No. 59 [7]

90 31 1
                                    

Tante Santi menyentuh dagu Bunga lalu mengarahkan wajah gadis itu dengan wajahnya. Mata mereka beradu dengan seringai mengerikan dari wanita tambun yang bau ketiak itu. Napas Bunga memburu, segala pikiran buruk ia tepis jauh-jauh.

"Sudah lama aku tidak berbicara denganmu. Apa kau ingat, kapan terakhir kali kita melakukan itu?" Suara Tante Santi terdengar manis namun sebaliknya di telinga Bunga. Sudah lama gadis malang itu melupakan kejadian buruk dan terkutuk itu. Sepuluh tahun lalu. Saat dirinya masih jadi gadis kecil yang suci dan lugu. Tante Santi, malah menjejalinya dengan hal-hal biadab.

Bunga memandangi Melati dengan ekor matanya. Bibir bunga terkatup rapat dengan gigi yang mencengkeram kuat. Wanita itu, yang seharusnya melindungi, menyayangi dan membelanya malah diam saja. Tubuhnya mematung seolah-olah ditahan oleh kenyataan di depannya. Bunga membuang muka dan meludah tepat di samping Tante Santi.

"Siapa kau berhak mengaturku?"

"Dasar gadis tak tahu diri!" Melati berhambur menghampiri Bunga dengan tongkat baseball yang hampir melayang. Bunga memejamkan mata lalu terdengar sesuatu yang berat tengah jatuh di depannya.

"Apa yang kau lakukan!" teriak Tante Santi yang terdengar mengerikan.

Bunga membuka mata dan kini dirinya tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Mbak Mita, wanita muda yang mendekatinya sejak pagi sudah terkapar dengan kepala berdarah. Tubuhnya terlentang lemah tepat di depan Bunga. Meski masih sadar dengan mata terbuka, tetapi darah segar tak henti-hentinya berhenti mengalir dari kepalanya.

Wanita ini ....

"Mbak!" Bunga segera berjongkok untuk meraih tubuh lemah itu. Sebuah kenyataan pahit yang ia ketahui bahwa, Mbak Mita bermaksud untuk melindunginya. Melati secara spontan melepaskan tongkat dengan bercak darah itu dan lolos begitu saja ke lantai.

"Apa ... apa .... " Melati hanya bisa terbata. Emosi telah menguasai diri dan akhirnya penyesalan yang terjadi.

Mbak Mita tanya menggerak-gerakkan bibirnya, tanpa suara. Tanpa banyak bicara, Bunga segera membopong wanita muda itu keluar ruangan. Dibantu oleh wanita muda lain yang ada di sana, kini mereka segera melarikan wanita itu ke rumah sakit. Pukulan yang didapat kemungkinan menyebabkan kerusakan tempurung kepala yang akan berakibat fatal.

Suasana berubah mencekam. Tante Santi hanya bisa membelalakkan mata. Mungkin jika bukan Mbak Mita yang jadi korbannya, kejadiannya tidak akan seperti ini. Wanita tambun itu berjalan tergopoh-gopoh menyusul langkah kami yang cepat.

Tepat di depan jalan, Bunga berhenti lalu menatap tajam ke dua wanita biadab itu. "Lihat, peperangan belum terjadi, tetapi kalian sudah mengotori tangan kalian terlebih dahulu."

Dingin dan penuh ancaman. Siapa pun tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi dan bahaya apa yang menghadang di masa depan. Melati dan Tante Santi hanya diam terpaku di tempatnya berpijak. Gadis pendiam dan tak banyak bicara itu, kini telah berubah. Mereka dihadapkan dengan sesuatu yang mereka jaga keutuhannya sejak dulu. Sebuah permata, suatu saat bisa jadi bara. Tergantung bagaimana dan untuk apa ia dijaga.

***

Untuk pertama kalinya dalam hidup, Bunga di tempatkan pada pilihan yang amat sulit. Raganya mengatakan bahwa ia harus kembali ke tempatnya dan menjadi gadis pendiam serta apatis lagi. Tetapi, hatinya menyangkal hal itu. Melihat wanita yang rela berdarah karena melindunginya membuat Bunga belajar peduli. Wanita ini ... bukanlah wanita yang cukup dekat dengan Bunga.

Sejak sikap anehnya tadi pagi, Bunga tidak dapat menyangkal bahwa kehadiran wanita ini cukup menggangu pikirannya. Aneh. Apa yang sebenarnya terjadi? Tidak ada yang sudi menemani wanita ini karena takut. Entah apa yang ditakuti wanita-wanita di lorong itu. Akhirnya, hanya Bunga yang berada di sini. Menanti wanita di depannya sadar agar bisa segera pulang.

Lorong NO. 59Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang