No. 59 [1]

503 62 16
                                    

Distrik Kedeyan, Kota Andaya.
01.00 WIB

Suara musik berdentum terdengar memekakkan telinga. Lampu warna-warni yang berkedip cepat, menembus kelambu merah jambu milik seorang gadis. Gadis itu, membuka matanya. Entah sejak kapan pintu kamarnya terbuka dan siapa yang melakukannya. Kepalanya pening dan perutnya mual, dia baru ingat jika belum makan sejak siang.

"Asam lambungku naik lagi."

Dia melangkahkan kaki, mencoba untuk menutup pintu kamarnya. Matanya menangkap pemandangan yang biasa ia lihat setiap malam. Orang-orang berkumpul, menari-nari di atas lantai. Berdesakan dan bau keringat. Takkan ada yang tahu jika ada salah satu orang di sana yang tiba-tiba kentut. Apalagi mulut mereka bau amer, alkohol dosis tinggi yang menyebabkan peminumnya sempoyongan.

Seorang lelaki tua menangkap bayangan gadis itu di balik pintu. Si Gadis terkejut dan buru-buru mengunci pintunya. Napasnya terengah. Hampir sama monster itu melihat dirinya. Malam semakin larut dan jangan harap kamu dapat tidur nyenyak bergumul dalam selimut. Gadis itu sudah lama tidak merasakan ketenangan itu, pikirannya penuh. Ruangnya semakin terbatas dan ia merasa sesak.

Gadis itu menghela napas panjang, lalu berjalan pelan menuju jendela kamarnya. Rembulan masih bertengger kokoh di langit. Andai ada sebuah kereta fiksi yang bisa mengantarnya pergi dari sini walau semenit saja, ia akan merasa bahagia.

"Aku terlalu terikat pada imajinasi."

Tangannya terangkat, menengadah ke langit meminta sesuatu, seperti bintang jatuh misalnya. Angin malam berembua pelan, hingga membuat anak rambutnya berantakan dari belakang telinga. Gadis itu tersenyum, lalu menurunkan tangannya.

"Sebentar lagi aku akan keluar dari sini."

***

"Sudah kukatakan bahwa wali kota itu tidak akan mampu melakukannya."

Beberapa orang wanita tengah memenuhi ruangan ini, mereka sibuk mondar-mandir dari dapur ke ruang makan sambil membawa piring-piring berisi makanan. Polesan make-up dan baju kurang bahan, selalu menempel lekat pada tubuh sintal mereka. Sesekali mereka berbincang, membicarakan wali kota dengan isu politiknya.

"Aku tak yakin dia akan menyerah begitu saja. Sebab, kekuatan kita lebih besar."

Seorang wanita kurus tiba-tiba datang, di belakangnya berdiri seorang gadis belia yang lugu. Wajahnya tertunduk seperti menahan sesuatu. Tangannya bergetar sembari memegangi bagian bawah perutnya. Dia kini tengah berseragam SMP lengkap dengan tasnya. Pemandangan itu menarik perhatian Bunga, yang kini tengah duduk tanpa suara di kursi meja makan.

"Kalian semua dengar dari mana?" Melati--Ibu Bunga--datang sembari membawa semangkuk besar sup tulang rangu memecah perdebatan pagi ini.

"Kemarin malam, patih wali kota 'kan mampir ke sini." Wanita kurus tadi menimpali ucapan Melati sembari menutup mulutnya malu-malu. Wanita-wanita yang ada disekitarnya sontak memandangnya sembari menggoda. Menyolek-colek pundak wanita itu lalu tertawa keras.

"Dapat komisi banyak, ni."

"Jadi, lelaki tua itu yang cerita?" Melati menimpali lagi dengan ekspresi datar.

Wanita kurus mengangguk. "Tetapi seperti kataku tadi, aku tak yakin."

Bunga menyimak pembicaraan mereka sambil sesekali mengamati gadis belia itu. Ingin sekali ia pergi dari sini secepatnya lalu membawa gadis itu lari. Sepertinya Bunga tahu, apa yang sudah terjadi dengannya. Jerat perjanjian dengan Tante Sinta, adalah biangnya.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang