Mobil mewah itu melaju membelah jalanan kota di sore hari. Suasana cukup ramai sebab bersamaan dengan jam pulang beberapa sekolah, karyawan swasta dan pegawai kantor pemerintahan. Cuaca cukup cerah, dengan bentangan jingga di langit cerah.
Bunga menggigit bibirnya, bingung harus berbuat apa. Jaya yang duduk di sampingnya pun hanya diam membisu. Matanya menatap lurus pada jalanan, seolah-olah hal itu lebih pantas dilakukan daripada mengajak bicara gadis di sampingnya.
"Kenapa kau tidak bilang kalau kita mau ke rumah sakit?" Bunga membuka suara. Matanya menatap Jaya tajam dengan aura dingin yang mencekam.
"Kalau aku bilang, kamu tidak akan mau. Lagipula, hal ini ada hubungannya dengan rencana kita." Jaya berdalih. Lelaki itu memejamkan mata lalu bersandar pada jok mobil. Bunga akhirnya memilih bungkam, tidak ada pilihan lain.
Bunga memutar ingatan, merekam kembali percakapannya dengan Mbak Mita dan Alana tadi malam. Sungguh, perkiraan dan dugaan wanita muda itu amatlah tepat.
"Bagaimana Mbak Mita tahu kalau ada anak wali kota di kelasku?"
"Kamu ini memang tidak ingat atau pura-pura lupa?"
"Ha?"
"Semua Ini sudah direncanakan, Kak."
"Alana juga tahu?"
"Mungkin, hanya Kak Bunga saja yang belum tahu."
"Baik.Akan aku jelaskan, siapa dan bagaimana asal usul Jaya Adi Prabu."
"Kita sudah sampai." Jaya berseloroh lalu membuka pintu mobil. Bunga yang baru sadar dari lamunan, buru-buru keluar dari mobil.
"I--ini, rumah sakit .... "
"Rumah sakit tempat kita bertemu malam itu," imbuh Jaya datar.
Benar. Mengapa harus kemari?
"Pakai ini." Bunga menatap Jaya lalu turun menatap tangannya. Lelaki itu menyodorkan selembar masker medis berwarna biru. Bunga menaikkan sebelah alisnya, merasa bingung untuk apa dirinya harus memakai benda ini.
"Saat ini kamu ikut denganku. Maka identitasmu juga harus dirahasiakan." Seolah tahu dengan pikiran Bunga, Jaya dengan sigap mengaitiakan tali masker ke telinga Bunga.
"Aku bisa memakainya sendiri."
"Kamu terlalu lambat."
Huft, lagi-lagi.
"Ayo ikuti aku." Jaya meraih jemari Bunga lalu menggandengnya memasuki rumah sakit. Bunga tak mau banyak bicara dan berjalan seirama dengan Jaya.
Rumah sakit ini masih sama seperti terakhir kali Bunga datang kemari. Hanya saja, berhubung saat itu pikirannya tengah kalut, maka dirinya tidak sempat jalan-jalan untuk melihat lingkungan sekitar rumah sakit.
Jaya berjalan agak tergesa, buru-buru memasuki lift saat tahu tidak ada orang yang akan memasukinya. Bunga bahkan sampai hampir tersandung saking terkejutnya.
"Kau sama sekali tidak cocok membawa seorang gadis," keluh Bunga saat pintu lif sudah tertutup.
"Kau terlalu--"
"Jangan katakan lagi!"
Jaya terkekeh sebentar lalu suasan kembali hening. Bunga masih penasaran, siapa yang akan dia temui setelah ini? Sepenting apa orang itu sampai-sampai seorang Jaya rela menemuinya dan berani naik mobil pribadi saat di sekolah?
Lift berhenti dan pintu otomatis terbuka. Bunga sempat melirik sekilas bahwa kini mereka telah sampai di lantai 5 rumah sakit. Jaya lagi-lagi berjalan cepat seraya menggandeng tangan Bunga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
AksiLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...