1.7

912 65 0
                                    

Bara dan kelima sahabatnya, kurang Vico  sedang berjalan santai disepanjang koridor, padahal jam sudah menunjukkan pukul delapan. Mereka berjalan seperti pemilik sekolah tanpa rasa beban.

"Ah elah, ini karet gelang nasi uduk pake ke bawa segala." Ucap Emil saat melihat pergelangan tangannya.

"Buang aja si, ribet amat lo." Ucap Satria.

"Bentar Mil, sini buat gue." Ucap Bara.

"Hah? Buat apaan dah? Main tembak-tembakan karet?" Bara mengambil paksa karet itu.

"Banyak omong, udah kalian ke kelas duluan." Ucap Bara.

"Lah? Lo mau kemana Bar?" Tanya Erland.

"Ada urusan, udah sana." Bara berlari ke tengah lapangan tempat dimana kelas Ara sedang pelajaran olahraga.

Tadi saat melewati koridor Bara tidak sengaja melihat Ara, rambut gadis itu terurai dan membuatnya risih. Tentu saja kedatangan Bara menjadi pusat perhatian. Ara yang membelakangi Bara, tidak mengetahui kehadirannya.

Bara mengambil rambut Ara dan dijadikan satu, gerakan itu jelas membuat Ara terkejut. "Siapa ini?"

"Diem, risih gue liat rambut lo." Ara tersenyum saat mengenali suara Bara.

Bara menguncir rambut Ara asal, yang terpenting terikat menjadi satu dan tidak menggangu mata. Ara berbalik badan setelah selesai. "Makasih."

"Kenapa gak dikuncir?"

"Aku lupa bawa kunciran, hehehe."

"Gue balik." Ara tersenyum menatap punggung tegap Bara, suara sorakan terdengar setelahnya.

"Huuuu. Sweet banget si kalian."

"Uwuphobia gue woi."

"Jadi pengen punya pacar."

"Kapan gue kayak kalian? Uwuphobia nih, tanggung jawab!"

Ara tersenyum malu sambil menunduk, Refa mengepalkan tangan melihat dan mendengar semua itu. Vico tersenyum senang, ia berharap Bara mau berubah dan menerima Ara.

°°°°

Sekarang sudah waktunya istirahat, kelas sebelas satu sudah berganti baju menjadi segaram seperti biasanya. Refa memutar bola mata melihat Ara terus saja tersenyum melihat karet gelang pemberian Bara.

"Ngapain si lo? Kayak orgil tau gak?"

Ara mengerucutkan bibirnya. "Gapapa, aku seneng aja. Bara perhatian sama aku."

"Jijik Ra, buang aja kek. Karet kayak gitu juga banyak dipinggir jalan." Ucap Refa ketus.

"Gak akan, aku mau simpen dan menghargai pemberian Bara."

"Apaan banget si lo? Lo kan kaya, lo bisa beli yang lebih bagus."

"Aku tau harganya emang gak seberapa, tapi apapun pemberian seseorang kita harus hargai' kan?"

Refa lagi-lagi memutar bola mata. "Terserah lo, pusing gue denger lo selalu omongin Bara."

"Ya udah, kata kamu, kamu punya pacar. Ceritain dong gimana pacar kamu, bahkan nama dan sekolahnya aku gak dikasih tau."

Refa tersenyum miring. "Inisialnya A. Sekolah disini juga, satu angkatan. Tinggi, keren, tapi pengecut."

"Loh? Pengecut kenapa?" Ara mengkerutkan dahinya bingung.

"Pengecut, karena gak tau hatinya untuk siapa." Refa tersenyum tipis, tatapan kosong ke depan.

"Siapa cowok itu dan siapa cewek itu?"

"Lo sama gue."

"Hah? Maksud kamu?"

"Lo sama gue, ayo ke kantin jangan nge-gibah mulu." Ucap Refa tanpa ingin melanjutkan ucapannya yang tadi.

"Refa! Kasih tau dong kelanjutannya, jangan tinggalin aku!" Ucap Ara berlari mengikuti Refa.

Saat mereka memasuki kantin suasana sudah ramai karena ada kedua orang yang sedang berkelahi, bahkan pertengkaran itu tidak dileraikan dan justru hanya dikerumuni. Ara dan Refa saling pandang lalu mendekat.

Setelah bisa memecah keramaian, Ara dan Refa bisa melihat siapa yang berkelahi. "Bara!" Ucap mereka bersamaan.

Sontak hal itu membuat perhatian yang lain teralih pada mereka. "Bara, berhenti!" Ucap Refa khawatir.

Ara mengalihkan pandangan pada Refa, sedikit tidak percaya. "Bara, udah!" Ucap Ara ikut meleraikan.

Ara berdiri diantara orang yang sedang berkelahi, Bara yang sudah kalap tanpa sengaja memukul Ara. "Bugh!"

Pukulan itu kuat, sampai membuat Ara tersungkur di tanah. Sudut bibirnya membiru dan mengeluarkan darah. "Ara!" Ucap Vico langsung membantu Ara.

Refa menarik Bara menjauh dari kerumunan. "Bara! Kamu apa-apaan si?! Mau kena scors lagi?!" Ucap Refa.

"Lo gak usah ikut campur, ini urusan gue sama adek kelas tengil itu!"

"Kamu mukul Ara! Kamu sadar? Dia berdarah Bar!" Bara mematung, seolah baru saja menyadari kesalahannya.

"Jangan boong, jelas-jelas yang gue pukul cowok tengil itu!" Ucap Bara membantah.

"Bugh!" Erland datang dan langsung memukul Bara.

"Ada hubungan apa kalian? Hah?! Jawab gue, bangsat!" Ucap Erland, sorot matanya tajam.

Bara mengusap sudut bibirnya. "Maksud lo apa?!" Ucap Bara.

"Harusnya gue yang tanya! Maksud lo apa berduaan disini sama Refa?! Dan lo Fa, lo tau Ara sahabat lo. Tapi kenapa lo justru disini? Bukannya bantuin Ara?! Hah?!"

"Jangan bentak dia, bangsat!" Ucap Bara.

Erland bertepuk tangan dengan senyuman penuh arti. "Backstreet? Hah, ternyata lo emang lebih dari bajingan, ya Bar."

"Apaan sih lo land, gue sama Bara gak ada hubungan apapun." Ucap Refa.

"Lo kira gue anak kecil yang gampang dibego begoin? Gue selalu tau gerak-gerik kalian, tapi gue diem karena menganggap hal itu wajar. Tapi sekarang gak lagi, gue tau semuanya!"

"Lo pilih dia atau Ara? Putusin salah satu! Jangan jadi pengecut! Gue masih bisa tutup mulut, tapi gak akan lama. Inget itu! oh ya, mungkin setelah ini sikap gue akan beda. Karena gue gak suka, sahabat yang bahkan gue anggep saudara, ternyata brengsek!" Ucap Erland menunjuk Bara dan berlalu dari sana.

Bara mengusap wajahnya kasar dan terduduk dilantai. "Sial! Kenapa jadi kayak gini si?!"

Refa bergeming. "Kamu pilih siapa? Aku atau Ara?!"

"Jangan nuntut gue untuk ngasih jawaban! Gue butuh waktu, tinggalin gue!"

"Pilih aku dan putusin Ara! Itu yang aku mau!" Ucap Refa. Ia berlari meninggalkan Bara.

Bara memukul tembok disampingnya, menyebabkan tangannya memerah. "Arghhh!"

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang