D A R E - 2

44 16 75
                                    

Bertepatan dengan bel pulang berkumandang, Michele masih membereskan buku-bukunya. Seperti biasa, gadis itu memilih waktu terakhir daripada saling bergerombol, merebutkan siapa terlebih dahulu keluar dari ruangan kelas.

Sekian beberapa menit tidak terlalu padat, Michele melangkah keluar dari kelas. Langkahnya sontak terhenti, ketika seorang lelaki menghalanginya dari lawan arah.

Yang membuat Michele berdecih, lelaki yang sama, tidak jauh berbeda--tidak lain, tidak bukan adalah Cakra, tidak biasa ketika memperlihatkan lelaki itu masih berada di kelas setelah kelas berakhir.

"Minggir! Gue mau pulang. Capek."

"Gak. Lo pulang bareng gue," tolaknya selagi mengumpulkan salinan contekan ke meja guru.

Michele mengeram kesal terlebih dahulu meninggalkan Cakra dengan gemertak langkah kakinya.

***

Hari semakin sore begitu para murid telah meninggalkan area sekolah semenjak bel pembelajaran terkahir diakhiri. Tentu hal itu menjadi hura-hura tidak kalah dengan hari libur nasional sekalipun.

Michele memperhatikan detik jarum jam di pergelengan tangannya, jarum panjang hampir di angka dua belas tepas dengan jarum pendek menunjukkan pukul lima.

Pemandangan sunset terlihat jelas di setiap sudut. Orang-orang berlalu lalang menghindari kecamatean dikarenakan jam pulang kerja.

Dari halte, Michele dapat memperhatikan keramain dengan asap polusi udara di setiap kendaran berlalu lalang dan juga bunyi klason mengema keras.

"Michele, belum pulang?"

Kedatangan seorang lelaki tidak jauh dari arahnya itu membuat Michele mengangguk. "Iya. Kakak belum jemput," jawabnya dengan tenang. Dalam hatinya sedari mengerutu dikarenakan menungggu terlalu lama.

"Yaudah, pulang sama gue aja." Cakra adalah melepas helm fulface memakirkan motornya di tepi halte.

"Boleh?"

Tidak banyak pertimbangan, daripada Micehele menunggu hingga adzan magrib tiba--so, kata orang dulu, di jam magrib, anak perawan tidak boleh menjelang sorop.

Beruntungnya, lelaki itu tidak asing, membuat pikiran negatif, belahan menghilang.

Cakra adalah teman satu kelasnya. Mengingat pertemanan mereka belakangan ini membaik.

"Yakin deh, gue niat baik kok." Cakra mengangkat kedua jari ala 'peace'. Lelaki itu memberikan helm sebelum Michele mengiyakan. "Bye the way, angep aja ini frist date kita."

"Gamau ah!" Michele tertawa tersipu malu, lalu menaiki boncengan montor Cakra berhati-hati belahan menutup bagaian rok pendeknya.

"Sorry kalau badan lo jadi kena debu, gegara kena debu asap kenalpot."

"Tin!"

"Tin! Tin! Tin!"

Michele sontak terkejut dengan salah satu motor mengelaksonnya yang kini berteduh di tepi halte. Rupanya ia akan memindah masker hidungnya ke atas hingga ke sela mata, menutup matanya agar tidak ternodai dengan kehadiran orang yang sama dilamunannya--tidak lain Cakra.

Lelaki yang berhasil mematahkan dan memberikan harapan angan itu selalu hadir tidak diundang dan datang seenaknya, kapan saja seenak maunya lagi-lagi, ia dipertemukan dengannya.

"Kan gue udah bilang. Kita pulang bareng, Michele."

"Kenapa gue harus ngeiyain?"

"Karena gue pingin."

Dare, or dareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang