0.3

1.1K 86 3
                                    

Sekarang sudah jam istirahat dan Bara bertemu dengan Refa di gedung belakang sekolah. Refa menggenggam tangan Bara, membuat Bara menoleh.

"Bar, aku mau kita enggak sembunyi-sembunyi lagi, aku muak liat kamu sama Ara."

"Gue udah bilang dari awal, kalau lo terima gue. Kita pacaran secara backstreet."

"Tapi sampai kapan Bar? Kapan kamu akuin aku sebagai pacar, aku udah enggak bisa berpura-pura enggak kenal sama kamu. Aku pingin kayak pasangan lain."

"Sampai dendam gue terwujud, lo tunggu aja. Setelah itu gue akan tinggalin Ara."

"Kapan? Kamu selalu ngomong kayak gitu. Tapi kamu gak pernah jalanin dendam kamu."

"Waktunya belum tepat."

"Terserah kamu lah Bar, cape aku. Aku mau tau dendam kamu apa, tapi kamu gak kasih tau."

"Ya karena lo bisa aja gagalin rencana gue, atau justru lo gak akan setuju dan larang gue." Bara melepas genggaman tangan Refa, ia bangkit membuat Refa ikut berdiri.

"Gue cabut, tunggu tanggal mainnya. Gue akan lakuin secepatnya." Bara berlalu dari sana, Refa menghembuskan nafas lelah.

°°°°

Ara tengah menelengkupkan kepalanya dimeja, ia tidak tau harus berbuat apa. Saat Ara mengajak Refa ke kantin Refa tidak mau dan beralasan ingin ke perpustakaan untuk membaca buku, karena sedang tidak mood Ara memutuskan untuk tetap di kelas.

Ara mengangkat wajah setelah merasa ada yang menepuk punggungnya. "Vico?"

"Hai, mau coklat?"

Ara mengambil coklat yang disodorkan Vico, Vico menarik kursi dan duduk di tempat Refa. Vico dan Ara teman sekelas, berbeda dengan anggota Viktor yang lain termasuk Bara. "Makasih, ada apa ya?"

"Gue ngeliat lo sedih banget, jadi gue inisiatif buat beliin coklat. Yang gue tau coklat bisa naikin mood, bener kan?"

Ara tertawa kecil lalu memakan coklat pemberian Vico. "Vico perhatian, kapan Bara bisa kayak gini ya?"

"Gue yakin suatu hari nanti Bara luluh, lo tau kan perjuangan enggak akan mengkhianati hasil."

"Udah setahun aku nyoba tapi gak bisa, bahkan tadi Bara udah mutusin aku. Berarti aku udah mantannya kan?"

Vico mengacak rambut Ara. "Lo polos, Bara cuma bercanda deh kayaknya."

"Bener?" Mata Ara berbinar semangat.

"Bener, lo harus berjuang sedikit lagi. Gue yakin batu dihatinya akan luluh."

"Siap. Aku akan berjuang." Ara membuat gerakan hormat dan tertawa bersama Vico.

"Lo akan nyesel Bar, sia-sia in cewek yang mau berjuang sendirian untuk dapetin hati lo." Batin Vico.

°°°°

"Bara!" Bara memutar bola mata saat mendengar suara familiar ditelinga nya.

Ara memegangi lutut untuk mengatur nafasnya. "Apa? Cepet."

"Boleh anterin pulang? Pak Anton hari ini gak bisa jemput sampe seminggu ke depan."

"Gue ada urusan." Bohong Bara, sebenarnya Bara ingin mengantar pulang Refa.

"Kemana? Boleh ikut?"

"Gak, ya udah cepet naik. Gue anter lo pulang." Ara bersorak senang lalu menaiki motor Bara yang lumayan tinggi.

"Bentar, gue mau ngabarin orang dulu." Ara hanya mengangguk.

Setelah mengabari Refa untuk menunggunya sebentar di halte bis, nanti Bara akan kesana namun terlambat. "Jangan pegang-pegang, pegang aja besi belakang."

Ara lagi-lagi hanya menurut. Bara melajukan motor dengan kecepatan tinggi, Ara memejamkan mata kuat-kuat dan memegang ujung jaket Bara, Bara hanya berdecak namun tidak melarang.

Refa yang melihat Bara membonceng Ara kesal setengah mati karena Bara melewati halte bis tempat Refa menunggu, Refa menghentak-hentakkan kakinya. "Ara lagi, Ara lagi. Kapan aku diperioritasin sama kamu Bar!"

Ara turun dari motor Bara setelah sampai depan rumahnya. "Kamu mau masuk dulu?"

"Enggak, gue buru-buru."

Ara tersenyum kecewa. "Besok kamu ada waktu? Aku pingin nonton sama kamu."

"Nonton apa si? Kan dirumah ada TV."

"Ish, nonton bioskop Bara."

"Gak tau, liat nanti."

"Usahain ya Bar." Bara tidak menggubris dan memakai helm cepat, tanpa kata Bara langsung meninggalkan Ara.

Ara memasuki rumah yang selalu sepi, Ara menghela nafas. Ia menaiki tangga dan memasuki kamar bernuansa pink, setelah berganti baju Ara mengambil ponsel.

Ara mencari kontak Ayah dan men-call, menunggu deringan ketiga telfon diangkat. "Assalamualaikum, ayah."

"Ya Ra?"

"Ayah kapan pulang? Ara kesepian yah."

"Nanti Ara, kamu ngertiin dong. Ayah tuh lagi kerja untuk kamu."

"Iya yah, tapi ayah jangan lupa pulang."

"Hm, ayah tutup."

Ara mengusap air matanya, Ara mendongak menatap langit-langit. Air matanya kembali meluruh. "Semangat Ra, kamu pasti kuat." Ucap Ara menyemangati diri sendiri.

Ara di rumah hanya tinggal bersama asisten rumah tangganya, namun bi Wati hanya datang saat siang saat Ara sudah sampai rumah, pulang saat hari sudah gelap.

°°°°

Tok tok!

Ara turun dengan cepat, Ara mengernyit mendengar seseorang mengetuk pintu rumahnya dengan tidak sabaran. Ara membuka pintu dan betapa terkejutnya ia melihat sekelompok laki-laki berdiri di depan rumahnya.

"Kak Arthur? Kakak mau apa?"

"Ikut gue."

Ara menggeleng. "Enggak, kakak mau bawa aku kemana?"

"Ikutin gue atau lo diseret secara paksa dari sini."

Ara bersiap menutup pintu namun teman-teman Arthur sudah menahannya terlebih dahulu. "Lo ngelawan adik manis, guys seret dia!" Seru Arthur.

Teman-temannya mengangguk dan mulai menyeret Ara. Ara meronta minta dilepaskan. "Kak! Kalian mau bawa aku kemana?! Tolong lepasin!"

Tidak ada yang menolong Ara, bi Wati pun sudah pulang dan Ara benar-benar sendiri. Ara di suruh naik ke atas motor Arthur, namun Ara tidak mau. "Kak, aku mau pulang. Tolong lepasin aku."

"Enggak, malam ini lo harus ikut gue!" Arthur menarik paksa Ara untuk duduk di jok belakang motornya.

Ara menangis dalam diam, ia memegangi besi motor dengan kuat menyalurkan ketakutannya di sana. Hari ini ia lelah, sudah terlalu banyak air mata yang ia tumpahkan hari ini.

Ara turun di tempat pertandingan motor, sudah banyak orang-orang berlalu-lalang. Kedua lengan Ara sudah dipegangi oleh teman-teman Arthur.

Ara menunduk, melawan saja ia tidak bisa apalagi untuk kabur. Ara sudah dikelilingi anggota Atrax, terlebih semua anggotanya tinggi dan besar.

"Bangsat! Itu Ara bukan sih?" Rendy menyadari lebih dulu di anggota Viktor.

"Wah iya, Bara mana sih? Bisa telat begini." Ucap Emil melihat jam di ponsel.

"Coba telfon lagi." Ucap Erland.

Vico mengepalkan tangannya, buku jarinya memutih. "Bisa-bisanya dia jadiin Ara sebagai taruhan, busuk pikirannya."

"Telfonnya dipanggilan lain, gimana nih?" Panik Satria.

"Si bego, gue juga lagi nelfon Bara. Lo ngapain ngikutin!" Kesal Emil menoyor kepala Satria.

"Santai nyet!" Balas Satria tidak terima.

"Paan si lo berdua." Arsen menengahi.

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang