya Ren. Gunakan sebanyak mungkin waktu yang kamu mau." Ian tersenyum lebar. "Sekarang bisakah kita bersikap seperti biasa lagi?"

"Hem."

"Ren, mumpung aku cuti, bagaimana kalau kita cari isi rumah?"

"Boleh." Irene menjawab tanpa melihat Ian.

"Ren! Lihat aku!"

"Iya Ian, ayo kita cari. Habiskan dulu makanmu."

"Nah, gitu dong. Gimana kabar novelmu? Ada perkembangan?" Ian mengalihkan pembicaraan. Memilih topik yang membuat Irene nyaman.

"Buntu," jawab Irene pendek.

"Kok bisa? Biasanya kamu kuat nulis sepuluh ribu kata perhari?"

"Jangan dibahas lagi. Cepat selesaikan makan, terus kita pergi cari perabot. Kamu cuti berapa hari?" Kecanggungan Irene mulai mencair.

"Dua hari. Hari ini sama besok. Lusa sudah masuk."

"Berarti dua hari ini kita maksimalkan beres-beres rumah. Kita list dulu apa yang mau dibeli ... "

"Kamu aja yang list Ren. Rumah ini kan rumahmu. Jadi terserah mau kamu buat seperti apa."

"Ya nggak bisa gitu dong Ian. Mana ada ceritanya rumah ini milikku? Aku nggak ikut beli ataupun bayar cicilan ... "

"Kamu istriku, sahabatku. Apapun yang aku miliki, juga menjadi milikmu Ren. No debat." Ian mengangkat tangan melihat Irene membuka mulut, bersiap-siap untuk membantah.

"Aku sudah selesai." Ian meletakkan piringnya yang telah kosong. Ia berdiri dan berjalan ke arah wastafel. Pria itu berniat untuk mencuci piring.

"Taruh aja di situ. Nanti aku yang cuci. Kalau kamu yang cuci ujung-ujungnya pecah." Irene menatap Ian dengan sinis, yang ditatap malah nyengir kuda.

The Best PartnerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang