Perpisaha dengan Bibi

13 9 10
                                    

Setelah aku berada di "Rumah Lentera", aku merasakan bahwasanya suasana di sana sangat mendukung untukku. Terlebih lagi karena aku mendapat seorang teman yang bisa ku ajak ngobrol sepanjang hari. Namun, keesokan harinya kak Hanin dan aku memutuskan untuk bertemu dengan Bibi Ratna untuk yang terakhir kalinya. Aku hanya tak ingin membuatnya khawatir. Dan sesampainya di depan rumah Bibi Ratih Aku mengetuk pintu itu pelan.

"Assalamu'alaikum," kataku.

"Wa'alaikum salam," jawab Bibi Ratih sembari membuka pintu pelan.

"Alhamdulillah, Nak Jingga. Bibi khawatir kamu kenapa-napa. Kemarin kamu kemana aja Jingga? Bibi waktu malam ke rumahmu, tapi kamu ngga ada," ucapnya dengan wajah khawatir. Ia memegang lenganku. Kedua alisnya menyatu.

"Bik, maafin Jingga ya udah buat Bibi khawatir. Jingga kemarin ketemu sama seseorang yang bawa Jingga ke panti Bi. Jadi, Jingga ngga hidup sendirian sekarang," kataku sembari tersenyum.

"Alhamdulillah kalo gitu Bibi. Ayo masuk dulu kalian berdua," Bibi Ratih tersenyum bahagia. Ia menitikkan air matanya. Kak Hanin tersenyum dan menyalami Bibi Ratih. Kami bertiga masuk ke rumah Bibi Ratih. Kami duduk di ruang tamu. Di hadapan kami, sudah ada beberapa kue dan beberapa aqua.

"Jingga, apa ini orang yang mbawa kamu ke panti asuhan?" Bibi Ratih tersenyum dan menunjuk ke arah kak Hanin.

"Iya Bi, namanya kak Hanin," jawabku sembari tersenyum.

"Gimana ceritanya kalian ketemu?" Tanya kak Hanin.

"Kemarin saya bertemu Jingga Bi. Kita ketemunya secara tiba-tiba, dan Jingga bilang kalo dia hidup sendirian. Jadi, waktu itu saya langsung ngajak dia untuk ke panti," kak Hanin menyampaikan pertemuan kami. Pertemuan yang kurasa adalah sebuah keajaiban. Bahkan hal itu tidak pernah ada di dalam daftar keinginanku. Karena aku mengerti, impian itu terlalu tinggi untukku.

"Wah, terimakasih ya Nak Hanin. Bibi seneng sekarang, akhirnya Jingga bisa ada temennya. Bibi kemarin khawatir waktu tau Jingga ngga ada di kamarnya Nak Hanin. Bibi titip Jingga ke kamu ya Nak. Terimakasih banyak karena mau mengajak Jinagga ke panti asuhan," Bibi Ratih nampak terharu. Ia beberapa kali menitikkan air matanya.

"Sama-sama Bi, Hanin juga seneng kalo bisa menolong Jingga. Sekarang Jingga juga bisa melanjutkan sekolahnya Bi," ucap Kak Hanin.

"Alhamdulillah, kamu yang semangat ya Jingga buat sekolahnya. Kamu harus semangat, kamu harus rajin belajar dan jadi orang sukses nantinya. Biar Ibu kamu bangga sama kamu," kata Bibi Ratih dengan wjaah haru.

"Iya Bi, pasti Jingga bakal ngelakuin itu. Jingga harus bikin Ibuk bangga."

Aku dan kak Hanin saling berhadapan. Kami berdua saling tersenyum. Sesekali dia mengelus punggungku. Mencoba membuatku tegar. Kedua matanya membiusku. Entah mengapa aku merasakan ketulusan dari sosok sepertinya, meski aku terbilang masih terlalu sedikit mengobrol dengannya.

"Bibi, kak Hanin. Kalian berdua tunggu di sini ya, Jingga mau ke rumah dulu."

Kak Hanin dan Bibi Ratih tersenyum. Aku segera bergegas menuju ke rumah. Dan sesampainya di sana, memoriku antar aku dan Ibu terurai. Entah mengapa aku seperti merasakan kehadirannya. Aku menyusuri setiap ruangan yang ada. Di mulai dari ruang tamu yang terbilang sederhana. Bagaimana tidak? Pondasi rumahku hanya berlapiskan koran, untuk tidur pun bukan hanya kasur yang ku gunakan. Melainkan hanya setumpuk karung goni yang ku susun bersama ibu agar muat untuk kami berdua.

"Ibu.. aku rindu," air mataku mengalir deras. Aku melihat baju merah yang sering digunakan ibu. Lantas aku memeluknya. Di hari itu, aku meredam semua amarahku kepada alam yang telah berani merenggut ibuku secara paksa. Berkali-kali aku menganggap dunia terlalu kejam. Setelah mengenang semua hal itu, aku kembali ke rumah Bibi Ratih.

"Jingga, sudah selesai ya Nak?" Tanya Bibi Ratih. Aku yang berdiri di hadapan rumah itu hanya tersenyum dan duduk.

"Jingga kenapa?" Tanyaku dengan wajah heran.

"Ngga apa-apa kok Bi," kataku tersenyum.

"Kak, kita pulang ya habis ini. Jingga mau istirahat. Badan Jingga tiba-tiba ngga enak," kataku dengan cepat.

"I.. iya Jingga," jawab kak Hanin dengan wajah cemas.

"Bibi, aku sama Jingga pamit dulu ya. Jingga lagi ngga enak badan Bi," jawabnya dengan wajah cemas.

"Iya Nak, kalian berdua hati-hati ya."

Kami berdua pamit undur diri. Di hari itu, aku murung. Sesampainya di panti asuhan, aku langsung bergegas menuju kamar dan menyelimuti diriku. Ku pejamkan mata, berharap agar aku bisa sedikit tenang.

TFR (Thank's for reader)
Semoga suka ya

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang