No. 59 [2]

220 40 0
                                    

"Jadi gimana?"

Suasana kelas 12 IPA 2 tiba-tiba menegang. Beberapa siswa bahkan nampak menautkan alisnya, berpikir keras memikirkan jalan keluar dari masalah yang tengah mereka alami. Waktu mereka untuk belajar di SMA Mandala, tinggal beberapa bulan lagi. Berbagai jenis bimbel, mulai dari bimbel intensif, peminatan dan ujian mereka lakoni. Berat? Tentu saja.

"Aku merasa bahwa apa yang telah kita lakukan ini masih kurang." Megan, ketua kelas IPA 2 tengah berdiri di depan kelas. Memegang sebuah spidol board marker berwarna biru yang plastiknya sudah kusut. Suara riuh khas anak sekolah di jam istirahat mewarnai suasana diskusi mereka. Entah mengapa, saat ini siswa IPA 2 terlihat enggan keluar kelas bahkan untuk sekadar menghirup udara segar.

Gadis tegas itu meraih lembaran kertas yang teronggok di atas meja guru lalu menunjukkannya pada semua orang di kelas. "Lihat ini, perhatikan rata-rata kelasnya." Semua siswa fokus menatap deretan angka yang ditunjuk oleh Megan.

"Bandingkan dengan ini." Megan menunjukkan kertas nilai lain di tangan kirinya.

"Perbandingannya sangat jauh 'kan?" Dia menghela napas panjang.

"Aku benci melihat nilai-nilai itu." Septian meremas rambutnya frustasi.

"Mau bagaimana lagi? Kita bahkan sudah mengikuti semua jenis bimbel yang memuakkan." Kali ini lelaki bertubuh gemuk yang duduk di sudut kelas mulai protes. Kacamatanya melorot dan keringatnya bercucuran. Selalu begitu.

Di saat semua siswa fokus memikirkan sebab turunnya nilai mereka sekaligus mencari solusinya, ada satu siswi yang sibuk dengan pikirannya sendiri. Pikirannya jauh menerawang menembus lorong waktu. Memutar memori seperti pita kaset di radio kuno. Menopang kepalanya dengan dagu dan giginya bergesek pelan.

Bagaimana?
Bagaimana?

"Bunga!"

Sebuah panggilan mengejutkan dirinya. Gadis cantik itu tersentak lalu mencari sumber suara. Kini,  semua pasang mata menatap dirinya heran. Lalu menggeleng lelah dan menghadap ke depan lagi.

"Bagaimana menurutmu?" Megan berjalan mendekati Bunga sembari melontarkan pertanyaan yang tak dapat Bunga pahami.

"A--apa?" Bunga terbata.

"Gawat! Aku melamun!"

Megan menaikkan sebelah alisnya. "Jadi--"

"Teman-teman punya ide, kita mengadakan kelas belajar sendiri. Di rumah kita masing-masing." Laras memotong perkataan Megan. Sebelum ketua kelas itu murka karena diabaikan oleh Bunga.

Bunga terperanjat. "Apa! "

"Dari tadi apa-apa melulu! Pikiranmu ke mana, sih!" bentak Septian pada Bunga. Lelaki itu bahkan sampai berdiri saking emosinya.

"Ngga usah marah, dong!" Kali ini Laras ikut berdiri.

"Lagian, sahabatmu itu kenapa ngga fokus! Lagi ada masalah begini malah ngelamun!" Septian tak mau kalah. Lelaki itu sudah amat kesal dengan nilainya yang turun, ditambah sikap Bunga yang seolah memperlambat berjalannya diskusi.

"Stop!" Megan berteriak. Tetapi, Bunga justru diam saja. Gadis itu sudah mati rasa dan hilang simpati. Bunga berdiri, tatapannya kosong menatap ke depan. Laras yang berdiri di sampingnya mulai bingung dan mengamit lengan sahabatnya itu.

"Aku tidak setuju." Sebuah kalimat penolakan yang cukup menohok seisi kelas. Hanya Bunga yang berani melontarkan kalimat itu di depan Megan. Iya, di depan gadis menakutkan itu.

"Apa!" Megan tak terima dan menatap Bunga tajam. Ia tak habis pikir, mengapa Bunga selalu menolak usulannya. Jika diingat, tak hanya sekali gadis pendiam itu melakukan hal seperti ini.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang