"Belum kak," ucapku lirih.
"Ye.. kalo gitu kita bakal makan berdua," jawabnya dengan semangat.
Akhirnya, kami berdua menuju ke warung itu sambil bergandengan tangan. Sesampainya di warung itu, aku hanya menatap sekeliling tanpa perbincangan hingga dia memulai percakapan terlebih dahulu.
"Namaku Hanindia Ayu Ningrum, biasa dipanggil Hanin, kamu siapa dek?" Tanya gadis itu.
"Jingga," jawabku dengan mengulum senyum.
"Oke, kamu punya adik atau kakak?" Gadis itu bertanya sekali lagi.
"Nggak kak, aku anak tunggal," jawabku singkat.
"Owh gitu ya. Kalo gitu kamu bisa anggep aku kakak kamu," sambungnya sambil mengeluarkan handphone beremerek yang sudah marak di zaman sekarang.
"Cekrek."
"Kya," kedua tanganku sontak ku gunakan untuk menutup mukaku. Yang jelas, aku sangat jarang berteman dengan berfoto ataupun hal yang beehubungan dengan kegiatan yang beehubungan dengan kamera.
"Eh kenapa kok ditutup gitu?" Tanya Kak Hanin.
"Aku nggak terbiasa foto kak," kataku pelan sambil mengulum senyum dan pipiku, entahlah dia sudah merah merona.
"Owh, ayolah. Ini cuman sekali buat kenang-kenangan ya," sambungnya.
Awalnya aku merasa kikuk, alhasil aku hanya mengangguk dan mengikuti permintaannya. Entah berapa kali berfoto, satu hal yang penting. Bahwa aku bisa melihat dengan jelas raut wajah bahagia yang tulus dari dalam hati, bukan bahagia yang dibuat-buat seperti di drama televisi atau pertunjukan teater.
"Eh bang, pesen mi ayam pake bakso 2 yang Bang," kata Kak Hanin kepada abang mi ayam itu dengan melambaikan tangannya.
"Oke mbak syiap!" Jawab Abang itu dengan senyum penuh semangat.
Setelah pesanan kami datang, kami berdua memakannya dengan lahap tanpa sisa. Dan ini kali pertama aku merasakan mi ayam lagi setelah 3 tahun tak merasakannya.
"Alhamdulillah kenyang.." Aku mengembangkan senyum yang lebar.
"Oke, kali ini kita berdua harus jalan-jalan bareng ya," sambung Kak Hanin sambil mengacungkan jempolnya.
"Em..kayaknya nggak bisa kak," sambungku dengan nada rendah.
"Kenapa?" Sambung pertanyaannya.
"Aku ga bisa jujur ke kakak soal ini," kataku dengan menaikkan nadaku yang semula rendah.
"Eh kenapa kok?"
Pertanyaan itu membuatku diam seribu bahasa. Hatiku berdegup kencang menahan air mata yang kian lama membimbingku untuk membiarkannya menetes.
"Loh, kamu kenapa dek?" Tanya Kak Hanin sambil memperhatikan raut wajahku yang lesu.
Segelintir pikiranku mengisyaratkanku agar lidahku berkata jujur. Karena barangkalai saja dia bisa membantuku. Dan karena itu pula hatiku melemah dan menyerah pada pikiranku yang kuat untuk mengatakannya.
"Kak, aku sedang mencari pekerjaan. Apa kakak punya pekerjaan kak? Katakan saja padaku?."
"Diarrr."
Sedetik kemudian, kami saling membisu. Dan entah mengapa Kak Hanin tak mengucapkan sepatah katapun. Kedua bola matanya memfokuskan diri ke arahku yang sedari tadi membisu. Entah apa yang terjadi pada diriku. Karena detik selanjutnya, aku mulai memberanikan diri untuk berbicara.
"Sebenarnya kak, aku hidup seorang diri sekarang. Ibu dan ayahku telah meninggal dunia."
Derai air mata bercucuran membasahi kedua pipiku. Entah peruntukan apa yang membuat semesta menurunkan hujan nya tanpa henti. Dan bersamaan dengan itu.
"Kamu yang kuat ya Jingga," ucap gadis di depanku sambil memelukku erat. Satu menit setelahnya, Kak Hanin melepas pelukannya. Ia membasuh air matanya seraya berkata, "Baiklah, mulai besok kamu bantu kakak bekerja ya. Tugas Jingga gampang kok, tinggal bantu njualin kue di sekolah Jingga. Dan setelah Jingga pulang sekolah, Jingga bawa penghasilannya ke kakak lagi ya."
Seketika senyumku merekah. Akhirnya setelah lama berusaha, aku bisa memulai sesuatu yang baru.
"Oke gadis kecil, sekarang kita pulang dulu yuk. Tuh liat, hujannya udah reda."
Kak Hanin mengamati langit bertakjub pelangi. Dan aku yang melihatnya tersenyum manis sembari menggenggam erat tangan kak Hanin.
"Tunggu sebentar. Di rumah kamu ngga ada siapa-siapa kan?" Tanya kak Hanin.
"I.. iya kak. Sekarang Jingga tinggal sendirian, sebenernya kemarin udah ditawarin sama teman Ibu Jingga untuk tinggal di rumahnya. Tapi, Jingga ngga mau," jawabku berusaha tersenyum.
Detik selanjutnya, Kak Hanin mencubit hidungku sembari berkata, "Kakak ini juga sama seperti Jingga. Yatim piatu, perbedaanya adalah Kakak ngga pernah tau siapa orang tua asli kakak. Yang kakak tau, saat kakak masih bayi. Kakak ditinggalkan di depan rumah seorang Ibu bernama Ratna. Dan..."
"Ssstttt," Aku spontan menutup mulut kak Hanin dan menaruhnya ke dalam rangkulanku. Berharap agar gadis di sebelahku merasakan ketenangan.
"Jingga mau nggak tinggal di panti asuhan sama kakak dan yang lain? Nanti di sana Jingga bisa ketemu temen-temen yang seumuran sama Jingga. Terus, Jingga ngga kesepian lagi deh," ucapnya sembari tertawa lepas.
"Serius kak?"
"Dua rius dong Jingga hahaha," ucap gadis itu.
"Asiikkkk, Jingga ngga kesepian lagi dong."
Aku bangkit dan berdiri di sampingnya. Kami berdua melewati jalan yang lengang nan bisu. Langit mendung dihiasi pelangi menjadi teman kami. Aroma tanah setelah hujan membuatku candu. Sesekali aku melompat kegirangan, tapi kak Hanin memilih diam dan tersenyum melihat tingkahku saat itu. Setelah beberapa menit perjalanan, akhirnya kami berdua sampai pada sebuah rumah tua yang masih terlihat kokoh. Nampak sebuah banner lebar yang bertuliskan "Rumah Lentera Jingga"
.
.
.
Halo semuanya..
Jangan lupa beri kritik dan saran
Jika suka bisa klik tombol 🌟🌟🌟
Terimakasih sudah mampir
KAMU SEDANG MEMBACA
Literatur Bernyawa [COMPLETED]
General FictionKarya ke 1 Start: 4 Desember 2020 Mendung sekali lagi mencipta gamang. Membuat sendu semakin merasuk dalam raga. Hal ini terjadi pada Jingga, seorang gadis kecil yatim piatu yang bertahan hidup di tengah kerasnya Kehidupan Kota. Kehidupan membuatny...