Setengah hari telah berlalu. Dan sampai detik ini, aku masih merapalkan syukur kepada Tuhan. Karena dia telah berbaik hati menunjukkan kebaikannya padaku. Tak terasa senja mulai datang beriringan dengan matahari yang kian tenggelam. Dan aku menyaksikannya di balik jendela kamarku.
"Ibu, apa kabar? Aku harap Ibu baik-baik saja di sana. Aku di sini baik-baik saja Bu, hari ini aku bisa merasakan yang namanya sebuah keluarga," batinku.
"Jingga ayo sholat maghrib dulu."
Salah satu teman menepuk pundakku, menyadarkanku yang tengah menyaksikan bagaimana senja tengah berkuasa dengan warnanya yang elegan.
"Eh, kamu Rosa. Yaudah yuk," ucapku kemudian.
Kami berdua menuju masjid yang berada di dekat panti. Sesampainya di sana, kami sholat maghrib berjamaah. Di anatara adzan dan iqomah aku terus berdoa. Membujuk sang penguasa dengan rayuan kalimat religinya. Usai sholat maghrib, dari kejauhan aku bisa melihat bagaimana kak Hanin melangkah mendekatiku.
"Jingga, habis ini ikut kak Hanin ya."
"Kemana kak?" Tanyaku santai.
"Udah ikut aja, yuk," ini ke berapa kalinya kak Hanin menggenggam tanganku. Membawaku ke sebuah tempat di mana aku bisa melihat rumah mewah. Rumah itu sangat besar, aku bisa melihat bahwa terdapat taman di depan rumah besar itu. Terdapat lampu yang tegap berdiri dan memancarkan sinar-sinarnya. Bukan hanya itu saja, dinding taman itu berbentuk relief dengan pahatan yang indah. Ada dua ayunan dan sebuah kolam di sudut kanan taman.
"Nah Jingga, kita sekarang udah sampai."
"I ... Ini rumah siapa kak?" Tanyaku masih dengan ekspresi takjub.
"Ini rumah pemilik yayasan panti asuhan. Yuk masuk, di dalem udah ada Bibi Ratna sama Pak Tio," ucapnya sambil melangkah meninggalkanku di depan.
Aku melangkah pelan mengikuti pergerakan kak Hanin. Namun, aku hanya sampai berdiri di depan pintu. Aku bisa melihat bagaimana seorang pria berbadan besar memperhatikanku di balik kacamatanya.
"Kenapa kamu ngga masuk?" Tanyanya.
"Ibuku pernah bilang, bahwasanya ketika sampai di rumah orang. Kau tak boleh masuk, sampai tuan rumah memperbolehkan kamu masuk. Dan itulah yang menjadi pedomanku sampai sekarang," ucapku pelan.
Pria itu tersenyum, "Ayo masuk," ucapnya yang duduk di sofa berwarna merah. Aku hanya membalasnya dengan senyuman, kemudian berjalan mendekat ke Bibi Ratna dan Kak Hanin.
"Sini dek, duduk sebelah Kak Hanin."
Setelah aku duduk, pria besar itu membuka percakapan.
"Jadi ini yang namanya Jingga. Saya Pak Tio, pemilik yayasan ini. Bisa bapak tau kamu umur berapa cantik?."
"Umur saya 15 tahun Pak."
"Owh iya-iya. Nak Jingga sebelumnya pernah bersekolah?" Tanyanya.
"Saya pernah bersekolah pak. Tapi, saya memutuskan untuk putus sekolah saja pak."
"Kenapa?"
"Saya ngga ada biaya pak," jawabku tertunduk.
"Hem... Bapak mengerti. Baiklah, apakah nak Jingga mau melanjutkan sekolah lagi?" Tanya pria itu lagi.
Aku hanya mengangguk pelan. Detik selanjutnya, Pak Tio tersenyum.
"Ya sudah nak, besok kamu bisa bersekolah lagi. Tapi, sekolahmu bukan di sekolah yang dulu, ngga papa kan?"
"Tapi kalo Jingga kangen mereka gimana Pak?".
"Yasudah baiklah, besok Jingga bisa ke sekolah Jingga lagi ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Literatur Bernyawa [COMPLETED]
General FictionKarya ke 1 Start: 4 Desember 2020 Mendung sekali lagi mencipta gamang. Membuat sendu semakin merasuk dalam raga. Hal ini terjadi pada Jingga, seorang gadis kecil yatim piatu yang bertahan hidup di tengah kerasnya Kehidupan Kota. Kehidupan membuatny...