Lelaki itu memang memandang Bunga, namun ekspresi yang dikeluarkan sungguh berbeda. Ia berwajah datar dan seperti tidak merasa pernah bertemu sebelumnya. Berbeda dengan Bunga yang sudah penasaran setengah mati. Merasa tak mendapat respon, akhirnya Bunga memutuskan pandangan. Rasa malu yang luar biasa menyeruak membuat wajahnya seketika memerah. Laras merasa aneh hingga bergantian menatap Bunga lalu lelaki itu.
"Kamu mengenalnya?" tanya Laras polos. Bunga terperanjat lalu menggeleng cepat.
Laras mengangguk paham lalu mendekatkan bibirnya pada telinga Bunga. "Dia anak wali kota, loh!"
"Apa?!" Suara Bunga mengejutkan seisi kelas. Semua mata beralih memandangnya sinis. Tak terkecuali lelaki itu. Bunga buru-buru meraih sebuah buku dan berpura-pura membacanya. Memalukan!
"Hari ini Ibu mau mempernalkan seorang murid baru." Bu Mira tersenyum pada lelaki itu dan disambut baik olehnya.
Lelaki itu maju selangkah dan tersenyum ramah. "Perkenalkan nama saya Jaya Adi Prabu. Kalian bisa memanggilku Jaya."
Suara bisik-bisik di antara para murid semakin jelas terdengar. Apalagi saat lelaki bernama Jaya itu menyebut nama "Prabu" mereka langsung tertuju pada salah satu tokoh berpengaruh di Kota.
"Apa kau anaknya wali kota?" Seseorang menyeletuk tanpa dosa. Siapa lagi kalau bukan Septian. Beberapa siswa mengangguk setuju lalu menatap Jaya lekat. Lelaki itu diam saja dan senyumnya mulai memudar.
"Sepertinya kalian sudah tahu. Tetapi, jangan jadikan jabatan ayah Jaya sebagai penghalang kalian untuk berteman. Hal ini bukan masalah besar dan jangan dibahas lagi. Bukan begitu, Jaya?" Bu Mira merasa canggung. Bagaimana jadinya kalau guru segan pada muridnya sendiri.
Bunga mencuri-curi pandang pada Jaya. Ia sedikit menganalisis respon Jaya saat diketahui bahwa dirinya adalah anak seorang politikus. Sepertinya Jaya juga tidak suka itu. Lelaki itu mengangguk sedikit lalu kembali memasang wajah datar. Hingga Bu Mira mempersilakan ia mengambil tempat duduk, tepat di depan Bunga.
Bunga menghela napas panjang lalu mulai membiasakan diri dengan keadaan. Mungkin hanya dia yang sadar akan pertemuan itu sepulang sekolah lusa kemarin. Jaya sama sekali tidak mengingat dirinya meski sudah bertatap muka dua kali. Dari jendela kelas dan ruang kepala sekolah. Bunga tidak mau ambil pusing. Hari-harinya akan berlalu seperti biasa.
***
Bunga sesekali merasakan pusing. Apalagi setelah mendengar bunyi bel istirahat yang begitu melengking. Ingin rasanya ia mengumpat siapa saja yang memprogram bunyi bel itu. Kini Bunga sudah memejamkan mata dengan kepala diletakkan pada lipatan tangan di meja. Telinganya berdengung, lengkap sudah. Laras hanya memandang sahabatnya prihatin sembari ragu-ragu untuk menanyakan sesuatu.
"Bunga, sebenarnya ada apa? Kenapa wajahmu memar dan lebam? Kamu sakit?"
Akhirnya Laras mengeluarkan rentetan pertanyaan itu. Tak nyaman rasanya jika melihat Bunga menyembunyikan sesuatu. Bunga masih diam dalam posisinya. Enggan bergerak juga menjawab. Hingga tak lama, terdengar beberapa siswa yang menghampiri Jaya. Kaum lelaki elitis kelas IPA 2.
"Sebelumnya, kau sekolah di SMA Garuda. Kenapa malah pindah ke SMA Mandala? Bukannya sekolahmu sebelumnya adalah sekolah favorit?" Siapa lagi kalau bukan Septian. Di sampingnya ada tiga orang lelaki--sejenis Septian--yang juga menantap Jaya lekat-lekat. Laras akhirnya mengabaikan Bunga dan fokus mendengarkan pembicaraan mereka.
"Ada banyak alasan," jawab Jaya singkat. Lelaki itu sibuk menggulir ponselnya, entah melakukan apa. Bunga juga mulai tertarik dengan pembicaraan itu dan memilih mendongakkan kepala meski harus bertopang dagu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
ActionLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...