Pertemuan Pertama

117 77 46
                                    

"Jingga, malam ini sungguh dingin. Kenapa kamu ngga pake jaket kalo mau ke taman nak? Ada apa? Apa kamu tidak bisa tidur?" Bibi Ratna mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Tidak Bi, kebetulan aku ingin menemui Bibi tadi," ucapku pelan.

"Ada apa nak?" Tanya Bibi Ratna sambil mengelus kepalaku.

"Jingga mau nitip celengan Jingga ke Bibi. Bolehkan? Besok Jingga kasih ke Bibi Ratna," ucapku pelan.

"Wah hebat Jingga. Bibi bangga sama kamu, kamu masih kecil tapi kamu sudah mau berusaha untuk mencari penghasilan sendiri."

"Ibuku pernah berkata padaku Bi. Jangan pernah berpangku tangan pada siapapun. Ibu juga selalu bilang, jangan pernah merepotkan orang lain. Apapun itu, selama kita masih bisa berusaha. Maka kita harus tetap berjuang dan memanfaatkan waktu yang ada."

Bibi Ratna memelukku seketika itu. Detik selanjutnya, aku melihat beberapa bintang mulai singgah dan menemani sang bulan yang kesepian.

"Bibi, aku rindu Ibu," ucapku lirih sembari menangis.

Bibi Ratna tak membalasku, beliau hanya diam dan memelukku erat. Sedangkan aku tenggelam dalam pelukannya, tangisku terurai. Malam semakin larut, begitu juga dengan sedihku yang tak kunjung berhenti. Namun beliau sangat sabar sampai menunggu tangisku reda. Lima menit setelahnya, beliau menghapus tangisku.

"Jingga ini sudah malam. Besok kamu sekolah. Sekarang kamu tidur ya," katanya sembari mengenakan jaket hitam yang dipakainya kepadaku.

"Liat ni, badan kamu dingin sekali," lanjutnya sembari menggenggam tangan mungilku.

Kami berdua berjalan menuju kamar masing-masing. Dan hari ini, adalah hari dimana tubuhku memutuskan untuk tidur cepat. Namun sebelum itu, aku mengatakan sesuatu lirih, "Selamat malam Ibu, Ayah. Aku sayang kalian," ucapku sambil memegang kalung yang selama ini ku pakai. Liontin ini sebenarnya merupakan gabungan dari satu liontin utuh, namun kata Ibu, satunya lagi dimiliki ayah.

*************************

Keesokan harinya, aku tak lupa memberikan celengan yang ada di kamarku kepada Bibi Ratna. Dan di hari itu aku bertekat, bahwa aku akan terus menabung sampai tabungan itu terisi penuh. Dan yah, hal itu berhasil. Hari demi hari ku lewati, dan tanpa terasa aku telah beranjak remaja. Dan sekarang, aku duduk di bangku SMA.

Aku bersekolah di SMA Harapa Bangsa yang mana merupakan SMA terfavorit. Dan di saat itu pula aku merasakan sesuatu yang berbeda. Sama seperti biasa, aku melewati hari dengan mata pelajaran anak SMA pada umumnya. Namun, bedanya adalah. Saat itu, aku pulang agak malam.

Langit jingga menguasai senja yang datang menyapa. Hari itu, orang berlalu lalang ke arah utara menuju selatan dan sebaliknya. Dan aku tetap bertahan di barisan kereta yang bersesakan. Masih tetap dengan seragam berwarna biru dan rok hitam panjang melebihi lutut. Deru kereta api memecah senja yang heninh dan melaju meninggalkan sekumpulan orang yang sibuk berbincang dan menunggu pemberhentian kereta berikutnya. Sepanjang perjalanan, aku menyaksikan jajaran toko dan gedung yang terkena pantulan berwarna jingga. Sesekali aku melirik jam tangan.

"Setengah 6?" Aku berdecah kesal. Dahiku terlipat dan alisku menyatu.

"Hei...!"

Seseorang yang asing menepuk pundakku dari arah belakang. Aku langsung memegang dadaku yang sempat berdegup kencang.

"Ih ngagetin aja sih!" Aku spontan memukul orang itu.

"Eh eh... Sakit tau!"

"Lagian lo sih, nongol gitu aja. Bikin gue kaget aja. Lo itu siapa si?."

Laki-laki itu mengusap lembut rambutnya dan tertawa ke arahku.

"Aku..? Aku itu manusia."

"Kenalin, namaku Pandu Dewanta Pangestu. Panggilannya Pandu," lanjutnya.

Jawabn itu spontan membuatku diam. Aku tau, tipe cowok seperti ini hanya akan menggangguku, sama seperti cowo lainnya. Dan bagiku itu engga penting. Aku memasang senyum tipis ke arahnya dan sesegera memasang wajah datarku.

"1,2,3,4 .."

Laki-laki dengan tinggi 170 cm itu memandangiku dengan senyuman hingga membuatku risih. Untuk sekilas, aku melihat tatapn yang teduh. Hidung mancung dan bagian yang ngga enaknya aku melihat senyum sok manis dari wajahnya.

"Lo tu kenapa si? Udah hitung-hitung angka ga jelas, ngeliatin gue juga! Emang ga ada kerjaan lain apa? Ga gratis tau."

"Eh, tapi itu bukan pelanggaran, emang ada undang-undangnya?"

"Ada, tunggu aja! Besok aku kasih titik ga pake koma."

Aku berhasil membuka mulut dan memperhatikannya dengan raut wajah sebalku. Hal buruknya suaraku berhasil membuat seluruh mata penumpang tertuju ke arahku.

"Cihuy.."

Bapak tua berkacamata yang duduk di sampingku langsung mengomentari. Aku berdeham dan membuat tawa simpul.

"Ok.. Aku tinggal dulu. Jangan kaget ya dengan keajaiban selanjutnya."

Dia melangkahkan kakinya ke belakang dan turun dari pemberhentian stasiun. Akhirnya, aku bisa bernafas lega karena tak ada dirinya. Sesampainya di panti, aku langsung disambut dengan wajah merengut kak Hanin yang telah menunggu di depan.

"Kamu dari mana si? Kamu tu udah kayak spiderman aja, kemana-mana ga bilang," ucapnya dengan wajah cemberutnya.

"Aelah kak, kakak kurang update. Sekarang mah jamannya Ironman. Ni aku bawa odading mang oleh. Dijamin deh, rasanya pasti Astaghfirullah banget," ucapku asal sembari tertawa dan memberinya sebungkus odading mang oleh.

"Ututu, kakakku cantik lagi malah-malah. Kabur ah," ucapku sambil berlari.

"Heh bocil, lo pikir semudah itu kabur dari kakak? Rasain lo. Habis dari mana kamu ha?" Tanyanya sambil menjewer kupingku.

"Aish, jangan dijewer dong. Kalo dijewer terus, ga jadi cerita ni akunya."

Seketika itu, kak Hanin melepaskannya.

"Jadi gini kakakku sayang. Adekmu ini ikut pemilihan perkumpulan AJAI, doain ya semoga lolos," ucapku sambil mengelus telingaku yang terasa sakit akibat jeweran kak Hanin.

"Oalah, ya bilang dong kalo mau ikut organisasi. Pulang jam segini bikin khawatir orang tau. Gue kira lo mau jadi kayak hantu yang nongolnya pas maghrib tuh."

"Utututu... Jadi ceritanya ada yang khawatir ni? Btw kak, kalo hantunya aku juga gapapa kok. Lagian kak Hanin ga bakal takut, kan hantunya cantik," jawabku sambil berlalu meninggalkannya.

"Idih, jangan mulai deh. Geer banget jadi orang."

Aku bergegas ke kamar dan membanting tas asal. Tak lupa juga aku langsung mandi, sholat dan akhirnya makan bersama dengan yang lain. Malamnya, ketika aku selesai belajar. Tiba-tiba saja aku kembali memikirkan perkataannya. Dengan segera aku mengambil sebuah diary yang kusimpan di dalam tas pribadiku. Tak ada yang tau mengenai ini, sekalipun itu adalah Rosa.

5 - September - 2020

Dear planet Pluto

Tau nggak, hari ini adalah hari paling menyebalkan. Karena dia, dia yang nggak ku kenal menyapaku. Tau nggak, kalimat yang dia ucapkan di akhir katanya.

"Jangan kaget dengan keajaiban selanjutnya." Bikin aku risih tau ngga, rese banget tu cowok. Tapi, apa maksutnya ya?. Aduh, dia tu kaya monyet yang jatuh dari genteng yang tiba-tiba nongol tau nggak. Btw, aku harap aku cepet tau jawabannya.

Tanpa sadar, setelah menulis kata demi kata di buku diary kecilku. Aku mengacak-acak rambutku. Dan setelahnya, aku memandangi rembulan yang berkuasa di malam ini. Ku lihat beberapa bintang mulai muncul. Pemandangan hari ini amat indah bagiku. Setelah beberapa waktu aku menunggu. Akhirnya, aku bisa menyaksikan langit malam diiringi dengan kehadiran bintang yang banyak sebelum aku terlelap.

.
.
.
Hy-Hy para pembaca. Apa kabar?
Akhirnya, novel ini up lagi. Okey, aku ganti konsep. Jadi, ini adalah sebuah awal dimana Jingga akhirnya punya sahabat.

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang