Selama beberapa menit, Ian hanya berdiri mematung. Ia begitu bingung harus melakukan apa. Hatinya ragu, antara harus melangkah ke kamar Irene, atau berdiam di ruang tamu saja.
Sebenarnya, masuk ke kamar Irene bukan hal yang tak pernah dilakukannya. Selama belasan tahun mereka bersahabat, tak terhitung sudah berapa kali ia melakukan hal itu. Namun, semua itu berubah ketika ia mengetahui perasaan Irene. Ya, Ian tahu kalau Irene pernah menyukainya.
Ian menggosok wajah. Ia menimbang-nimbang. "Baiklah, apa salahnya masuk ke kamar Irene? Irene sahabatnya. Aku hanya perlu tidur dengan sahabat sendiri," putus Ian dengan yakin. Ia berdiri dan melangkah ke kamar Irene.
Di depan kamar Irene, ia melihat pintu kamar itu terbuka separuh. Jantung Ian berdetak lebih kencang. Dia mengetuk pintu itu secara perlahan.
Tok... Tok... Tok...
"Ren, ini aku, Ian. Aku masuk ya?" Ian menunggu selama beberapa saat, namun tidak ada tanggapan. Ia mengulangi hal itu selama tiga kali, namun tak juga ada tanggapan. Akhirnya dia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar.
Ian membuka pintu secara perlahan. Matanya menelusuri kamar berukuran 3 x 4 meter yang telah disulap menjadi kamar pengantin.
Kamar itu di dominasi oleh warna putih dan pink. Hampir di setiap dinding dipenuhi oleh tirai yang mana di ujung tirai dihiasi oleh bunga. Pada head board ranjang juga terdapat bunga berwarna pink.
Melihat hal itu semua, Ian merasa bahwa ia dan Irene telah benar-benar menikah. Kamar ini ditujukan untuk pengantin baru menghabiskan malam pertamanya.
Memikirkan melakukan hal seperti "itu" membuat tubuh Ian memanas. Cepat atau lambat, ia dan Irene pasti akan melakukannya. Memang apa salahnya melakukan hal "itu"?
"Itu" hanyalah kegiatan penyatuan dua tubuh manusia yang membantu untuk melepas hormon sehingga bisa menurunkan kadar stres dari dalam tubuh. "Itu" juga bisa digunakan sebagai media berkembangbiak. Ia dan Irene juga membutuhkan keturunan untuk regenerasi, jadi kalau ditanya apa ia membutuhkan "itu", maka jawabannya "ya" ia membutuhkannya.
Ian menatap tubuh yang tergolek di tengah ranjang. Tubuh itu membelakanginya. Dari helaan napas teratur yang terdengar, Ian bisa memastikan kalau Irene sudah tidur.
Baiklah, ini lebih mudah dari yang dipikirkan. Syukurlah Irene sudah tertidur, dengan begitu mereka tidak perlu menghadapi situasi yang canggung.
Ian mulai melepas kemeja yang dikenakan. Ia lupa membawa pakaian ganti sehingga ia harus puas tidur memakai celana pendek saja. Ya, Ian akan tidur dengan bertelanjang dada.
Mengabaikan rasa sungkan, ia mendekati ranjang dan duduk di atasnya. Ia memperhatikan Irene yang tengah memakai baby doll panjang. Rambut hitamnya tergerai di atas bantal. Wangi shampo mulai menguar, menimbulkan insting untuk mengendus dan menciumi.
Ian menggeleng-gelengkan kepala. Berusaha menghilangkan keinginan liar yang mulai membara. Ia mulai berbaring dengan posisi tidur membelakangi Irene. Berharap dengan melakukan hal itu bisa menghilangkan aroma tubuh Irene dari penciumannya.
Setidaknya tubuh wanita itu tertutup sempurna. Bayangkan bila Irene memakai baju tidur tipis? Mungkin ia tidak akan bisa menahan diri dan menerkam wanita itu.
Ian berusaha memejamkan mata. Menghapus segala pikiran-pikiran erotik yang berkejaran di kepala. "Mari tidur, masih banyak hal yang harus dikerjakan esok pagi," gumamnya dengan lelah.
***
"Ehm, gulingnya hangat. Enak banget buat dipeluk, ehm..." Irene semakin mendusel-duselkan wajah, sementara tangan dan kakinya dengan erat memeluk dan mengunci guling hangat itu.
"Gulingnya juga wangi... Wanginya enak... Ehmm..." Irene mengendus-ngendus aroma itu. Bibirnya tersenyum malas, sementara matanya masih terpejam.
"Tapi kenapa juga keras? Apa ada guling sekeras ini tapi hangat? Dan... bu-bulu apa ini? Apa guling juga berbulu?" Irene memainkan bulu-bulu halus di tangannya. Pikiran bawah sadarnya mulai terkumpul. Rasa ingin tahunya begitu besar. Ia membuka mata secara perlahan, untuk melihat benda apa yang sedang dielusnya.
