"Ren..." bisik Ian setengah mengerang. Ia sudah tidak bisa menahan diri. "Bisakah kita memulainya?" tanya Ian meminta ijin. Dan pertanyaan itu hanya dijawab anggukan persetujuan.
Ian merengkuh tubuh Irene, membuat tubuh itu menghadapnya. Tatapan mata mereka kembali bertemu. Dalam sekejap, Irene langsung mengalihkan pandangan. Bahkan dalam gelap pun Ian bisa melihat semburat rasa malu di wajah istrinya.
Ian meraih dagu Irene, berusaha membuat wanita itu kembali menatapnya.
"Ren, kamu sangat cantik..." Ian tidak sedang membual. Irene memang selalu terlihat cantik di matanya. Ia memang memiliki nafsu terhadap wanita itu, tapi terlepas dari itu semua, ada rasa sayangnya yang begitu besar di atas segala-galanya.
Irene tidak menjawab. Ia hanya memejamkan mata. Tampak malu untuk menatap mata Ian secara langsung. Ian sudah tidak bisa menahan diri lagi. Perlahan, ia mulai mengecup kening wanita itu dengan lembut. Berlama-lama merasakan kulit hangat itu di ujung bibirnya.
Kemudian ciuman itu mulai merambat. Satu persatu, bagian wajah Irene tidak luput dari sentuhan bibirnya.
Dari kening, merambat ke kedua kelopak mata, hidung mungil, pipi mulus dan dagu Irene tidak luput dari sentuhannya. Ian sengaja mengabaikan bibir Irene, karena ia ingin mengecup dan mereguk kenikmatan bibir itu secara perlahan.
Puas menyusuri bagian wajah Irene, tatapan mata Ian mulai fokus pada bibir Irene yang tengah merekah. Mata wanita itu masih tertutup rapat. Entah terlalu malu untuk bertatapan dengannya, atau terlalu menikmati cumbuan ini?
Ian menatap bibir menggoda itu. Layaknya mahkota bunga yang membuat kumbang sepertinya siap menghisap madu itu.
Secara perlahan Ian mendekatkan bibirnya. Kecupan hangat ia labuhkan di bibir merah muda itu, membuat tubuh sang pemilik menegang. Ian tak langsung melumat dan mereguk manisnya. Ia membiarkan Irene terbiasa dengan keberadaan bibirnya. Setelah tubuh Irene mulai rileks, Ian merengkuh tubuh itu dan memperdalam ciumannya.
Awalnya hanya sekedar kecupan-kecupan ringan. Namun lambat laun kecupan itu berubah menjadi lumatan. Ian menyesap bibir itu secara bergantian. Mengulumnya dengan lembut, menikmati rasa manisnya.
Bibir Irene sungguh memabukkan. Ian ingin merasakannya dengan lebih dalam. Puas melumat, Ian mulai mendorong indera pengecapnya masuk, mengeksplore kehangatan rongga mulut Irene. Menaut dan menggelitik indera pengecap Irene, menggoda wanita itu untuk membalasnya.
Rasa hangat, manis, wanginya sungguh memabukkan. Membuat Ian selalu ingin berkubang di dalamnya.
Ian bisa merasakan tubuh Irene menegang. Mungkin wanita itu masih menyesuaikan diri dengan rasa yang baru. Namun lambat laun tubuh itu mulai rileks. Tanpa sadar, kedua tangan Irene mulai menaut di leher Irene, membuat pertautan indera pengecap semakin dalam.
Awalnya Irene tampak canggung dan bingung, namun setelah beberapa kali Ian memberikan contoh, pada akhirnya wanita itu bisa membalas perlakuan suaminya. Irene membalas sebisanya. Ia masih sangat awam. Tidak memiliki teknik tertentu dalam hal seperti ini. Ketika Ian melumat bibir bawahnya, maka Irene membalas dengan melumat bibir atas suaminya.
Semakin lama pertautan indera pengecap itu semakin dalam, membuat kedua umat manusia itu kehilangan akal pikiran. Tangan-tangan kekar mulai berkeliaran. Menyentuh titik-titik hangat penambah rangsangan.
Setiap sentuhan menimbulkan erangan, desahan, dan desisan. Suara-suara menggugah itu membuat sang pemilik keperkasaan semakin berkobar.
Keduanya mulai kehilangan akal pikiran. Berkobar dalam arung kenikmatan. Tidak ada lagi penolakan. Tidak ada lagi sikap mawas diri. Tidak ada lagi sikap hati-hati. Semua melebur dalam kenikmatan yang hakiki.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...