Ambisi Gadis Kecil

154 98 52
                                    

"Ya itulah langkahku selanjutnya," aku bergumam dalam hati. Akhirnya, setelah gelap menguasai seluruh semesta, fajar kembali datang bersama dengan warna indahnya. Bertegur sapa denganku yang masih asyik memejamkan kedua mata. Membisikkan irama "selamat pagi" melalui pantulan cahaya yang memasuki celah pintu rumahku.

"Ya Allah, semoga hari ini aku bisa dapet kerjaan. Aamiin," ucapku.

"Tok tok tok."

"Assalamu'alaikum," jelas terdengar suara Bibi Ratna dari luar.

Aku pun bergegas untuk ke arah pintu.

"Wa'alaikum salam Bibi. Ada apa?" Tanyaku sembari tersenyum.

"Nak, ini bibi bawakan makanan untukmu. Dimakan ya," katanya.

"Terimakasih Bibi," jawabku sembari mengambil rantang yang telah beliau bawa.

"Nak, ini ada sedikit sangu untukmu. Tolong diterima ya," katanya sembari memberikan uang 5000.

"Tidak usah bibi, Jingga masih punya uang. Ini cukup untuk Jingga," jawabku.

"Sudah Jingga, ambil saja. Bibi ikhlas kok nak, tolong jangan menolak pemberian Bibi ya," pintanya.

Aku berfikir sejenak sebelum akhirnya mengiyakan. Setelah aku menerimanya, Bibi Ratih pergi. Aku sangat bersyukur karena masih diberi kenikmatan agar aku bisa makan hari ini. Tak lupa aku berdoa agar anak-anak di seluruh dunia bisa makan-makanan yang enak sepertiku. Setelahnya, baru aku makan dan pergi ke sekolah.

Semangatku menggebu pagi itu, langkah kakiku seakan memiliki ambisi yang kuat hingga membuat diriku menyuarakan dzikir di dalam hati, berharap agar seseorang memberiku peluang untuk menjadikanku sebagai pegawai mereka.

Hari ini, baru pertama kalinya aku menghargai mentari pagi yang memberikan senyuman bermakna untuk diriku. Konstalasi sistematis yang terus menderu dibalik sebuah kehidupan membuatku menemukan taktik yang sudah kurekam tadi malam agar aku diizinkan pulang cepat.

Setibanya aku di kelas, aku langsung duduk di bangkuku. Ku tatap teman sekelasku yang asyik berbicara, entah topik apa yang tampak menarik hingga mereka tak hentinya berkomentar dan menyampaikan pendapat. Yah itulah hal yang akan terkenang hingga diujung waktu. Bercanda tawa dengan renyah tanpa peduli putaran waktu berjalan cepat, karena saat itulah seolah waktu berjalan dengan lambat.

"Tet tet" Bel berbunyi. Menandakan pelajaran dimulai, saat itulah repetisi yang menyibukkanku berusaha menguasai diriku. Namun, realitanya aku malah memfokuskan diriku untuk melancarkan aksiku. Di kelas, aku melipat kedua tanganku dan menyembunyikan kepalaku di baliknya. Aku bertahan 1 jam sebagai bentuk pertahananku.

Wow itu adalah pertunjukan teater terserius yang pernah kumainkan.

"Nak Jingga, apa kamu sakit?" Tanya guruku yang mengenakan kerudung cokelat mocca rawis dengan gamis berwarna putihnya yang membuatnya nampak serasi.

"Iya bu, saya sudah sakit sejak kemarin malam Bu,'' Aku menampilkan raut muka lesu yang pastinya sengaja kuperankan didukung dengan bahasa tubuhku agar tampak kelihatan asli dan membuat guruku percaya.

"Baiklah nak, dari tadi Ibu perhatikan kamu sudah tidur selama 1 jam. Baiklah, kamu boleh pulang, biar saya menyuruh pak satpam mengantarmu pulang ya nak," jawaban guruku membuatku bahagia.

"Baik bu, terimakasih atas izinnya," Aku mengulum senyumanku dan pamit undur diri dari kelas.

Jika boleh jujur, sebenarnya aku ketakutan dan merasa bersalah. Karena aku tak pernah berbohong sebelumnya, namun hatiku kembali berbisik lirih, "tak apa, kau melakukannya untuk kebaikan Jingga". Setelah aku merapikan buku-bukuku, aku bergegas ke Pak Satpam.

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang