Ketika Logika Berbicara

88 66 57
                                    

Keesokan harinya, seperti hari-hari biasa. Sang penguasa hari menyapaku melalui semburat sinarnya. Membuat kedua aksaku terpikat olehnya. Tak mau kalah, hilir angin membelai dedaunan, membuatku merasakan udara sejuk yang menambah kedamaian. Dan dengan sentuhan doa, aku merapalkan syukur atas semua kenikmatan yang telah diberikan oleh Rabbku.

"Jingga, ayo berangkat. Kamu udah siap kan?" Tanya seseorang dari luar pintu.

"Iya kak," jawabku sembari melangkah ke luar kamarku.

Hari ini, aku berkata pada kak Hanin agar ia bersedia mengantarku kembali mengunjungi rumahku dan Bibi Ratih. Karena di dalam hatiku, ada seruan rindu yang tak kunjung mereda. Meski aku telah mencoba dengan segala cara.

"Dek, ayo pamit ke Bibi Ratna dulu," ajaknya seketika.

Aku mengiyakan sembari mengikuti kak Hanin dari belakang.  Sesampainya di dapur, kami berdua segera berpamitan.

"Jingga, semoga dengan cara ini rindumu terobati ya nak," ucapnya setelah mengecup keningku.

"Iya Bi, Jingga berharap juga seperti itu."

"Jangan lupa berkunjung ke makam Ibumu ya nak," katanya.

Aku hampir saja menitihkan air mata, tapi lagi-lagi aku berhasil memasang topeng agar aku bisa tersenyum.

"Bibi, Hanin pergi dulu ya," kata kak Hanin berpamitan kepada Bibi Ratna.

"Kalian berdua hati-hati ya," ucap Bibi Ratna mengingatkan. Setelah kami berdua berpamitan, aku dan kak Hanin bergegas menuju ke rumahku.

Di hari itu, semua memori yang berkaitan dengan aku dan Ibu mengambil peran. Ia mengisi setiap relung di jiwaku yang mulai terasa kosong. Langit yang ku tatap pagi itu seolah memanggilku dan memberikan senyuman melalui warnanya yang kian menawan. Setelah hampir dua puluh menit berkendara, akhirnya aku dan kak Hanin sampai di gubuk tuaku.

"Kita sudah sampai Jingga," ucapnya.

Seketika senyum terbit di wajahku. Aku berdiri dan kembali memutar memori. Membayangkan bagaimana aku dan ibu saling merajut kebersamaan dengan bercerita dan tertawa. Tak peduli waktu, pula dengan sedih. Begitulah bahagia yang tercipta diantara kami berdua. Terkesan sederhana, namun itulah yang terpenting. Tak ada yang bisa membeli sebuah kebersamaan. Karena kebersamaan terbentuk melalui dua orang yang tulus dan saling menyediakan waktu. Harga dari sebuah kebersamaan dan kehangatan sangatlah mahal. Karena kau tak bisa membelinya sekalipun dengan emas, logam, ataupun barang termewah.

"Jingga, ayo kita masuk," ucap kak Hanin menepuk bahuku dari belakang.

"Ayo kak," katanya.

Aku yang mendengar hal itu kembali tersenyum. Langkah kakiku membawaku masuk ke dalam rumah. Namun, belum sempat aku sampai di dalam rumah. Aku mendengar teriakan dari arah belakang.

"Jinggaaaaa, jangan masuk Nak!" Teriak seseorang dari kejauhan.

Kak Hanin dan aku lantas sama-sama menoleh ke arah belakang. Dari kejauhan, aku bisa melihat bahwa orang yang telah menghentikan langkahku adalah Bibi Ratih.

"Jingga, ayo ikut Bibi, Nak," ucapnya sembari menggenggam erat kedua tanganku.

"Kalian.. Kalian berdua, ikut Bibi sekarang," ucapnya seperti orang ketakutan.

"Ada apa Bi?" Tanyaku mencoba mencari tahu.

"Nak, tidak ada waktu untuk menjelaskan, Bibi mohon kalian ikut Bibi sekarang."

Aku dan kak Hanin mengangguk. Kami bertiga akhirnya mengikuti Bibi Ratih yang berlari. Setelah sepuluh menit berlari, kami akhirnya sampai di tempat Bibi Ratih.

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang