Sebatang Kara

183 107 131
                                    

Di hari itu, aku mulai belajar menerima keadaan. Namun, seperti waktu yang terus berlanjut. Hari-hari pun juga berganti, dan aku sedikit demi sedikit bisa melihat perbedaan raut wajahnya. Hingga pada saat Minggu malam, saat kami berdua berada di ujung stasiun dan masih berada di antara kerumunan orang yang bergeming dengan aktivitasnya hingga berakhir sepi. Tersirat dengan jelas raut wajah pucat pasi dengan kedua tangannya yang dingin.

"Ibuk, apa ibuk sakit?" Tanyaku sambil menepuk pundaknya.

"Ibuk makin kurus," batinku kembali memekik.

"Ibu nggak papa Jingga, ayo pulang," jawabnya dengan tenang.

Kami berjalan kurang lebih 1 kilometer mulai dari stasiun kota, kemudian melewati jembatan kota yang ditopang oleh pagar yang terlihat gagah, hingga akhirnya sampai pada suatu perkampungan yang ada di belakang sungai. Rumah kami sederhana, sesederhana cara hidup kami. Hanya sebuah gubuk reot yang menjadi pondasinya dan lampu minyak sebagai penerang kami saat gelap mulai menguasai bumi. Aneh, baru pertama kali ini aku melihat bagaimana ibuku sangat lelah. Dia langsung berbaring dan memejamkan kedua matanya.

"Jingga!" Panggilnya.

Aku melangkah mendekatinya.

"Iya Buk?" Tanyaku sambil meraih kedua tangannya.

"Ibuk mau tanya sesuatu," kata-katamu membuat isi kepalaku berputar.

"Tanya apa Buk?" Aku bertanya sekali lagi untuk menanyakan sebuah kejelasan.

"Apa kamu bisa hidup jika Ibu meninggal nanti?"

Kata-kata itu sungguh membuatku hancur lebur. Sungguh, hatiku berkecamuk. Lidahku kelu, hingga sulit rasanya tuk bersahabat dengan isi kepalaku sendiri. Air mata yang sudah ku bendung membuatku lemah, hingga pada akhirnya jatuh membasahi pipiku.

"Ibuk, kenapa berkata seperti itu?" Tanyaku sekali lagi.

"Nak, Tuhan hanya memberi kesempatan Ibu untuk hidup sekali. Bukan belasan, puluhan, ratusan, ribuan bahkan milyaran."

Kakiku lemas, hingga aku tak sadar jika aku sudah terduduk lemas di bawah tempat tidurnya.

"Kamu harus mendengarkan kata-kata Ibu, Jingga!" Sambungnya.

"Berjanjilah kepada Ibu untuk menjadi anak yang tabah dan tegar. Ibu tau, kamu sudah besar dan pikiranmu sudah 2 kali lebih dewasa dari anak-anak yang lain," kata-katamu itu tak berarti apapun. Dan pada realitanya, aku hanyalah seorang gadis kecil yang dipaksa untuk memahami sebuah kejadian yang tidak seharusnya aku terjun ke dalamnya.

"Kamu tau Jingga. Ibu dulu senang saat pertama kali Ibu menggendongmu. Dan kau tau, dulu saat kau lahir. Ayahmu sangat senang melihatmu menangis untuk pertama kalinya. Kau harus tau, kalau dialah orang yang pertama kali membisikkan Adzan di telingamu," kata-kata itu membuat dadaku sesak. Terlebih karena aku merindukannya, dunia terkadang memang tidak adil. Bagaimana bisa dia merenggut nyawa ayahku saat aku berumur 3 tahun. Bahkan saat ini, aku ingin sekali berada dipelukan ayahku sendiri dan merasakan kehangatan darinya.

"Kamu harus tau nak. Saat itu, ayahmu berkata agar saat besar nanti, kau dapat memberikan motivasi kepada semua orang yang lemah di sekitarmu nak." Mataku sembab, ia tak mengerti bagaimana cara untuk mengontrol air mata yang menetes. Dan tanpa kusadari, kedua tangan Ibuku meraih tubuhku yang hampir saja terkapar lemas.

Entah mengapa perputaran waktuku melambat, ia sangat mengerti bagaimana cara untuk bersahabat dengan luka. Dan aku bisa melihat jelas raut kesedihan yang kembali menerpa wajah Ibuku.

"Nak, Ibu percaya suatu hari nanti kau bisa menjadi orang yang besar. Ibu pasti akan bangga saat hal itu terjadi. Namun, kau tau apa yang Ibu takutkan daripada itu semua?" Tanya Ibuku sambil mengelus kepalaku dengan lembut.

Literatur Bernyawa [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang