No. 59 [4]

125 29 0
                                    

"Kak, bagaimana cara kita kembali nanti?"

Pertanyaan dari Alana sontak membuat tawa Bunga dan Laras terhenti. Kini, ketiga gadis itu tengah duduk bersama di atas kursi taman. Masing-masing dari mereka menggenggam segelas cappucino yang tinggal setengah isinya. Laras menyenggol lengan Bunga agar segera menjawab pertanyaan Alana. Gadis belia itu nampak khawatir.

"Wajah mengerikan ibu dan Tante Santi seketika terbayang dalam kepalaku." Alana memejamkan mata dan bibirnya bergetar. Ini adalah pertama kali untuknya. Bunga menghela napas panjang lalu mengusap puncak kepala Alana.

"Kita pergi di waktu malam hari. Maka kita akan kembali di malam hari juga. Kamu tenang saja, kupastikan kamu akan tetap hidup meski sudah kembali ke sana." Bunga meraih tangan Alana dan menggenggamnya. Sama halnya dengan Bunga, Alana pun mematikan ponselnya sejak kemarin. Gadis itu benar-benar bahagia bersama Bunga.

"Aku harap ini bukan yang terakhir kalinya. Aku senang bertemu kalian." Laras turut menggenggam tangan Alana, memberinya penguatan sesama wanita.

Bunga menghela napas panjang lalu menatap Laras. Keduanya mengerti kenapa Alana bisa sekhawatir ini. Gadis itu terlalu lugu dan baik hati. Bunga sudah menceritakan beberapa hal tentang Alana pada Laras dan itu cukup membuatnya prihatin. Rasa trauma yang besar sangat nampak dalam diri Alana.

Beberapa kali ketika mereka bertiga berpapasan dengan lelaki dewasa, Alana nampak langsung beringsut lalu mengamit lengan Bunga dengan erat. Terkadang Bunga juga mendapati gadis belia itu mengerutkan keningnya, seperti tengah memikirkan sesuatu yang tak berujung. Prihatin tetapi anehnya sampai detik ini Alana tak ingin membuka suara terkait kehidupannya. Lagi-lagi bunga tidak memaksa.

Waktu terus berlalu dan kini tepat pukul tujuh malam, Bunga dan Alana bersiap pergi. Bunga menyiapkan semuanya. Pakaian serba gelap yang sekiranya akan mempermudah penyamaran mereka di kegelapan. Dari Distrik Kagemangan tempat tinggal Laras, menuju Distrik Kedayan dibutuhkan waktu tiga puluh menit dengan jalan kaki. Bunga dan Alana memilih cara itu. Mereka masih ingin menikmati kebebasan.

"Sudah berapa kali kakak melakukan ini?" Jemari mereka bertaut. Alana mengayunkannya ke depan belakang secara beraturan.

"Apanya?" Suara Bunga terdengar samar sebab terhalang masker yang dikenakannya.

"Kabur begini." Alana mendongak sedikit, menatap mata Bunga yang tajam bak elang yang siap menerkam.

Bunga tertawa kecil. "Kalau boleh jujur, ini baru pertama kalinya."

"Apa?!" Alana menghentikan langkahnya. Tak percaya dengan pernyataan Bunga yang terlihat berbohong. Pasalnya, gadis pemberani itu nampak lihai menuntun Alana ke sana ke mari.

"Kenapa? Tidak percaya, ya?" Bunga menarik tangan Alana, memintanya berjalan kembali.

"Kenapa Kakak begitu berani?" gumam Alana seraya menunduk. Gadis itu langsung terlihat lesu dan muram. Apakah dia kecewa?

"Apa yang harus aku takuti? Tidak ada yang layak ditakuti di lorong itu." Bunga benar-benar ingin meracuni Alana dengan semangatnya yang berkobar-kobar itu. Meski tidak akan mudah membuat Alana membangkang, tetapi setidaknya membuat gadis itu berani mengangkat kepala saja itu sudah baik.

"Ibu dan Tante Santi .... "

"Semarah-marahnya mereka, dua manusia itu dan manusia-manusia bejat lainnya tidak akan berani sampai mengusir kita. Maaf, aku harus menghina ibumu. Aku hanya tak habis pikir dengan ibu yang berani menjual anaknya pada seorang lelaki tua."

Ucapan Bunga terdengar sangat menohok, apalagi bagi gadis lugu seperti Alana. Gadis belia itu diam tertunduk. Cukup lama Bunga menanti respon gadis itu sampai akhirnya dia menoleh dan menatap Alana yang tengah terisak dalam diam.

"Hei, kamu menangis?"

"Kaka benar."

Bunga terdiam. Kini perjalanan mereka terasa sepi. Bunga memilih untuk menutup mulut sampai mereka benar-benar sampai di mulut Lorong No. 59. Beberapa meter di depan mereka, nampak sebuah belokan yang berhias lampu warna-warni di atasnya.

"Kita sudah sampai." Bunga membuka pembicaraan sembari terus mengawasi mulut lorong dari kejauhan. Entah mengapa, suasana terasa lumayan sepi. Tak terdengar suara musik dj yang memekakkan telinga atau apapun.

"Kita harus bagaimana, Kak?" Alana mengamit lengan Bunga erat. Gadis itu nampak panik dan ketakutan.

"Kamu tetap tenang. Kali ini biar serahkan padaku." Bunga melangkahkan kaki memasyki lorong dan benar saja. Suasana benar-benar sepi.

Ada apa ini?

Keduanya berjalan pelan seperti biasa. Tanpa hambatan meski masih diliputi rasa khawatir. Sesekali mereka mengendap-endap atau sekadar bersembunyi di balik ruko. Aman dan benar-benar mudah. Bunga dan Alana mulai rileks hingga tiba-tiba lampu lorong mati.

"Kakak!" Alana berteriak. Bunga berusaha tetap tenang dan menutup mulut Alana.

"Sstt, diamlah! Aku di sini." Bunga mengeratkan genggamannya dengan Alana namun lampu lorong tiba-tiba menyala lagi.

Keduanya terkejut, kini mereka tak lagi berdua. Di depannya sudah menanti beberapa wanita berpakaian minim tengah menatap mereka garang dan penuh amarah. Wanita kurus itu berada di depan. Kulitnya yang pucat dengan beberapa tulang yang menonjol nampak bercahaya tertimpa lampu jalan.

"Melati, lihat ulah anakmu!" Wanita bertubuh gempal itu berdiri berkacak pinggang. Menampakkan wajah paling garang yang dipunya. Bunga menatap tajam ke arah wanita-wanita di depannya. Alana sudah terisak tak karuan. Hingg wanita kurus tadi menghampiri dan menyeretnya paksa.

"Jangan sakiti dia!"

Bunga menepis tangan wanita kurus itu dan meraih tangan Alana. "Katakan! Apa yang harus aku lakukan agar gadis ini bisa bebas?"

"Dasar gila!" Sebuah teriakan tak asing menusuk telinga Bunga. Tak percaya bahwa teriakan itu berasal dari wanita yang melahirkannya. Wanita paruh baya itu berlari meraih tubuh Bunga lalu menjambak ramburnya.

"Dasar tidak tahu diri! Bedebah! Anak setan!"

Malam ini adalah malam yang kelam bagi Bunga dan Alana. Sebuah usaha untuk bebas dan mendapat hak-hak manusia tak lagi mereka panen hasilnya. Mereka hanya ingin bernapas, menghirup udara bebas dan tak terjerat bayang-bayang monster tua yang mengerikan. Bunga merasakan darah mengalir dari hidunya, berbagai pukul ia rasakan mengenai hampir sekujur tubuhnya.

Pandangannya menggelap dan napasnya mulai pendek. Gadis itu berusaha menggapai angin meminta celah untuk bernapas. Di akhir perjalanannya malam ini, Bunga mencari keberadaan Alana. Bunga ingin berteriak, atau menusuk satu persatu gigi wanita kurus itu dengan sebuah paku. Alana, dalam tangisnya kini jatuh lagi dalam rengkuhan moster tua itu. Pilu dan perih.

***

Bunga berlari, entah kenapa kini larinya terasa semakin cepat meski tubuhnya terasa lelah. Napasnya terengah-engah, hasrat untuk menembua lorong gelap ini begitu dahsyat. Seorang lelaki muda tengah menunggunya di ujung lorong. Bunga tidak boleh ketinggalan. Lelaki itu kenapa ikut berlari? Gadis itu menangis kemudian terjatuh sangat cepat dan bangun!

Sinar matahari menerobos masuk melalui celah-celah kelambu. Bunga menggeliat dan seketika itu ia merintih kesakitan. Tubuhnya terasa remuk dan pusing seketika menjalar ke seluruh bagian kepalan. Bunga membuka mata dan mendapati dirinya tengah berbaring di kamar tidur yang nyaman. Ia mengangkat kedua tangannya, mengutuk garis-garis takdir yang terukir di telapaknya. Sedikit pun ia tak dapat bangun.

Bunga meraih-raih udara di atas nakas mencari ponselnya dan tidak ada. Sial! Bunga memejamkan mata. Mungkin ini sudah cukup siang dan sudah terlambat untuk ke sekolah. Gadis itu memutar ingatannya. Mengapa ia mengejar seorang lelaki dalam mimpinya? Mengapa rasanya ingin sekali menggapai cahaya itu? Siapa lelaki itu.

Terdengar suara pintu diketuk dan Bunga terkesiap. Seseorang muncul dari balik pintu dengan senyum manis yang merekah. Napas Bunga tertahan.

"Alana?"

Tbc.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang