0.2

1.5K 111 5
                                    

Bara♡
Good morning Bara.
Bara.
Bisa jemput gak?
Pak Anton hari ini gak bisa nganter.

Ara tersenyum kecut melihat pesannya tidak mendapat balasan, dibaca saja tidak. Ara menaiki motor milik ojek online, Ara sengaja memilih trasnportasi ini agar tidak macet.

Saat diperjalanan Ara mengernyit melihat motor yang tidak asing dipandangannya. "Bara!"

Kedua orang itu menoleh, perasaan sesak menyerang Ara. Ara melihat Bara membonceng seorang perempuan, Ara yakin ia tidak salah lihat. "Bara! Kamu sama siapa?"

Bara tidak menjawab, melainkan melajukan motornya lebih cepat, Ara bisa melihat jelas perempuan itu memeluk pinggang Bara. Bahkan Ara yang sebagai pacarnya saja tidak diperbolehkan. Bara terlihat terima-terima saja.

"Neng, tadi siapanya?" Tanya tukang ojek.

"Bukan siapa-siapa mas." Ara mengusap air mata yang keluar, jangan salah karena Ara sesensitif itu dan sangat perasa.

Ara turun dari motor setelah membayar dan mengucapkan terimakasih pada tukang ojek, Ara melangkahkan tungkainya memasuki sekolah SMA Sriwijaya.

Ara bisa melihat Bara turun dari motornya, Ara memutuskan untuk mendekat ke arah parkiran. "Bara."

Laki-laki yang memakai anting hitam bulat di kedua telinganya menoleh sambil menyisir rambutnya ke belakang. Satu alisnya terangkat. "Hm?"

"Siapa cewek tadi? Kenapa kamu gak bales pesan aku?"

"Dia Vely. Gue sibuk."

"Kamu sibuk, tapi kenapa bisa anter perempuan itu sedangkan aku gak bisa?"

"Gue bosen sama lo. Jadi lebih baik kita putus." Ara menggelengkan kepalanya.

Air mata sudah luruh ke pipinya. "Enggak Bara. Aku cuma punya kamu, aku kesepian Bara, kamu jangan tinggalin aku."

"Gue gak peduli."

"Apa alesan kamu mutusin aku? Karena bosen, iya? Kalau kayak gitu kamu boleh pacaran sama yang lain tapi jangan tinggalin aku, kamu boleh balik kapan aja ke aku, aku akan selalu tunggu kamu. Aku sendirian Bara, Ara gak punya siapa-siapa."

Mereka sudah menjadi pusat perhatian di tengah parkiran dengan Ara yang lebih mencolok karena gadis itu menangis. "Gak usah nangis bisa? Bikin malu aja."

"I-iya, aku gak nangis. Tapi kamu jangan mutusin aku." Bara menarik kasar pergelangan tangan Ara. Membuat Ara meringis kesakitan, Bara terus berjalan memecah keramaian.

"Hiks...hiks...sakit Bara." Cicit gadis mungil yang tengah diseret oleh Bara.

Bara melirik sinis. "gak usah nangis, caper."

Bara menarik Ara sampai ke kelas gadis itu, tidak perduli sudah berapa pasang mata yang memperhatikan mereka. Bara mendorong Ara ke pelukan Refa. "Urusin temen lo yang cengeng ini."

"Bar.." Refa menatap Bara, Bara mengacuhkan Refa dan berlalu dari sana.

"Refa, Bara mau putusin aku..hiks."

"Udahlah Ra, lo ngapain si nangisin cowok brengsek kayak dia." Refa mengusap punggung Ara yang bergetar.

"Aku gak punya siapa-siapa. Semua orang ninggalin aku, hiks."

"Semua orang gak bisa selalu stay di samping lo, ada kalanya lo akan sendirian."

"Udah terlalu lama. Kapan aku bisa bahagia? Refa janji untuk selalu ada di samping aku ya?"

Ara memeluk Refa. "Gue juga salah satu orang yang akan pergi dan membuat lo kecewa Ra."

°°°°

Bara memasuki warung pak kumis, tempat dimana anggota Viktor sering bolos dan berkumpul. Semua pasang mata memperhatikan Bara.

Bara duduk disalah satu bangku, samping Vico. Walaupun semalam terjadi keributan diantara mereka. "Pagi-pagi udah buat keributan aja."

"Jangan mulai ko, gue lagi pusing." Bara menyender pada kursi.

"Tega lo bos, mutusin Ara di parkiran kayak gak ada tempat lain aja." Ucap Rendy, mulutnya asik menyemil makanan ringan.

"Percuma lo pada nasehatin dia, hatinya kayak batu." Ucap Erland.

"Dia juga gak terima gue putusin, jadi ya udah terserah dia mau sakit hati lagi." Ucap Bara santai.

Vico menggeleng tidak percaya. "Mau lo apa si Bar? Ara tulus sama lo, tapi lo sering banget sia-sia in dia."

"Semalem udah gue bahas, bisa topik lain gak?" Ucap Bara.

"Tapi Bar, Lo bener-bener putus sama Ara?" Tanya Emil kepo. Yang justru membahas topik ini.

"Belum, kenapa? Lo mau jadi pacarnya?"

"Weits, sorry aja nih gue bukan orang tikung-menikung teman." Ucap Emil.

"Gue mau." Bara melirik sinis Vico yang berbicara.

"Kenapa? Katanya gak cinta sama Ara. Tapi pas gue ngomong begitu kok emosi?" Vico tersenyum miring, berhasil menyulut emosi Bara.

Tangan Bara terkepal kuat, namun ia mencoba menahan emosinya. "Woi! Masih pagi, ribut aja kerjaannya." Lerai Erland.

"Urusan cewek bisa buat kita terpecah ya, wah hebat!" Ucap Satria yang justru memanasi keadaan.

"Sat, lo apaan si? Jangan memperkeruh." Ucap Rendy.

"Emang bener kok, sebelum Bara pacaran sama Ara kita baik-baik aja." Ucap Satria.

"Gue dari tadi diem ya, jangan sampe gue nonjok lo Sat." Ucap Arsen yang sedari tadi diam menyimak.

"Ngopi-ngopi apa ngopi, jangan ribut begini napa. Abang ganteng jadi pusing." Ucap Emil kepedean.

"Najis!" Ucap yang lain kompak.

"Ya ampun, hamba merasa terzolimi. Ck." ucap Emil dramatis sambil mengusap dadanya.

"Nanti malem ada balapan, si Arthur nantangin lo Bar. Gimana? lo terima?" Ucap Satria tiba-tiba setelah melihat ponsel.

"Mau apalagi si dia? Giliran kalah aja, gak terima." Ucap Bara.

"Ya lo tau lah dia kayak apa, anaknya sok jagoan." Ucap Erland sudah tau tabiat Arthur.

"Sat, bales tantangannya, gue terima." Ucap Bara diangguki Satria.

"Lo pada madol? Wah gila." Ucap Emil.

"Iya, kelas gue ada ulangan, males." Ucap Erland.

"Panutan bosq." Cengir Rendy.

Vico berdiri membuat yang lain melihatnya. "Gue ke kelas, sumpek lama-lama disini."

"Tumben si Vico, biasanya dia juga ikut madol." Ucap Satria setelah Vico tidak terlihat di warung.

"Gara-gara ada lo kali, bau." Tawa anggota Viktor pecah mendengar ucapan Arsen.

"Anjim, gue mandi ya. Noh si Emil kagak mandi seminggu. Udah sama kayak sapi." Satria tidak terima dan menunjuk Emil.

"Tertawakan aku sepuas kalian, aku berdosa kalian sucihh." Tawa anggota Viktor lagi-lagi pecah, tapi tidak dengan Bara. Ia menatap nyalang kepergian Vico.

Bara mengalihkan pandangannya ke ponsel, melihat pesan masuk.

Refa
Bar, aku mau ngomong sama kamu.

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang