0.7

854 70 0
                                    

Motor Bara berhenti di depan gedung apartemen, sebelumnya Ara tidak pernah dibawa kesini oleh Bara. "Bara, kamu punya apartemen?"

"Hm, gue bawa lo kesini mau minta tolong. Gak masalah' kan?" Ara mengangguk tanpa rasa curiga.

Bara berjalan lebih dulu, meninggalkan Ara yang berjalan dibelakangnya. Langkah Ara kecil, berbanding terbalik dengan Bara yang memiliki langkah besar, jadi Ara tidak bisa mensejajarkan diri.

Setelah memasukkan password pintu apartemen terbuka, mereka masuk dalam dengan keadaan basah kuyup. Ara sudah gemetar kedinginan. "Masuk kamar gue."

"A-apa?"

"Gue bilang masuk kamar gue! Cepet!"

"Ta-tapi kata bunda, perempuan sama laki-laki gak boleh satu kamar Bara."

"Gue gak peduli." Bara mendorong Ara masuk kedalam kamarnya dan mengunci pintu.

Bara membuka kemeja seragamnya yang basah dan kaus hitamnya. Ara terkejut, ia menutup matanya. "B-Bara kenapa buka baju?"

Bara berjalan ke arah kasur dan duduk disisinya. "Obatin gue."

"Ya ampun, punggung kamu kenapa?! Kotak obatnya dimana?!" Ara membuka matanya dan melihat punggung kekar Bara membelakanginya. Ia panik melihat garis besar berwarna biru dipunggung Bara, seperti bekas pukulan.

"Di laci."

Setelah mendapatkan kotak obat, Ara duduk di samping Bara dan mulai mengobati. Ara yang melihatnya saja meringis, tetapi Bara sama sekali tidak bereaksi.

Selesai mengobati luka Bara, tiba-tiba Bara berdiri dihadapan Ara yang masih terduduk di kasur. Bara mendorong bahu Ara, menyebabkan Ara terjatuh di kasur. Smirk muncul dibibir Bara. Ara yang tidak mengerti mencoba bangun namun ditahan, tubuhnya benar-benar kedinginan.

Bibirnya memucat, kulit jarinya mengeriput, matanya sayu. "Kamu mau apa? Aku mau pulang Bara, mau ganti baju. Dingin."

"Gak akan, sebelum gue bales dendam." Bara menaiki tubuh Ara, Ara tepat berada dibawahnya. Ara mengerjap-ngerjapkan matanya polos.

"Sial! Kenapa matanya polos banget sih?! Mau lecehin dia aja susah banget!" Batin Bara, ia menyingkir dari hadapan Ara.

Bara mengusap wajahnya frustasi. "Keluar dari apartemen gue!"

"Kamu gak nganterin aku? Paling enggak izinin aku ganti baju kamu."

"Gue bilang enggak ya enggak, gak ngerti ya lo?!"

Ara bangkit, mengambil tasnya, Ara hendak keluar kamar namun ia menengok sekilas Bara. Berharap Bara akan sedikit peduli padanya.

Ara menggeleng, harapannya pupus saat Bara menutup pintu kamar. Ara menangis dalam diam, sekuat tenaga sudah ia tahan namun tetap tidak bisa.

"Lemah! Dasar cengeng! Kenapa sih nangis terus! Kamu tuh udah sering diginiin Ra, tapi kenapa masih sakit?!" Ara mengusap kasar air matanya.

Ara terus berjalan disepanjang trotoar jalan sembari menunduk dalam, tidak ingin orang lain mengetahui bahwa dirinya sedang kacau.

"Ara?" Panggil seseorang.

Ara mendongak melihat Vico yang berada di atas motor. "Lo kenapa? Kok nangis?"

Vico turun dan merapikan rambut Ara yang menutupi wajah. "Hiks hiks, gapapa Vic."

Vico yang tidak tega menarik Ara kedalam pelukannya. "Jangan nangis Ra, gue gak bisa liat lo nangis."

Vico membiarkan Ara menangis sepuasnya, Ara mengeratkan pelukannya, wajahnya ia tenggelamkan di dada Vico, isakan tangisnya semakin terdengar. Vico mengusap lembut punggung Ara.

Tanpa ditanya pun Vico sudah tau siapa yang membuat Ara menangis. "A-aku mau pulang aja."

"Gue anter." Ara mengangguk, Vico melepas jaketnya lalu ia sampirkan di bahu Ara.

Diam-diam seseorang memfoto itu semua, orang itu tersenyum licik memperhatikan foto-foto yang sudah ia ambil sendiri dan pergi berlalu dari sana.

°°°°

"Ayah...bunda...Bara, Aku kesepian. Aku sakit, apa kalian bakal peduli sama aku?" Jam dinding menunjukkan pukul enam lewat, biasanya Ara sudah bersiap ke sekolah tapi sekarang dirinya hanya meringkuk di atas tempat tidur.

Hujan kemarin benar-benar membuatnya demam dan kepalanya pusing, kalau sudah seperti itu Ara hanya bisa menangis. "Hiks dingin, Bar."

Ara mengambil ponselnya dengan gemetar, mencari kontak Bara dan menelfon nya. "Tut..tut..tut.." nomor Bara tidak aktif.

"A-ayah, ayah pasti dateng jenguk aku. Setidaknya sebentar juga gapapa, aku kangen."

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk." Hanya suara operator yang menyahut.

Ara menghela nafas, ia membuka galeri dan menekan salah satu folder. "Satu tahun aku kesepian, kapan semuanya kembali seperti dulu? Semenjak kak Rio ninggalin rumah, ayah semakin sibuk kak."

"Gak ada lagi yang nemenin aku di rumah ini, aku bener-bener sendirian." Ucap Ara lirih, menatap foto keluarganya yang masih lengkap.

Ara menarik selimut, kembali menangis mengingat masa lalunya. Yang indah.

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang