Akulah Ayahmu Nak

36 28 5
                                    

Aku duduk di samping Rosa dan Verlina. Sementara Bibi Ratna dan kak Rosa duduk bersebelahan di ujung meja makan. Hari ini, aku menyaksikan mereka semua tertawa bahagia, tak ada sepi diantara kami semua. Dan aku bersyukur karena aku memiliki mereka semua. Setelah selesai makan, seperti biasa aku kembali membuka lembar buku, berusaha memahami setiap makna yang tersirat darinya demi sebuah ilmu yang berguna.

Langit malam menjadi penopang antara diriku dan semua doa yang terbawa angin dingin saat itu. Aku belajar terlalu keras karena tak ingin mengecewakan semuanya hingga tak sadar jam dinding telah menunjukkan pukul 11 malam. Dan di saat itu, aku masih terjaga dari tidurku ditemani dengan 5 buku tebal dan sebuah catatan yang dipenuhi dengan rangkuman.

Untuk mengusir kebosanan, aku memutar salah satu lagu favoritku yaitu usik. Tentu saja aku mendengarkannya dengan menggunakan headshet, karena aku tak ingin menganggu sahabatku tidur.

Tersesat beriring kabut...

Menguak hal yang tlah larut..

Dalam hangat ruang ini ku tersudut..

Menerjang ingatan yang tlah kusut..

Sesekali aku merenungkan kalimat demi kalimat yang ada di dalam lagu itu, sebuah makna yang dalam bagiku. Hal itu membuatku berlabuh, hingga jemariku menulis sebuah cerita panjang tentang perjalanan hidupku.

Hangat di dalam duniaku..

Binasa, seram, kelam, redup..

Perlahan menjerit atas yang ku terima..

Dari orang-orang yang tak paham..

Dari lagu itu, semua memori ku kembali. Aku mengingat bagaimana aku dan Ibu kerapkali di usir oleh pedagang-pedagang lain hanya karena persoalan tempat. Aku dan Ibu dituduh telah merebut tempat pedagang lain untuk berjualan, padahal sebenarnya tidak.

Aku juga mengingat bagaimana kami hanya bisa makan sekali dalam sehari. Aku membaginya dengan Ibu kala itu. Cahaya rembulan membuatku mengingat wajah Ibu kala itu, bagaimana ia tersenyum tatkala aku memberinya hadiah sebuah bakpao.

Saat itu, dengan polosnya aku berkata, "Aku tak memiliki apa-apa untuk hari yang spesial ini Ibu. Tapi, izinkan aku untuk memberimu hadiah Ibu. Ini adalah bakpao yang kusimpan dari tadi pagi, sore ini aku memberikannya pada Ibuku yang tercinta."

Lantas Ibuku tersenyum, "Nak, kau mau tau apa kado terspesial di hari ulang tahun Ibu?" Tanyanya kala itu dengan tatapan sayu.

Saat berumur 6 tahun aku hanya bisa menggelengkan kepala, namun beliau berkata padaku, "Tuhan memberikan hadiah terindah di setiap harinya untuk Ibu nak," jawabnya.

Aku bertanya dengan polosnya saat itu, "Hah? Setiap hari hari spesialnya Ibu dong? Kok bisa? Ibu kan ngga dapet kue ulang tahun," ucapku dengan polosnya kala itu.

"Ketika Ibu bisa menemanimu sampai detik ini nak, itu adalah puncak kebahagiaan Ibu. Ibu bahagia jika Jingga masih bisa tersenyum, mungkin bagi sebagian orang diberikan hadiah berupa barang adalah hal yang indah. Tapi bagi Ibu, merawat Jingga sampai detik ini dan bisa melihat Jingga tumbuh dewasa adalah sebuah anugerah terindah yang tak ternilai, sekalipun diukur dengan barang termahal sekalipun di dunia ini."

"Hal itu sungguh berarti, karena itu hanya terjadi sekali dalam hidup Ibu. Tak ada yang bisa memaksa untuk kembali ke waktu itu, sekalipun mereka orang-orang hebat nak," lanjut beliau.

Tiada yang meminta seperti ini..

Tapi menurutku Tuhan itu baik..

Merangkai ceritaku sehebat ini..

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang