Azan Isya baru saja selesai dikumandangkan. Sayup-sayup dari kejauhan dapat didengar suara-suara pujian yang dilantunkan pada jamaah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ya, cukup jauh. Sampai Bunga harus memfokuskan diri agar bisa mendengar lantunan itu. Gadis itu segera mensucikan diri, menggugurkan hadast shogir agar dapat melakukan salat.
Bunga harus melakukan ini secepat mungkin. Berlari menuju kamar mandi dan kembali ke kamar lalu mengunci pintu. Sebentar lagi, tempat ini akan menjadi sarang setan yang bergumul dalam satu ruangan pengap. Satu hal lain yang membuat Bunga terburu-buru menyelesaikan tanggung jawabnya adalah hutang janjinya pada laras kemarin sepulang sekolah.
"Aku akan menghampirimu kalau kamu tidak segera menginap di rumahku."
Begitulah ancaman yang dilontarkan Laras tadi sepulang sekolah. Entah apa yang ada di pikiran gadis itu, kenapa dia sangat ingin sekali Bunga menginap di rumahnya. Sebenarnya, dalam lubuk hati Bunga pun ada secercah keinginan untuk pergi dari tempat ini. Tetapi ia harus ingat bahwa jika sekali saja Bunga melarikan diri saat malam hari, maka ancamannya bukan dirinya saja. Melainkan siapa pun yang terlibat dalam usaha melarikan dirinya.
Bunga segera mengenakan mukenah lalu melantunkan doa-doa dalam salat. Suatu saat ia merasa sangat bersyukur bahwa dirinya masih diberi kesempatan oleh Tuhan Maha Baik untuk tetap berada di jalan yang benar. Bunga ingat dulu semasa sekolah dasar, dirinya sering bermain ke kampung sebelah. Saat sore hari tiba, semua anak di kampung itu akan pergi ke surau. Ya, surau yang baru saja Bunga dengarkan suara azannya.
Akhirnya dengan keberanian yang ia miliki, Bunga melakukan hal yang sama seperti anak-anak di kampung itu. Dari situlah dia mengenal Ustadzah Bilqis, wanita cantik yang mengajarinya untuk selalu memperkokoh tiang agama. Bunga mengucap salam di akhir ibadahnya, lalu segera memanjatkan doa. Sayup-sayup terdengar suara beberapa mobil yang mulai memasuki lorong tempat tinggalnya.
Bunga terkesiap, gadis itu cepat-cepat mengemasi mukenahnya lalu segera menyiapkan diri. Sebuah jaket tebal berwarna hitam membalut dirinya. Tak lupa, celana panjang berbahan kaus yang lumayan longgar agar tidak menghalangi pergerakannya. Gadis itu memeriksa ponselnya sekali lagi dan membalas sebuah pesan yang menantikan kehadirannya.
[Sebentar lagi aku keluar]
Bunga segera memasukkan benda pipih itu ke dalam tas selempang lalu meraih sebuah masker hitam dan langsung memakainya. Tak lupa, sebuah topi hitam harus ia kenakan untuk menutupi sebagian wajahnya. Bunga siap. Dengan mengendap-endap, gadis itu segera mengunci pintu dari dalam. Dia berpikir bahwa siapapun nanti yang hendak membuka pintu kamarnya akan berpikir bahwa dirinya tengah tidur dan terbuai mimpi.
Setelah itu, Bunga berjalan ke arah jendela kamar. Menengok ke bawah untuk memeriksa apa pijakannya terlihat aman. Kamar Bunga terletak di lantai dua wisma Bunda. Gadis itu hanya perlu seutas tali untuk bisa merayap di dinding setinggi sepuluh meter itu. Gadis itu merapatkan topinya, jaga-jaga kalau ada manusia yang melihatnya. Seperti perkiraannya tadi bahwa ada sekitar lima mobil mewah yang terparkir di jalan.
"Sepertinya ada pesta besar." Bunga tersenyum miring. Merasa beruntung kalau keluar wisma di saat seperti ini. Tidak akan ada yang mencari atau peduli pada dirinya, termasuk sang ibundanya sendiri. Bunga meraih-raih angin di kolong tempat tidur lalu dengan cepat ia dapatkan seutas tali tambang yang cukup panjang.
Setelah mengikat salah satu sisi tali ke bingkai jendela, dirinya mulai bersiap. Jika nanti dirinya sudah menggantung pada tali dan menciptakan beban, maka secara otomatis jendela akan menutup. Bunga memanjat jendela dan mulai berdiri di atas atap lantai satu. Setelah menutup satu sisi jendela, dirinya mulai menggantung dan melorot ke bawah. Jendela pun menutup, binggo!
Bunga bergerak sepelan mungkin agar tak menimbulkan suara gaduh. Suara dentuman musik dangdut dj ala-ala terdengar memekakkan telinga menembus dinding kokoh yang kini ia pijak. Lampu kelap-kelip yang bergerak cepat dan membuat pusing sudah dinyalakan. Sepertinya pesta sudah benar-benar dimulai. Bunga mempercepat gerakannya lalu saat ketinggian dirinya mencapai satu meter di atas tanah, dia melompat. Hup!
Misinya berjalan lancar. "Tahu gini, udah dari dulu aku kabur." Bunga bergumam sendiri lalu merapatkan tas punggung yang ia gendong. Gadis itu berlari cepat ke arag selatan, tepatnya ke arah jalan raya. Suasana jalan sudah lumayan sepi meski sebenarnya masih sore. Sudah dapat dipastikan jika sebagian besar penghuni lorong tengah berkumpul di wisma Bunda.
Bunga merasa bahwa perjalanannya telah dimudahkan. Hingga beberapa saat kemudian perhatiannya terkecoh dengan sebuah pergerakan aneh di antara dua ruko. Bunga langsung bersembunyi di belakang salah satu mobil untuk berlindung. Namun, apa yang ia takuti tidak terwujud.
Di depannya nampak Alana yang tengah meringkuk di belakang tong sampah. Gadis belia itu nampak kedinginan karena tengah mengenakan pakaian kurang bahan. Bunga terperanjat lalu berjalan cepat ke arah gadis itu.
"Hei!"
Alana menoleh cepat dan hampir berteriak. Hingga Bunga segera melepas topi dan maskernya, barulah gadis itu merasa tenang kembali. "Ka--kakak?"
"Sstt!" Bunga menempelkan jari telunjuknya ke bibir lalu mendorong Alana masuk ke sela-sela ruko.
"Kamu kenapa di sini?" Bunga memelankan suaranya hingga mungkin hanya terdengar seperti sebuah desahan saja.
Alana menegang lalu sesaat kemudian, matanya berembun dan memerah. "Lelaki tua itu datang lagi."
Sudah kuduga.
"Ayo ikut aku! Kupastikan kamu tidak jadi menangis malam ini!" Bunga mengeluarkan sebuah gardigan dari dalam tasnya dan ia lemparkan pada Alana.
"Pakai itu. Tubuh kamu terlalu berharga."
Akhirnya, Bunga dan Alana berjalan cepat untuk segera keluar dari lorong gelap dan pengap ini. Satu hal yang ia sesali adalah, mengapa dari dulu ia tidak bergerak secepat ini. Bunga melirik sekilas ke arah Alana. Gadis yang kini jemarinya ia genggam itu sejenak terlihat lega dan sebuah senyum terukir di sana.
Setelah melalui lorong panjang dengan jantung yang berdegub kencang, kini keduanya telah sampai di jalan besar. Helaan napas lega terdengar hampir bersamaan dari dua gadis itu. Bunga berjalan ke arah timur, sedikit lebih jauh dari pintu masuk lorong. Alana masih mengikuti pergerakan Bunga dan memperhatikannya dalam diam.
"Kamu sudah makan?" Bunga melepas topinya dan langsung ia kenakan di kepala Alana. Gadis itu mengangguk lalu tersenyum manis sekali.
"Baiklah. Kali ini kita akan berjalan lumayan jauh. Kamu mau 'kan?" Bunga menarik tangan Alana dan membawanya berjalan.
Alana mengangguk lagi. "Aku akan lakukan apapun asalkan bersama Kakak."
Bunga tertawa kecil. Gadis ini begitu polos dan penurut. "Pantas saja lelaki tua itu menyukaimu."
"Tapi aku tak suka dia." Alana mengerucutkan bibirnya.
Bunga terkekeh. "Baik. Lupakan saja itu. Malam ini kita menginap di rumah temanku, ya. Berhubung bsok libur sekolah, jadi jangan khawatir. Bagaimana?"
Gadis ini masih belum ingin bercerita.
"Wah, mau, Kak! Akhirnya ada juga yang membawaku pergi!" Alana begitu bersemangat, hingga beberapa orang yang melintasi kami sampai terkejut. Bunga mengusap ujung kepala Alana. Sungguh, Bunga yakin masih banyak Alana - Alana lain yang terjebak di sana. Bunga belum bisa menemukan mereka, atau lebih tepatnya menyelamatkan mereka.
"Kita akan lakukan banyak hal yang biasa anak perempuan lain lakukan! Oke?"
Mungkin inilah saatnya. Setelah sekian lama memendam rencana ini, akhirnya aku yakin bisa menyelesaikannya. Meski harus mati sekali pun, yang terpenting aku tidak jatuh dalan pelukan lelaki-lelaki tua dengan perut buncit itu! Cuih!
Tbc.
Udah bisa nebak? Tempat apa yang ditinggali oleh Bunga?
Aku akan menceritakan tentang lorong itu secara perlahan. Jangan sampai ketinggalan ya❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
ActionLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...