1.6

969 61 1
                                    

1 jam

2 jam

Tidak ada tanda-tanda Bara akan datang, Ara sudah mengirim pesan, menelfon, tetapi tetap tidak ada jawaban. Ara tidak ingin berpikir negatif, ia berharap Bara hanya terjebak macet. Walaupun itu tidak mungkin.

Sampai akhirnya suara motor yang sudah sangat familiar ditelinganya berhenti tepat dihadapannya. Bara membuka helmnya dan menaruhnya di kaca spion.

Bara berjalan santai menuju Ara, ia duduk di samping Ara dan justru sibuk memainkan ponsel. "Bara kemana aja aku udah nungguin kamu disini tiga jam." Tanya Ara.

Bara tengah memainkan ponsel di samping gadis itu tanpa menatapnya balik. "Gue ada urusan, emang hidup gue cuma berpusat di lo?"

Ara memilin tali sling bagnya. "Kejadian tadi enggak seperti apa yang kamu pikir."

Bara tersenyum miring, tatapannya masih pada ponsel. "Gue gak butuh penjelasan lo."

"Bara jangan kayak gini, kalau aku ada salah bilang. Jangan perang dingin kayak gini."

"Lo gatel."

Ara mengkerutkan dahinya. "Gatel?"

"Iya, sana sini mau. Itu yang namanya cinta?"

"Bukan gitu Bara, aku cuma bantu—"

"Mulai sekarang gue gak percaya lagi, sama omongan lo. Bullshit."

"Aku kira Rendy udah ngasih tau kamu."

Bara menatap balik Ara dengan tajam. "Gak usah bawa temen-temen gue. Gue lebih percaya mereka, dari pada lo."

Ara menunduk menyembunyikan raut sedihnya. "Terserah Bara mau percaya atau enggak. Aku gak bermaksud, itu aja."

"Gak bermaksud? Sampai pegangan tangan gitu? Seharusnya lo sebagai cewek punya harga diri, kalo gitu namanya lo itu murahan!"

"Aku minta maaf, kamu jangan tinggalin aku ya. Walaupun kamu udah tunangan sama Vely nanti."

Bara mengalihkan pandangan saat melihat air mata Ara turun, sejujurnya Bara tidak suka membuat perempuan menangis. "Gue muak Ra! Pengen rasanya gue mutusin lo, tapi kenapa lo selalu larang gue? Dan lo selalu bilang ke gue untuk selalu tetap disisi lo. Kenapa?"

"Walaupun kamu gak bisa selalu disisi aku, tapi seenggaknya aku punya tempat untuk pulang, Bar. Tempat aku pulang cuma kamu, gak ada yang lain."

"Masih banyak cowok yang lebih baik dari gue."

Ara menggeleng. "Emang banyak, tapi aku udah jatuh sejatuh jatuhnya sama kamu. Aku cinta sama kamu tulus, tanpa melihat kekurangan kamu."

"Stop, jangan diemin aku lagi, jangan marah sama aku lagi. Aku akan coba untuk memperbaiki semua kesalahan aku, please, stay with me." Ucap Ara sambil mengusap air matanya. Bahkan mereka menjadi pusat perhatian.

"Hilangin perasaan itu Ra, setelah ini lo bakal dapetin lebih banyak luka. Kalo hubungan ini masih bertahan."

"Gak masalah walaupun nanti aku berjuang sendirian lagi, sebelum ada kebahagiaan pasti terdapat luka' kan?"

"Gue udah ingetin Ra, untuk hilangin perasaan lo. Vico sama Rendy—"

"Mereka bukan kamu Bara, bukan kamu! Aku maunya cuma kamu, bukan yang lain!" Teriak Ara.

"Boleh' kan sekali ini aja aku egois dengan pertahanin kamu? Cukup yang lain pergi, jangan kamu Bara." 

Bara menarik Ara kedalam pelukannya, membiarkan Ara menangis sepuasnya, mengeluarkan semua yang ia rasa selama ini, karena kehidupan yang tidak pernah adil padanya.

Ara mengeratkan pelukannya, enggan untuk melepaskan. Seolah apabila ia lepaskan Bara akan ikut pergi darinya. Bara memeluk tubuh mungil Ara yang bergetar.

Perasaan hangat mereka rasa satu sama lain, untuk pertama kalinya Bara membalas pelukan Ara, dan membiarkan perasaan yang tidak seharusnya tumbuh, justru semakin kuat.

°°°°

Pak Anton mengerutkan keningnya saat melihat Ara tersenyum sendiri di belakang kursi penumpang. "Non Ara kenapa?"

Ara tersenyum lalu menggeleng. Hari ini adalah hari Senin, hari dimana semua murid sekolah tidak menyukainya, berbeda dengan Ara yang pagi ini tampak senang. Semua itu karena kemarin dan Bara.

Ara turun setelah sampai depan gerbang sekolah, ia membenarkan bando nya yang agak turun dan melangkah masuk. "Refa."

Refa langsung menyembunyikan ponselnya dikolong meja. "Eh Ra, lo udah dateng? Tumben."

"Kenapa ditaruh dikolong? Main aja lagi." Ara duduk di samping Refa.

"Eh, lo udah belajar basket' kan? Hari ini praktek loh." Ucap Refa mengalihkan pembicaraan.

Ara menepuk dahinya. "Aduh, aku lupa minta ajarin Bara. Gimana ya?"

Refa memutar bola mata tanpa sepengetahuan Ara. "Lo bisa kali belajar sendiri, gak perlu bantuan dia."

"Kenapa? Dia kapten basket, jadi lebih mudah ngajarin aku."

"Bucin namanya, lo jangan terlalu bergantung sama dialah. Yang ada dia risih." Ara terdiam mendengar kata-kata Refa.

"Udah ayo kelapangan, udah mau upacara." Ara mengambil topinya di resleting tas depannya dan mengikuti Refa yang sudah lebih dulu keluar.

"Apa bener Bara risih sama aku?" Gumam Ara.

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang