0.5

1K 81 0
                                    

Sampai di dalam rumah tiba-tiba lampu ruang tamu menyala membuat tubuh Ara menegang, ia berbalik dan menemukan seorang wanita menatapnya remeh yang tengah duduk di sofa. "Ma-mama?"

Tenggorokan Ara tercekat, tapi perasaan senang menyambutnya. "Mama disini? Ayah udah pulang kan mah? Ayah pasti lagi di kamarnya, Ara mau kesana dulu."

"Bagus ya, mau jadi apa kamu pulang tengah malem seperti ini?! Jadi selama saya dan suami saya tidak disini kamu jadi suka keluyuran?! Iya Ara?!" Lina —mamanya membentak Ara dan tidak memperdulikan ucapan Ara.

"En-enggak mah, Ara gak —aw! Mah lepasin rambut Ara, sakit mah." Ara mencoba melepaskan rambutnya yang dijambak kuat oleh Lina.

"Mau saya adukan pada ayahmu itu semua perbuatan kamu?! Hah?! Kami sudah baik ingin membiayai semua keperluan kamu! Tapi ini balasan kami?! Mau jadi apa kamu Ra!"

Air mata Ara sudah meluruh seiring rasa sakit di kepalanya semakin kuat, rasanya kulit kepalanya akan lepas. Ara terus menunduk menyembunyikan air matanya, ia minta dilepaskan juga percuma karena Lina tidak akan pernah mau mendengarnya.

"Nangis sepuas kamu! Muak saya mengakui kamu sebagai anak!" Lina melepaskan jambakannya, Ara menahan tangan Lina yang hendak pergi.

"Mama mau kemana?"

"Saya disini hanya mengantarkan uang dan saya menyesal telah datang kesini!"

Brak! Pintu ditutup dengan kencang.

Ara mengalihkan pandangan, melihat amplop berwarna coklat tebal berada di atas meja. Ara tidak memperdulikan itu. Ia berlari menuju kamarnya yang berada di lantai dua.

Tubuh Ara menyandar pada pintu kamarnya dan meluruh ke bawah, Ara menyembunyikan wajahnya diantara kedua lutut. "Hiks..hiks, apa aku hidup aja salah? Kenapa semua orang seakan enggak mengharapkan kehadiran aku? Kenapa bunda?" Hanya ada tangis pilu yang terdengar dikamar Ara.

°°°°

04.30

Ara terbangun, ia tersadar tadi malam dirinya tidur dilantai. Tubuhnya serasa kaku, dingin, dan kepalanya pusing. Ara berdiri dihadapan cermin, melihat kantung matanya membesar, dan penampilannya jauh dari kata baik, Ara kacau.

Air mata Ara kembali terjatuh, Ara sama sekali tidak memiliki sandaran, keluarga, sahabat, pacar, saudara, bahkan semuanya tidak ada yang memperdulikan dirinya. "Saat ini aku emang gak punya siapa-siapa, tapi aku punya Allah."

Ara tersenyum, mengusap cairan bening di pipinya. Ara memutuskan untuk mandi, berwudhu, dan sholat subuh. Setelah Ara bersiap, Ara turun ke bawah dan mengambil roti tawar tanpa selai untuk mengganjal perut.

Ara memakai almamater OSIS nya dan berjalan keluar rumah setelah mengunci pintu. Ara terlalu banyak melamun menyebabkannya tidak sadar bahwa jam terus berjalan. Ara menaiki ojek online seperti biasanya.

Ara menghirup udara pagi ini yang terasa segar, tanah pun juga basah sepertinya tadi malam turun hujan. Ara turun dari motor setelah membayar.

Setelah menaruh tas di kelas Ara turun ke depan gerbang untuk menyambut murid-murid dan memeriksa, apakah ada yang menggunakan atribut lengkap atau tidak, rambut lebih dari 2cm bagi laki-laki, sepatu berwarna, kaus kaki pendek, dan masih banyak lagi.

Brum!

Tentu saja yang mendengarnya akan tahu motor siapa yang datang, bahkan anggota Viktor baru datang saat jam hampir menunjukkan pukul tujuh. Ara selalu tersenyum walupun hanya bisa memandang Bara dari jauh.

"Stop! Turun kalian!" Ketua OSIS bernama Ramzy menyuruh anggota Viktor.

Anggota Viktor mendengus lalu turun dari motornya. "Apa? Gue mau masuk." Ucap Bara.

Ramzy berjalan mendekat dan memperhatikan mereka seksama dari atas kepala sampai ujung kaki. "Woi! Jangan ngeliatin kayak gitu! Lo jeruk makan jeruk ya?!" Celetuk Emil, merasa geli diperhatikan seperti itu.

"Ogah! Kalian dapet poin! Rambut kalian terpaksa gue potong! Berhubung Pak Hery mempercayakan gue, jadi gue yang akan potong! Setuju gak setuju, harus! Gue lakuin!"

Anggota Viktor membelalakkan mata tidak percaya, rambut mereka semua memang lebih dari 2cm tapi apakah harus sekarang? Didepan pagar dan diperhatikan seluruh murid-murid? Itu akan mencoreng harga diri geng Viktor, Bara sangat tidak setuju.

"Kasih Viktor toleransi, besok gue pastiin semuanya udah kurang dari 2cm." Ucap Bara datar, wajahnya masih tampak stabil tidak panik seperti yang lain.

"Gak ada! Udah dari Minggu kemarin gue kasih toleransi, tapi lo semua masih belum jalanin. Guys, guntingnya mana?"

Ara maju ke samping Ramzy. "Zy, kasih mereka kesempatan."

Ramzy melirik Ara, gadis yang ia sukai walaupun Ramzy hanya bisa memendamnya. "Gak bisa Ra, pak Hery udah percayain gue."

Ara menatap Bara yang mengalihkan pandangannya. "Ya udah, tapi izinin aku yang potong rambut Bara ya?"

"Huft, oke." Ara bersorak dalam hati.

Semua anggota Viktor sudah menjerit mereka tidak merelakan rambutnya dipotong begitu saja dan menyebabkan pitak. Ara menarik Bara. "Aku yang potong rambut kamu ya? Cuma sedikit kok."

"Gak usah sok baik."

"Bener, enggak sampe 1cm. Boleh?"

"Oke."

Ara memperhatikan wajah Bara dari samping. Ara lagi-lagi tersenyum dan tanpa sadar memuji Bara. "Bara kok ganteng banget si?" Gumam Ara.

"Lo ngomong?" Ara buru-buru menggeleng.

"Enggak kok, aku potong ya."

Bara tersenyum tipis satu sudut, Bara mendengarnya. "Lo udah terjatuh ya Ra? Tunggu pembalasan gue." Batin Bara.

Ara harus berjinjit untuk mencapai rambut Bara, walaupun pandangannya terkadang tidak fokus. Bara terlalu sempurna menurutnya. Ara menunjukkan sejumput rambut pada Bara. "Segini, enggak masalah' kan?"

Bara mengangguk, ia menyisir rambutnya ke belakang. Ara mengalihkan pandangan. "Em, boleh tau tinggi kamu berapa?"

Bara mengernyit. "179, kenapa?"

"Pantes, kamu yang terlalu tinggi atau aku yang pendek ya? Aku cuma 163." Ara terkekeh.

"Siapa?"

"Ara 163cm."

"Yang nanya."

Ara mengerucutkan bibirnya. "Ish! 179 dikurang 163 berapa?"

"Gue gak sebego itu." Bara hendak pergi namun ditahan Ara.

"Bercanda Bara, aku cuma nanya kok. Ya udah, semangat belajarnya, jangan bolos ya." Bara melepas paksa genggaman tangan Ara dan pergi membawa motornya.

Ara menatap nanar punggung Bara. "Kapan kamu berubah? Aku harus berjuang sendiri sampai kapan?"

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang