Aku mengawali Selasa pagi dengan wajah murung, entah apa yang membuatku menjadi bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sesampainya di sekolah, bunyi bel dengan kencangnya berbunyi. Rupanya, bukan hanya murungku yang menjadi persoalan, melainkan ditambah denganku yang terlambat masuk ke sekolah. Aku melihat bagaimana lapangan sekolah tampak lengang, hanya ada pepohonan besar yang bisu dengan langit biru sebagai penopangnya.
"Hadeh, pasti dihukum nih," ucapku lirih.
Aku melangkah dengan malas menuju lapangan sekolah. Ku lihat beberapa anak yang lain sedang berdiri dengan satu kaki. Kedua tangan mereka menjewer telinga mereka sendiri. Sedang di depan mereka, berdirilah seorang guru olahraga yang terkenal kejam bagi seluruh murid termasuk diriku.
"Hei kamu, cepat ke sini. Enak-enaknya malah jalan kaki!" Bentak lelaki bertubuh kekar dengan tatapan matanya yang tajam.
Aku yang mendengarnya hanya bisa diam dan segera berlari menghampirinya. Ku banting tas ke sembarang arah dan langsung bergabung dengan yang lain.
"Pake telat-telat segala! Kamu mau jadi apa kalo seperti ini?!" Bentaknya.
Aku menunduk ke bawah dan menetralkan denyut jantungku yang semula berdegup kencang.
"Ayo cepat, kamu seperti yang lainnya. Berdiri satu kaki, dan jewer telinga kamu sendiri!" Bentak bapak itu.
Aku melakukannya selama 15 menit, dan setelah 10 menit berlalu aku baru sadar bahwa hanya aku perempuan satu-satunya yang ada di sini.
"Ah sial," ucapku sambil berdecak kesal.
Setelah 15 menit berlalu, aku dan yang lainnya disuruh lari keliling lapangan 3 kali. Kami semua mengikutinya. Dan setelah kami berlari, guru olahraga super kejam itu menyuruh kami semua untuk ke kelas masing-masing.
Sesampainya di depan kelas, aku langsung disambut dengan pertanyaan dari guru yang mengajar di kelas hari itu. Orang itu bernama Bu Ela.
"Jingga, kenapa kamu telat?" Tanyanya.
Aku masuk sembari mengucap salam dan menjelaskan di depan.
"Maafkan saya Bu, tadi saya telat karena mikroletnya datangnya lama. Dan ketika di perjalanan, tiba-tiba saja mikroletnya mogok. Jadinya, saya ya lari Bu dan sekitar 15 menitan baru nyampek," ucapku santai.
"Yasudah, lain kali jangan diulangi lagi ya," katanya memperingatkanku.
"Siap Bu," kataku sambil hormat ke arahnya dan tersenyum.
"Yasudah, silahkan duduk," lanjutnya.
Aku yang begitu kelelahan akhirnya berjalan ke bangkuku sendiri.
"Eh Jingga, lo ga lupa kan? Kalo hari ini Bu Nia ada pr yang harus dikumpulin?" Tanya Zahra.
"Tenang, semuanya aman," kataku sembari mengeluarkan buku prku.
Di hari itu, aku tidak bisa fokus dengan pelajaranku. Yang aku inginkan hanyalah istirahat tiba. Ketika itu terjadi, hal pertama yang ku lakukan adalah menolak ajakan dari Zahra untuk pergi ke kantin. Hal selanjutnya yang ku lakukan, adalah aku bergegas menuju perpustakaan. Di sana, aku mengisi buku diary yang selama ini aku simpan di rumah. Namun, belum sempat aku menulis satu patah katapun. Tiba-tiba saja, seseorang mengagetkanku.
"Ba!"
"Astaga... Ni anak ngapain lagi si, Lo kalo mau ngajak ribut di tempat lain aja Napa si?" Tanyaku.
"Ya maaf atuh neng, habisnya gue perhatiin daritadi lo merenung terus," ucap Pandu.
"Hah? Sejak kapan Lo merhatiin gue?" Tanyaku spontan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Literatur Bernyawa [COMPLETED]
Narrativa generaleKarya ke 1 Start: 4 Desember 2020 Mendung sekali lagi mencipta gamang. Membuat sendu semakin merasuk dalam raga. Hal ini terjadi pada Jingga, seorang gadis kecil yatim piatu yang bertahan hidup di tengah kerasnya Kehidupan Kota. Kehidupan membuatny...