"Belajarlah ikhlas dari sang akar, karena dari hal kecil itulah kau bisa menjadi setabah akar".
~ Rohma Asti N. Z~
Sesampainya di panti asuhan, aku disambut dengan dua orang yang ku rasa mereka berdua akan sangat marah melihatku basah kuyup. Namun, realitanya tidak seperti itu. Bibi Ratna dan kak Hanin sama-sama diam. Melihat hal itu, aku langsung saja memberi salam dan langsung masuk ke kamarku.
Sore itu, aku langsung mandi, ganti baju dan segera tidur. Tentu saja, di hari itu aku sudah meminta Rosa untuk tidak tidur denganku karena aku ingin sendiri. Malamnya, ketika kami semua berkumpul di meja makan. Keadaan tak lagi sama, aku merasa heran melihat semuanya melempar pandangan ke arah masing-masing sembari sesekali memerhatikanku.
Keesokan harinya, aku meminta izin untuk tidak sekolah kepada Bibi Ratna. Setelah semuanya pergi ke sekolah masing-masing, panti asuhan tampak sepi. Yang tersisa hanyalah aku dan Bibi Ratna. Di hari itu, aku merenung sendirian di kamarku. Hingga tiba saja, Bibi Ratna mengetuk pintuku.
"Jingga, bolehkah Bibi Ratna masuk nak?" Tanyanya.
Aku memutar bola mataku malas, lantas berdiri dan membuka pintu.
"Ada apa Bi?" Tanyaku seketika.
"Apa Bibi bisa bicara sebentar?" Tanyanya.
"Maaf Bi, aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun," kataku kembali menutup pintu.
"Nak, dengarkan Bibi dulu. Bibi tau kamu sedih karena ayahmu," katanya pelan.
Aku berfikir beberapa kali sebelum akhirnya aku membuka pintu itu kembali. Aku hanya diam, membuka pintu dan kembali ke kasurku. Aku duduk di tepian kasur sembari menenggelamkan wajahku.
"Nak, jauh sebelum kau ke sini, ayahmu sudah menceritakan semua kejadiannya. Dan yang mengetahui hal ini hanyalah Bibi dan Kak Hanin, tak ada orang lain yang tau nak," kata Bibi Ratna.
"Apa? Bibi tau dan menyembunyikannya dariku?" Tanyaku marah.
"Nak, maafkan bibi. Bibi tidak berhak untuk menyampaikan hal itu kepadamu nak," katanya pelan sambil menitihkan air mata.
"Ta... Tapi aku tak percaya bahwa dia adalah ayahku Bi, Ibu bilang bahwa Ayahku telah meninggal," kataku pelan sambi menangis.
Bibi Ratna berusaha memelukku, namun aku berusaha melepas pelukannya.
"Nak, dia adalah ayahmu dan itulah kenyataannya," ucapnya.
"Tidak Bi... Ti.. tidak mungkin. Kenapa semua orang berbohong padaku Bi?" Tanyaku sembari menangis sendu dan berlari ke arah pintu.
"Jingga, Bibi mohon, maafkan kesalahan Ayahmu," pintanya.
Aku membalikan tubuhku ke arahnya dan dengan tegas aku berkata.
"Aku tidak akan bisa memaafkan dia Bi, sekalipun kenyataan berkata bahwa dia adalah Ayahku," kataku tegas sambil melangkahkan kakiku pergi.
"Nak, dia membutuhkanmu. Kemarin, saat dia mengetahui bahwa kau benar-benar marah kepadanya. Dia merasa bersalah dan hendak mencarimu, tapi di tengah perjalanan dia mengalami kecelakaan," katanya pelan.
Aku yang mendengarnya seketika merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diriku. Tapi, aku tetap tak mendengarkan Bibi dan langsung pergi. Saat itu, aku pergi ke makam Ibu dengan sepeda pancal kak Hanin. Sesampainya di makam, aku bisa melihat dengan jelas bahwa suasana makam nampak lengang, hanya ada aku dan segelintir orang saja. Dengan cepat aku memarkir sepeda dan membeli bunga sebelum akhirnya ke makam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Literatur Bernyawa [COMPLETED]
General FictionKarya ke 1 Start: 4 Desember 2020 Mendung sekali lagi mencipta gamang. Membuat sendu semakin merasuk dalam raga. Hal ini terjadi pada Jingga, seorang gadis kecil yatim piatu yang bertahan hidup di tengah kerasnya Kehidupan Kota. Kehidupan membuatny...