"Tidak. Kenapa?"
Bunga menaikkan sebelah alisnya. Mengamati Pak Sopir yang ada di depannya kini. Dari atas sampai bawah tidak ada yang mencurigakan. Pria yang kini tengah menggaruk tengkuk itu nampak seperti orang baik-baik. Usianya mungkin hampir lima puluh tahun.
"Ah, bukan ya? Ya sudah tidak apa-apa." Akhirnya Pak Sopir itu menyatukan kedua telapak tangannya sembari memasang senyum ramah. Bunga semakin merasakan kejanggalan. Gadis itu buru-buru mengejar dan menghadang langkah Pak Sopir.
"Tapi saya kenal seseorang di sana," ujar Bunga spontan. Pasti ada sesuatu yang mungkin saja bisa menunjukkan sesuatu.
Pak Sopir menatap mata Bunga. Pria itu nampak menimbang-nimbang sesuatu, sebab tersirat setitik keraguan saat Bunga menatap mata Pak Sopir juga. "Bapak butuh bantuan? Atau ingin mencari seseorang?"
Stimulus yang diberikan Bunga berhasil. Pak Sopir sontak mendongak. "Bagaimana ... ?"
"Mungkin saja Bapak mau cari seseorang. Sebab tidak semua penduduk lorong itu terlihat buruk." Bunga menggaruk pelipisnya. Sebuah senyum yang Bunga perlihatkan sepertinya mampu meyakinkan pria di depannya.
Hari sudah gelap dan sebentar lagi azan Maghrib berkumandang. Bunga menatap jam yang melingkar di lengannya sembari menatap Pak Sopir cemas. "Jadi?"
"Anu, begini." Pak Sopir menggaruk tengkuknya sekali lagi. Bunga mendekati pria itu agar dapat mendengar apa yang akan diceritakannya.
"Aku punya anak perempuan. Kami mengalami pertengkaran hebat dua tahun lalu dan dia memutuskan untuk kabur. Lama aku mencari dan kudengar dia berada di lorong itu. Semoga saja dia hanya tinggal dan mengerjakan hal lain .... "
Kini Bunga mulai paham. Kenapa Pak Sopir ini selalu menanyai asal tempat tinggalnya. Bahkan hampir setiap hari sepulang sekolah, pastilah angkot Pak Sopir ini yang mangkal dan menawarinya tumpangan.
"Jadi, Bapak mau saya memeriksa apakah ada anak Bapak di sana?" Bunga menegaskan maksud Pak Sopir. Pria itu mengangguk semangat. Sebuah senyum penuh kelegaan tersungging di sana.
"Kenapa Bapak tidak memeriksanya sendiri?" tanya Bunga tanpa ragu. Mungkin pertanyaan sama sekali tidak salah. Setidaknya, ia harus tahu alasan mengapa anak Pak Sopir bisa sampai kabur.
"Dua tahun lalu, dia ingin pergi ke ibu kota untuk mengikuti audisi menyanyi. Aku melarang keras sebab aku ingin memasukkannya ke pesantren. Entahlah, dari dulu kami selalu berbeda pendapat. Jadi, untuk itulah .... "
Pak Sopir menghela napas panjang. "Aku hanya ingin memastikan bahwa dia sehat dan makan cukup. Kurasa, dia juga takkan mau bertemu denganku."
Bunga hanya menyimak sembari sesekali mengangguk paham. Sepertinya kini ia paham duduk masalahnya. Sebuah ironi ketika orangtua khususnya ayah, tak mampu mengendalikan anak perempuannya. Ketika anak perempuannya sudah terjerumus hal seperti ini, lantas siapa yang bisa disalahkan?
"Aku minta tolong." Lagi, Pak Sopir menyatukan kedua telapak tangannya. Wajahnya benar-benar menyiratkan jejak kerinduan yang teramat sangat.
"Akan saya usahakan dengan baik." Bunga tersenyum manis.
Mungkin untuk inilah ia dilahirkan. Saat dirinya merasa tak berguna, ditakdirkan hidup dalam jeruji maksiat tak berkesudahan, dan merasa semuanya sia-sia. Kini, beberapa orang telah menggantungkan diri bersamanya. Misinya haryz benar-benar terwujud. Langkahnya tinggal beberapa jengkal lagi.
"Siapa nama anak Bapak?" tanya Bunga saat hendak meninggalkan pangkalan.
"Sasti. Namanya Sasti." Pak Sopir juga telah mengenakan topinya lagi. Hari sudah gelap dan raga harus diistirahatkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
AksiLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...