No. 59 [9]

70 24 0
                                    

"Minggir!" Septian mendorong tubuh Bunga yang menghalangi jalan menuju kursinya. Beberapa siswa di kelas memperhatikan Bunga sejenak, lalu mengabaikannya.

"Oh begitu." Bunga menatap Jaya lekat. Sebuah senyum tipis tersungging dari bibirnya.

"Siapa yang butuh belas kasihan? Seburuk apa aku sampai minta dikasihani? Siapa kau?" Bunga maju satu langkah mendekati lelaki di depannya. Keberaniannya seolah berkumpul jadi satu dan menciptakan sebuah kekuatan besar.

"Aku tahu kalau kau anak pejabat. Kukira kau bisa jadi panutan. Ternyata, cuih!" Bunga berlagak seolah meludah tepat di wajah Jaya. Lelaki itu diam tanpa kata. Matanya menatap tajam mata gadis yang ada di depannya.

"Kau tak perlu sok menasihatiku! Lebih baik kau urus wali kota--"

"Diam!" Jaya berteriak. Lelaki itu sontak berdiri seraya menggebrak meja. Semua orang di kelas IPA 2 spontan menatap keduanya. Tak terkecuali Megan, yang sedari tadi memperhatikan Bunga dan Jaya dari kejauhan.

"Sekali lagi kau sebut kalimat itu di depanku, tamat riwayatmu!" Jaya menodongkan jari telunjuknya tepat di mata membara Bunga. Laras yang baru saja datang entah dari mana langsung menghampiri keduanya. Namun pergerakan gadis itu di hentikan Megan.

"Kita lihat, siapa yang jadi pecundang." Megan menghalangi Laras seraya menyeringai. Beberapa siswa juga tengah menatap remeh keduanya. Tidak, mungkin lebih tepatnya menatap Bunga.

"Oh kenapa? Kau tidak suka? Apa seburuk itu ayahmu?" Bunga melipat tangan di dada. Sungguh, tak ada sedikit pun rasa takut dalam dirinya. Bunga, bagai permata dari ladang paling gelap. Bersinar memberi perubahan bagi streotip masyarakat yang melekat.

"Kau--"

"Hentikan!" Teriakan Laras tiba-tiba menggema. Gadis itu terengah-engah. Ia mendorong tubuh Megan lalu berlari dan berdiri di antara Jaya dan Bunga. Tak ada hati sejernih Laras. Siapa pun akan menganggap gadis itu adalah penyelamat.

Kena kau.

"Sudah kukatakan, jangan pedulikan dia. Dia ini beringas dan kejam." Septian berceletuk. Ada beberapa tawa yang terdengar setelahnya. Suasana kelas menjadi sedikit riuh sebab bisik-bisik yang mendengung di telinga Bunga.

Laras berbalik dan menatap sahabatnya. Sejenak gadis lembut itu menghela napas panjang. "Bunga, mungkin ini bukan saatnya .... "

Bunga mengepalkan tangannya. Tubuhnya bergetar. Mata jernihnya berkaca-kaca tetapi ia tak ingin menangis. Hatinya sungguh terluka, siapa yang akan membela manusia miskin dan terdiskriminasi seperti dirinya? Mungkin hanya satu dari seribu. Semua manusia tertawa. Lelucon, mereka menganggap begitu.

Laras memejamkan mata seraya menunduk. Gadis itu merangkul Bunga agar segera duduk di kursinya. Mungkin mereka akan lupa, bahwa pada hari ini ada seorang gadis yang ingin meraih keadilan dan terbebas diskriminasi. Mungkin mereka akan lupa, berapa banyak luka yang mereka torehkan.

Mungkin mereka akan lupa, bahwa seorang anak wali kota malah berpikir sebaliknya.

***

Senja, selalu jadi saat-saat terhangat setelah pagi hari. Matahari yang bersembunyi malu-malu di ufuk barat Kota Andaya seolah menyambut malam yang lebih indah. Iya, Kota Andaya adalah kota yang tentram dan nyaman bagi sebagian orang. Hampir jarang terdengar kabar buruk tentang tindak kriminal.

Dikenal sebagai kota maju, kurikulum pendidikan yang diajarkan juga sudah mengantarkan siswa-siswinya menjadi peraih rata-rata tertinggi se-nasional. Terkadang saat mengingat hal itu, Bunga tertawa. Kota Andaya yang dielu-elukan, ternyata menyimpan rapat-rapat salah satu sisi kotanya.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang