Gadis belia itu memasuki kamar Bunga. Jalannya terlihat tertatih dan beberapa kali harus meraba-raba tembok agar tidak terjatuh. Bunga bergegas bangun dan menuntut Alana duduk di tempat tidurnya. Sebuah keanehan yang kini Bunga perhatikan, senyum Alana sama sekali tidak pudar. Bunga menyentuh dahi Alana, sedikit hangat.
"Kamu tidak sekolah?" tanya Bunga Khawatir. Tempat tinggal Alana bukan di sini. Gadis itu beserta ibunya menempati wisma Kasih yang terletak agak jauh ke utara.
Alana menggeleng, masih dengan senyumannya yang kini terlihat ... menyakitkan? Bunga tahu bahwa Alana tengah terluka. Tubuhnya penuh lebab dan sepertinya sedikit demam. Bunga tahu itu. Akhirnya, Bunga terpojok. Ia tahu bahwa Alana hanya perlu dukungan. Bunga merengkuh tubuh kurus Alana dalam pelukan. Larut dalam kehangatan. Tak lama, terdengar isakan kecil di bahu Bunga.
Benar. Kini dia terluka.
"A--aku takut kakak ma--mati .... "
Sebuah kenyataan pahit di depan mata. Mungkin jika Bunga tidak memikirkan nasih anak-anak di lorong ini, ia akan memilih mati gantung diri. Bunga tersenyum dalam relung luka terdalam. Mengusap rambut panjang Alana yang kusut dan berantakan.
"Aku tidak akan mati. Aku punya banyak impian di sini. Kamu yang kuat, aku butuh kamu untuk menemaniku."
Dua gadis yang terluka. Jiwa raga tersiksa oleh keputusan yang tak dapat mereka tolak. Mereka bisa saja meminta tolong, tetapi tidak semua manusia akan sudi menjamah. Lorong No. 59, sudah mendapat julukan tersohor di penjuru kota. Ke mana Hak Asasi Manusia? Mereka ditutupi oleh perut-perut rakus para petinggi. Bunga gadis sederhana, tetapi ia punya impian. Setidaknya ia tidak mati dalam kolong penuh lalat di wisma ini.
***
Bunga siap. Sejak azan subuh berkumandang ia sudah bersiap mandi dan melakukan aktifitas sebelum sekolah. Kemarin ia membuat janji dengan Alana. Berangkat sekolah bersama dan jangan ikut sarapan dengan para wanita-wanita penghibur itu. Keduanya berjanji akan berjuang bersama dan hal itu dimulai hari ini.
Jarum jam menunjukkan pukul setengah enam pagi dan suasana wisma masih sangat sepi. Bunga mengeluarkan kepala di jendela kamar dan dapat ia lihat dalam pandangannya dari kejauhan Alana tengah berjalan pelan menuju wismanya. Bunga tersenyum lalu melambaikan tangan ke arahnya. Alana mendongak dan melambai-lambai.
Dengan cepat, Bunga berlari keluar kamar dan menuruni tangga. Suasana wisna benar-benar sepi. Cukup aneh tetapi gadis berambut panjang itu tidak mau ambil pusing. Sampai saat ia tepat berada di ambang pintu, seseorang menarik tangannya. Bunga terkejut dan membalikkan badan.
"Lepaskan!" Bunga menarik tangannya kuat-kuat. Seorang wanita muda, Mbak Mita namanya. Wanita ini juga sejenis dengan ibunya juga ibunya Alana. Wanita ini diam membisu, hanya tatapan matanya yang cukup menarik perhatian Bunga.
Mengapa perempuan ini terlihat terluka?
"Aku tidak takut meski kau mengadu pada wanita gendut itu!"
Bunga melengos pergi lalu berjalan cepat bersama Alana. Kedua gadis itu sedikit berlari meski harus tertatih dan setelah beberapa ratus meter Bunga menoleh. Mbak Mita masih di sana, memandangi keduanya. Bunga terusik, ada apa dengan wanita itu? Meski ini bukan pertama kalinya mereka berpapasan tetapi baru kali ini Mbak Mita mau menyentuhnya dan tatapan itu?
"Kak, sepagi ini apakah sudah ada angkot yang mangkal?" Pertanyaan dari Alana membuyarkan lamunannya.
Bunga menoleh cepat lalu mengerucutkan bibirnya. "Kayaknya ada deh."
![](https://img.wattpad.com/cover/250377891-288-k27153.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lorong NO. 59
AcciónLorong No. 59, terpencil, sempit namun tersohor. Kota Andaya, terkenal sebagai salah satu kota dengan tingkat prestasi pendidikan tertinggi, di mana pemerintah menerapkan kurikulum terbaik dan fasilitas pendidikan yang memadai. Bagai permata yang bi...