2.3

2.8K 188 77
                                    

Ara tidak langsung ke kelas melainkan berdiam diri di rooftop, sambil menatap lurus tembok. Menghela nafas sesekali menghapus air mata yang keluar.

Setelah mendengar bel istirahat ia baru keluar, Ara ke toilet untuk mengecek keadaan wajahnya. Beruntung toilet dekat rooftop sepi.

Ia melihat kondisi wajahnya dan benar sudut bibirnya berubah menjadi biru. Ara mencuci muka setelah itu keluar. Ara memilih berdiam diri di kelasnya yang sepi.

"Rev, kamu bawa bedak atau apa gitu. Buat tutupin lebam aku." Ucap Ara pada Reva.

"Ck jangan banyak-banyak." Ucap Reva sambil memberikan bedak bayi pada Ara.

"Gak ada yang lain ya? Ini kayaknya gak bisa nutupin deh."

Reva menatap tajam Ara. "Gak ada, banyak mau lo. Masih mending gue kasih."

"I-iya, makasih ya. Aku minta sedikit aja kok." Ara merutuki diri sendiri yang hari ini bangun terlambat dan tidak bercermin terlebih dahulu.

Setelah memakai bedak bayi secara asal Ara memberikannya lagi kepada Reva. "Hm Fa, kamu liat hp aku gak? Aku takut ketinggalan di sekolah."

"Hah? Boong ya lo. Hp lo ilang? Terus yang nyebar video itu siapa? Jangan pura-pura gak tau lo."

Ara menggigit bibir bawahnya, kenapa setiap orang sering sekali mengatakan hal kasar padanya. "A-aku gak tau, hp aku ilang. Itu bukan aku."

"Dan gue gak percaya sama lo. Mending lo jangan deket-deket lagi sama gue."

"Loh Rev, kok gitu? Aku gak mau, kenapa setiap orang sering banget mutusin hubungan sama aku?" Ara sekuat tenaga menahan tangisnya.

"Ck nangis lagi! Lo itu lemah tau Ra! Benci gue orang kayak lo. Gue jadi gak mood makan kalo kayak gini!"

Reva keluar kelas sambil membawa kotak bekalnya dengan ekspresi wajah kesal. Ara terduduk dan menelungkup kan wajah kacaunya di meja.

Beberapa menit kelas itu dalam keadaan sepi, sampai seseorang memanggil. "Vic!"

"Dih sepi banget, kemana lagi tuh bocah." Ucap Erland.

Erland mengerutkan keningnya saat melihat rambut yang menjuntai. "Gak mungkin setan, itu bukannya meja Ara ya?" Gumam Erland.

Erland mendekat dan duduk di bangku Reva. "Ra? Ini lo kan?"

Tidak mendapat balasan Erland mencoba menyingkap rambut Ara. Secara tiba-tiba Ara mengubah posisi dan memeluk Erland.

"Hiks jangan tinggalin aku, jangan pernah ngomong kata perpisahan, jangan pernah hiks."

Merasakan tubuh mungil Ara yang bergetar Erland membalas pelukan itu dan mengusap rambut Ara. "Iya, gak akan pernah."

°°°°

"Sampai kapan seperti ini terus mah? Papa kasihan dengan Ara. Kita tinggal sangat jauh darinya, apa kamu gak bisa terima dia?" Ucap Dendy —ayah Ara.

"Aku gak peduli mas sama dia, kita disini bahagia tanpa dia." Ucap Rina —istrinya.

"Papa gak tau sampai kapan mama akan terima Ara. Dia juga anak papa, mah." Ucap Dendy.

"Siapa suruh kamu bermain gila dengan perempuan lain? Dan menghasilkan anak seperti dia. Mama tidak akan pernah menerima dia."

"Sudahlah jangan dibahas, pasti berujung debat lagi. Papa capek, masalah ini tidak akan selesai kalau selalu diungkit terus dan saling emosi." Ucap Dendy.

Beberapa menit kemudian terdengar pintu terbuka. Rio anak laki-laki mereka baru saja pulang. "Kemana saja kamu hah?! Sudah tiga hari tidak pulang. Mau jadi apa kamu?!" Ucap Dendy murka.

Rio justru berjalan santai sambil mengusap telinganya. "Gak usah teriak. Putus tau rasa."

"Rio?! Jawab pertanyaan papa!"

"Mas, gak usah bentak kenapa si?" Ucap Rina.

"Anak ini sekali-kali harus diberi hukuman. Tawuran, balapan, minum, masa depan kamu mau jadi apa Rio?! Papa akan sita semua fasilitas kamu, cepat berikan!"

Dengan santai Rio memberikan kunci mobil, dompet, jam tangan, ponsel. "Tapi ada satu syarat, gue mau ke Jakarta."

"Mau apa kamu?! Sudah betul-betul kita disini." Ucap Dendy.

"Gue kangen Ara. Dia adik gue, gue berhak ketemu dia. Selama ini gue sabar nunggu dia, tapi kalian berdua gak pernah ajak dia kesini. Kesabaran gue udah abis, gue mau ke Jakarta gak ada penolakan."

Plak!

"Mau nyari gara-gara kamu datang ke sana hah?! Papa tidak akan mengizinkan kamu ketemu Ara, sebelum kamu benar-benar berubah!" Ucap Dendy setelah menampar Rio.

"Tampar lagi, cepet! Gue udah biasa kena pukul apalagi cuma tamparan. Keputusan gue udah bulat, gue bakal ke Jakarta!"

"Rio! Jangan coba-coba kabur lagi nak!" Ucap Rina.

Setelah mengatakan hal itu Rio naik ke atas, menuju kamarnya. Ia mengambil tas yang sudah ia siapkan dan sejumlah uang yang sekiranya cukup untuk ke Jakarta.

Rio tidak keluar melewati pintu depan lagi melainkan lewat balkon. Ia juga sudah menyiapkan tali agar bisa turun dengan mudah.

Dan hanya beberapa menit Rio sudah sampai gerbang rumah. "Ara, tunggu abang." ucap Rio disertai senyuman.

°°°°

Huaaa maaf banget belum bisa nurutin kemauan kalian, tapi kali ini aku double up dlu ya

Double up aja udah nguras otak aku hueee, jgn lupa share ya sm komen makasiii

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang