No. 59 [8]

77 27 0
                                    

Bunga dihadapkan pada situasi sulit, lagi. Entah sudah berapa kali ia menghela napas panjang untuk sekadar melenturkan otot-otot di kepalanya. Tangannya terlipat di dada, sedangkan matanya menatap lurus ke depan. Tidak, ini tidak bisa hanya disebut menatap lurus. Bintang sedang mengawasi seseorang yang ada di depannya dengan tatapan intimidasi.

"Katakan." Suara Bunga begitu dingin. Sedingin es teh yang tersaji di depan mereka berdua. Cuaca siang ini cukup terik dan bisa membuat pusing jika terlalu lama terpapar. Maka, keduanya memilih kedai mie ayam untuk berteduh--karena uang mereka hanya cukup untuk makan itu.

Mbak Mita hanya mengetuk-ketuk jari telunjuknya di atas meja sembari menggigit bibir. "Kau tak berterima kasih?"

Konyol, mungkin begitu menurut Bunga. Gadis itu mendengkus kesal. "Aku melakukan hal yang lebih baik daripada Mbak Mita."

"Oke, lagi pula aku membayar tagihan rumah sakit menggunakan uangku." Mbak Mita melempar senyum sekilas lalu memandang jalanan. Lumayam sepi sebab saat ini adalah jam aktif beraktifitas. Hanya Bunga mungkin, satu-satunya murid yang membolos hari ini. Gadis itu tak lagi mengenakan seragam. Sebagai tanda terima kasih, Mbak Mita sudah membelikannya pakaian yang lebih pantas.

"Mbak Mita ini aneh, bukankah membiarkanku terkapar saat itu adalah lebih baik?" Bunga menatap wanita itu penuh selidik. Aneh memang, mereka tidak pernah berbicara sedekat ini.

"Kau benar. Tetapi tidak akan lebih benar jika aku membiarkan perbuatan ibumu."

Bunga hampir saja menyemburkan es yang tengah ia minum. "Mendengar apa yang Mbak Mita katakan saat ini, membuatku merasa lucu. Seperti seorang koruptor yang menyuarakan gerakan anti korupsi. Hei, Mbak!"

Bunga mendekatkan wajahnya pada Mbak Mita. "Bukankah dari dulu, lorong No. 59 itu memang kejam? Kukira Mbak terbiasa dengan pemandangan seperti itu."

Mbak Mita tersenyum tipis. "Aku hampir terbiasa. Saat tiba-tiba seseorang menyadarkanku."

Percakapan mereka terpotong sebab pelayan kedai datang membawa pesanan keduanya. Pelayan kedai itu seorang lelaki muda. Bunga awalnya biasa saja sampai ia melihat sesuatu yang ganjil. Lelaki itu memandangi Mbak Mita.

"Mas." Bunga menatap lelaki itu datar, nyaris tanpa ekspresi.

"E--eh iya? Ada yang bisa dibantu?" Lelaki itu gelagapan. Mungkin juga merasa malu sebab perbuatannya ditangkap basah oleh Bunga.

"Kenal sama Mbak Mita?" Bunga mengarahkan telunjuknya pada wanita di depannya. Mbak Mita yang merasa namanya dipanggil, sontak mendongak dengan penuh tanda tanya.

"A--anu, tidak." Lelaki yang tengah mengenakan apron merah itu menggaruk punggung tangannya.

"Kenapa ngeliatin terus? Ngga sopan." Bunga akhirnya memutuskan kontak mata dengan pelayan itu dan memilih untuk mengaduk mie-nya.

"Ah itu, saya hanya khawatir. Sebab kepala Mbak ini masih di baluti perban. Apa tidak papa jika makan mie ayam?"

Bunga dan Mbak Mita kompak mendongak lalu tertawa keras. Lelaki di depan mereka ini terlampau gugup sampai penyusunan katanya sangat kacau. Selain itu, alasannya juga tak masuk akal.

"Aku tidak apa-apa, kok."

Akhirnya percakapan mereka berakhir di situ. Baik Bunga ataupun Mbak Mita sama-sama memilih makan dalam diam. Setelah urusan makan selesai, mereka memutuskan untuk berjalan-jalan sebentar. Di dekat kedai mie ayam, terdapat sebuah taman kota kecil yang asri. Tanpa persetujuan, Mbak Mita tiba-tiba duduk di salah satu kursi dan menepuk-tepuk bagian kosong di sampingnya.

"Sini."

Bunga memilih duduk tanpa banyak protes. Hening. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing. Harusnya pembicaraan mereka lebih berarti dan menarik.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang