Tanya yang Belum Terjawab

66 45 38
                                    

Hari ini merupakan hari yang banyak menimbulkan tanya bagiku. Terlebih setelah apa yang terjadi pada Bibi Ratna. Aku masih bertanya-tanya, apa yang sebenarnya terjadi padanya. Ditambah lagi soal Pandu yang membuatku semakin rumit. Keesokan harinya, saat di sekolah tepatnya saat bulan bahasa. Banyak lomba diadakan.

Bukan hanya lomba, namun ada banyak acara menarik lainnya dimana semua siswa boleh menyumbang sesuatu untuk memeriahkan Bulan Bahasa. Dan itu adalah satu hal yang menjadi favoritku untuk selalu duduk di bagian terdepan. Aku dan Zahra mengenakan kaos berwarna abu-abu dengan lambang B besar sebagai tanda bahwa kami berasal dari kelas anak Ipa B.

Seseorang yang berada di panggung depan membuka acara.

"Selamat pagi teman-teman, apa kabar kalian hari ini?" Tanyanya dengan memegang mic dan selembar kertas yang berisi susunan acara.

Kami semua berteriak antusias, sampai tiba dimana gadis bernama Tasya yang menjadi presenter melanjutkan pembukaannya.

"Yak baik teman-teman. Sebelumnya, untuk mengawali acara hari ini. Silhakan kepada Bapak Kepala Sekolah SMA Harapan Bangsa untuk memberi sambutannya. Waktu dan tempat dipersilahkan," ucapnya.

Kami semua memberi tepuk tangan. Satu lapangan sekolah saat itu dipenuhi oleh semua murid baik kelas sepuluh, sebelas dan dua belas SMA keculai bagi mereka yang mengikuti lomba. Bapak kepala sekolahku bernama Pak Henry dengan baju berwarna birunya naik ke atas panggung.

"Selamat pagi anak-anak, bagaimana kabarnya hari ini? Bapak harap kalian semua baik-baik saja ya," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Lelaki bertubuh kurus dengan wajah keriput itu tersenyum lebar ke arah kami. Dan kami semua membalasnya dengan senyuman.

"Baik anak-anak, pada kesempatan yang berbahagia ini. Saya selaku Kepala Sekolah menyatakan bahwa acara Bulan Bahasa dimulai."

Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh lapangan sekolah. Beberapa siswa mengabadikannya dengan berfoto. Sebagian yang lain bertugas untuk merekam perayaan bulan bahasa pada hari itu.

"Baik, terimakasi Bapak atas sambutannya. Baiklah, kita masuk pada acara pertama. Pertunjukan seni oleh wakil kelas masing-masing," ucapnya.

Di mulai dari pertunjukan-pertunjukan yang ada, aku begitu terkesima dengan dance-dance yang ditampilkan tiap kelas. Ada pula yang menampilkannya dengan pertunjukan wayang, dan seni tari tradisional. Sampai akhirnya, masuklah pada acara utama dimana ini adalah bagian terpenting dari peringatan Bulan Bahasa yaitu narasi kreatif.

Di puncak acara inilah kami semua menunggu siapa yang akan mengisi acara untuk membuat cerita-cerita menarik. Tidak ada batasan bagi siapapun, karena pada akhirnya. Semuanya boleh mengisi acara itu.

"Baiklah teman-teman, kali ini masuk pada acara puncaknya yaitu Narasi... Kreatif..."

Semua yang duduk ikut serta memeriahkannya dengan tepuk tangan.

"Baiklah, adakah dari kalian yang ingin maju untuk bercerita di sini?" Tanya pembawa acara sembari mengedarkan pandagan ke arah kita semua.

Selang satu menit suasana nampak hening. Hingga akhirnya, ada salah satu orang yang melangkah maju ke depan panggung.

"Di sana Jingga, kira-kira dia mau cerita tentang apa ya? Gue ga sabar ni," ucap Zahra semangat.

Aku yang bertopang dagu memutar bola mataku dengan malas ke sudut sebelah kiri yang ia tunjukan padaku.

"Deg"

"Itu bukannya? Engga engga, itu ga mungkin Pandu kan? Pasti ada salah satu yang mirip kayak dia," batinku.

Di saat seperti ini, aku memandangnya dengan wajah heran hingga membuatnya melihat ke arahku. Lelaki itu memberikan senyum tipis ke arahku.

"What? Pandu beneran? Masa iya gue satu sekolah sama dia? Aduh nasib gue gini amat si?" Tanyaku spontan keluar dari mulutku.

"Hah? Loh bilang apa tadi?" Tanya Zahra sembari menepuk pundakku.

"Ooh... Ngga ada kok Zahra, eh btw aku mau ke kantin dulu ya beli minum," ucapku mencari alasan.

"Eh, ini lo aku ada minuman. Kalo kamu haus minum aja gapapa, udah, duduk sini aja dulu. Ini acara puncak lo, biasanya lo kan suka," ucap Zahra menahanku pergi.

"I... Iya deh," jawabku pasrah.

Aku duduk dan menekuk kedua lututku. Sementara Pandu, dia sekarang ada di panggung.

"Halo semuanya, apa kabar hari ini?" Tanya Pandu santai.

"Baik..."

Mendengar jawaban dari semua yang hadir membuatnya semakin bersemangat. Kecuali diriku, aku duduk bertopang dagu dengan muka yang kusut. Untuk sekilas, dia melihat ke arahku.

"Oke temen-temen, gue mau cerita ke kalian, dan ini adalah kisah gue sendiri yang terjadi beberapa hari lalu," ucapnya sambil melirik ke arahku lagi.

"Jadi, beberapa hari yang lalu. Tepat saat senja datang, gue lagi di gerbong kereta api perjalanan pulang. Pada saat itu, gue si bosen banget sampe akhirnya, gue ketemu sama salah satu cewe."

"Cie cie..... Terus gimana lanjutannya bro?" Teriak salah satu seorang lelaki yang menjadi panitia dari pengadaan bulan bahasa.

"Ya saat itu gue sapa dia lah. Gue bilang Hei, eh dianya kaget dong. Dan setelah itu, dia ngomel-ngomel ga jelas tau ga. Dia nanya ke gue, Lo siapa?. Terus gue jawab, gue manusia."

"Ni anak belom-belom kok ngebuat gue jadi pingin tripple kill ke dia ya. Astaghfirullah, sabar-sabar," batinku.

"Terus dianya merengut dong. Heran gue, jadi cewe kok suka banget merengut. Yaudah akhirnya gue tungguin sambil ngeliatin dia biar dia bisa senyum ya. Eh kok ya sama aja. Yaudah gue tunggu sampe 3 hitungan dong. Tapi, tetep aja, dianya ngga senyum. Sampek akhirnya dianya ngambek gaes. Dia bilang gini, lo tu ngapain si udah itung-itung angka ga jelas, liat-liat gue juga. Ga gratis tau," ucapnya panjang kali lebar.

Semua yang ada tertawa, dan aku kaget setelah Zahra menyampaikan pendapatnya.

"Itu mah namanya cewe jutek, susah kalo deketin yang kayak gitu. Mundur alon-alon ae wes," ucapnya sambil tertawa.

Pandu yang melihatnya tertawa diikuti yang lain, sedangkan aku hanya bisa menahan kesalku sendiri.

"Hahah, kamu bener. Dia memang jutek, lanjut ya ke ceritanya. Jadi, setelah dia bilang gitu. Aku balas dia ya biarin, itukan bukan pelanggaran. Ga ada undang-undang yang ngelarang juga kan?" Ucap Pandu dengan tawanya yang semakin menjadi-jadi.

"Eh, dianya ga mau kalah. Dia bilang dia bakal ngasih tau undang-undang nya kalo kita ketemu lagi. Dan sampek sekarang? Nihil tau, ga ada tuh undang-undangnya," ucap Pandu.

"Jangan bilang lo suka sama cewe yang ada di cerita lo tadi? Bener ga gue?" Tanya seorang lelaki bertubuh gemuk yang memakai kacamata yang berdiri di depan panggung.

"Gue belom tau si. Dia itu cantik, tapi sayang galaknya bukan main kayak wewe gombel tau. Tapi kalo yang ini cantik," ucap Pandu.

"Namanya juga cewe bro, ya begitulah cewe jutek emang susah dideketin, tapi jangan nyerah dulu. Bisa jadi cewe yang kayak gitu tipe setia bro, ya ga temen-temen?" Ucapnya lagi.

Pandu yang melihatnya hanya tersenyum tipis. Dan lagi-lagi dia melihat ke arahku. Teman-teman yang lain menyerukan kata setuju, begitu pula dengan Zahra. Tapi berbeda denganku, karena aku akhirnya memilih meninggalkan Zahra sendirian.

"Apaan si tu anak? Norak banget jadi cowo," batinku sambil berjalan ke kelas.

.
.
Halo semuanya, aku update ni. Hehe

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang