"Bunga!"
Bunga masih memejamkan mata. Dirinya terlalu takut untuk melihat kenyataan bahwa usahanya telah sia-sia. Napasnya memburu dan tubuhnya bergetat hebat. Tak lama, ia merasakan ada sebuah tangan dingin yang dilapisi sarung tangan karet menyentuh telapak tangannya.
"Aku tidak mau!"
"Sstt!"
Tunggu.
Bunga mulai membuka matanya perlahan lalu terduduk lemas. "Ya Tuhan .... "
"Ahaha, kamu ternyata punya rasa takut juga." Mbak Mita yang tengah mengarahkan senter tepat ke wajah Bunga itu terkekeh. Wanita 22 tahun itu tengah mengenakan setelan yang hampir sama seperti Bunga. Bedanya, wanita itu memilih tetap mengurai rambut legamnya untuk menutupi wajah.
"Mereka mengikutiku!" Gadis itu menerima uluran tangam Mbak Mita lalu berdiri sejejar dengannya. Bunga menatap sekitar. Memang masih berada di jalan belakang, tetapi tepat di belakang Mbak Mita terdapat jalan besar yang ia klaim adalah perempatan.
"Bukannya kau selalu diikuti?" Mbak Mita menaikkan sebelah alisnya. Seolah-olah tahu segalanya.
"Apa?"
"Ck! Sudahlah! Cepat ke kamarku!"
Bunga mengangguk saja lalu mengikuti Mbak Mita dari belakang. Tangan mereka masih bertaut lalu berjalan cepat melintasi perempatan jalan dan hilang di gelapnya malam. Tidak ada yang tahu dan tidak akan ada yang menduganya.
Wisma tempat tinggal Mbak Mita memang masih beroperasi. Bahkan malam ini terlihat amat ramai. Suara musik, lampu warna-wani yang membuat sakit mata ataupun bau-bau alkohol yang memuakkan. Keduanya berjalan cepat melewati pintu belakang yang tembus dapur. Lalu menaiki tangga kecil ke lantai dua menuju kamar Mbak Mita.
Saat ini adalah pertama kalinya bagi Bunga memasuki wisma ini. Dibandingkan wisma tempat tinggalnya, wanita-wanita yang tinggal di sini usianya lebih dewasa dan jelas lebih berpengalaman. Terserah apa yang dimaksud berpengalaman, tetapi begitulah penjelasan Mbak Mita.
Begitu sampai di lantai dua, Bunga cukup terkejut. Di sini benar-benar sepi dan redup. Entah mengapa, di tempat seperti ini jantungnya malah berdetak lebih kencang. Sepanjang jalan menuju kamar, ia berkali-kali menoleh ke kanan kiri untuk memastikan tidak ada orang lain yang melihatnya.
"Kamar Mbak Mita di mana?" bisik Bunga.
"Di ujung."
Benar saja, kamar Mbak Mita letakknya di ujung dan agak berbelok ke kiri. Jika dilihat dari tangga, mungkin tidak akan nampak jika minim lampu seperti ini. Sungguh tempat strategis untuk bersembunyi.
"Akhirnya," desah Mbak Mita begitu menutup pintu saat Bunga telah memasuki kamarnya. Alana yang tadinya duduk di atas ranjang pun langsung berdiri menghampiri keduanya. Gadis itu bahkan sudah memakai piyama tidur bermotif kelinci imut. Benar-benar siap untuk tidur.
"Ah, aku lupa tidak bawa piyama." Bunga meletakkan tasnya sembari menatap Alana. Penyesalan itu menguar, mengingat ia tak bisa tidur nyenyak tanpa piyama.
"Pakai punyaku." Mbak Mita melepas semua pakaiannya dan berganti piyama dengan cepat. Alana hanya terkekeh kecil lalu berjalan ke meja kecil dekat lemari. Mengambil sebuah kotak lalu diletakkan di depan Bunga.
"Perjalanan ke mari pasti membutuhkan banyak tenaga. Sekarang makanlah." Alana membuka kotak itu dan nampaklah ayam goreng krispi lengkap dengan sekepal nasi. Bunga mendesah pelan lalu membuka jaket juga topinya.
"Kuakui, aku memang lapar dan bahkan aku belum mandi! Dasar kalian!" keluh Bunga sembari berjalan pelan menuju kamar mandi untuk mencuci tangan.
"Aku mendapat kabar itu tepat semenit sebelum aku mengirimimu pesan. Bukankah timingnya tepat?" Mbak Mita kini ikut duduk di samping Bunga. Menatap intens gadis yang sedang makan itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
AcciónLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...