Irene melihat tangannya sedang berada di atas dada bidang berbulu yang dipenuhi dengan otot liat. Perasaan Irene semakin tidak enak. Ia menengadah untuk melihat Sang Pemilik Dada Berbulu. Pupilnya langsung melebar begitu ia mengetahuinya.
"Aaakhhhpppl!!" secara otomatis Irene langsung menendang dan mendorong tubuh itu hingga terjatuh ke lantai.
"Aauuwww!!" terdengar suara mengaduh. Irene menarik keseluruhan selimut dan membungkus tubuhnya dengan selimut itu.
"Ngapain kamu di sini!!" teriak Irene histeris. Tubuhnya secara keseluruhan terbungkus selimut, hanya wajahnya saja yang terlihat. Seolah-olah selimut itu bisa membentenginya dari hewan liar di depannya.
Ian berusaha duduk. Ia menggosok-gosok pinggulnya yang terantuk lantai. "Sakit! Kasar banget sih Ren."
"Aku tanya, kamu ngapain di sini?!! Di kamarku??! Tidur di ranjangku?!" suara Irene masih histeris.
Ian berdiri dan mulai duduk di pinggir ranjang.
"Jangan duduk di situ!! Keluar!!" Irene menunjuk pintu kamar.
"Pelankan suaramu Ren. Ini masih subuh. Entar aku dikira ngapa-ngapain kamu..."
"Emang kamu mau ngapa-ngapain aku kan?! Buktinya kamu tidur di sini!! Cepat keluar!! Kalau nggak, aku teriak!! Biar kamu digebukin semua..."
"Teriak kalau mau teriak. Yang ada entar kamu yang malu sendiri." Ian berbicara dengan santai. Ia mengucek-ngucek mata dan menguap. Wajahnya terlihat sangat lelah.
"Aaaakhhhpp!!" Irene mulai berteriak, namun secepat mungkin Ian menindih dan menutup mulut wanita itu dengan tangannya. Wajah Irene terlihat panik. Ia meronta-ronta, berusaha melepaskan tubuh dari kungkungan tubuh Ian.
"Ssttt... Jangan berisik Ren. Kamu mau malu seumur hidup? Kalau kamu teriak, mereka pikir malam pertamamu mengerikan. Jadi, tenang ya..." Mata Irene terlihat bingung. Sepertinya Ian mulai mengerti. Irene lupa kalau mereka sudah menikah.
Tangan kanan Ian masih menutup mulut Irene, sementara ia mulai menunjukkan tangan kirinya. "Lihat cincin ini? Lihat juga cincin di jemarimu. Kita sudah menikah Ren. Kita akad jam sembilan pagi kemarin. Secara agam maupun hukum, kita sudah menjadi suami istri. Apa kamu mengerti sekarang?"
Awalnya mata Irene membeliak, menunjukkan keterkejutannya, namun sejurus kemudian mata itu terlihat pasrah. Sepertinya potongan-potongan ingatan mulai menghampirinya.
Merasa Irene tidak akan berteriak lagi, Ian melepas tangannya dari mulut Irene, namun ia tidak mengubah posisi tubuhnya. Ia masih menindih tubuh Irene.
"Apa kamu sudah ingat?" tanyanya.
"Hem." jawab Irene singkat. Dia membuang wajahnya yang memerah. Tidak sanggup menatap Ian yang berada di atasnya. "Sampai kapan kamu menindihku seperti ini?!"
"Oh, maaf, maaf." Ian segera menggulirkan tubuh dan duduk dengan tegap. Irene juga melakukan hal yang sama. Mereka duduk berhadap-hadapan dengan canggung.
"Ehm, tadi malam Bapak menyuruhku tidur di sini. Aku sudah mengetuk pintu kamar, tapi kamu tidak menjawab. Ternyata kamu sudah tidur. Maaf ya, membuatmu kaget..."
"Hem..." Irene tidak tahu harus menjawab apa. Ia mengalihkan pandangan kesana kemari, ia sangat salah tingkah. Ian tidak salah. Memang benar mereka sudah suami istri, jadi tidak ada salahnya kalau mereka tidur sekamar. Tapi situasi ini sungguh canggung sekali.
Tok... Tok... Tok...
"Ren, Nak Ian? Kalian sudah bangun? Kalau sudah, segera sholat subuh sekalian mandi junub ya." terdengar suara Bu Silvi di belakang pintu. Perkataan beliau membuat wajah Irene maupun Ian seperti terbakar. Mereka benar-benar malu!!
***
Happy Reading 😚
KAMU SEDANG MEMBACA
The Best Partner
RomanceBagaimana jadinya bila persahabatan yang telah terjalin selama belasan tahun berubah menjadi ikatan pernikahan? Itulah yang dialami dua sahabat ini. Leonard Ian Fahrezy dan Irene Meiva telah bersahabat jauh sebelum negara api menyerang. Mereka salin...