1.3

867 59 0
                                    

Matahari sudah tepat berada di atas kepala, pertanda bahwa hari sudah siang. Ke enam anggota Viktor masih saja mengamati Bara, yang seolah tidak ingin berhenti bermain basket. Sudah terlihat jelas keringat membanjiri tubuh Bara dan ia pun sudah terlihat lelah, tapi Bara seolah enggan untuk menyudahkan permainannya.

"Bar! Istirahat dulu sini." Panggil Emil.

"Itu anak kenapa si? Bukannya hari ini kita mau nyari anggota ya?" Tanya Erland.

"Au dah, dari tadi emang gitu dia. Main basketnya kasar." Ucap Satria.

"Bener, kita aja gak dibiarin main. Bolanya dikuasain sama dia." Ucap Arsen.

"Bara kalo kayak gitu lagi kesel, marah, atau mungkin ada masalah. Dia pasti ngelampiasinnya ke basket." Ucap Vico.

Vico dan Bara memang lebih dulu berteman, bisa dibilang pertemanan mereka sudah sangat dekat karena mereka berteman sejak awal masuk SMP.

"Duh gimana ya?" Ucap Rendy bingung sendiri.

"Lo kenapa dah?" Tanya Emil.

"Gue mau minjem Ara."

"Anjir, lo kira Ara barang? Main minjem-minjem aja." Ucap Emil sewot.

"Gue cuma mau ajak Ara ke acara reuni besok, gue takut Bara tambah marah atau lebih parahnya dia mukul gue."

"Gue heran sama lo berdua, Vic, Dy, cewek tuh masih banyak kenapa harus Ara? Apanya yang lo liat dari dia? Cakep juga enggak." Ucap Satria sinis.

"Dia beda dari cewek lain Sat. Gue akuin gue jahat karena deketin cewek sahabat gue sendiri, tapi gue gak tega ngeliat Ara yang selalu berjuang sendiri. Sementara Bara, dia kayak gak punya perasaan apapun sama Ara. Jadi why not?" Ucap Vico.

"Soal fisik emang masih banyak yang lebih cantik dari Ara, tapi hatinya jauh lebih cantik dari cewek manapun." Ucap Rendy.

"Bucin lo berdua." Komen Emil.

"Belum jadi pacarnya aja udah bucin banget, najis." Ucap Arsen.

"Gue akuin lo berdua emang lebih pantes daripada Bara, bersaing secara sehat lo berdua." Ucap Erland.

"Tapi gue rasa lo gak usah ngasih tau Bara deh, Dy." Ucap Emil.

"Lah kenapa?"

"Ck, lo mau jadi amukan dia?" Ucap Arsen.

"Tul, Bara juga gak akan tau." Ucap Emil.

"Kalo Bara sampe marah sama gue, ini gara-gara lo ya Mil."

"Mana ada? Salah lo lah."

"Bara!" Mereka kompak mengalihkan pandangan saat nama Bara terpanggil.

Ara tersenyum, ia berdiri dihadapan Bara. Ara mengambil tisu didalam tasnya, saat ia ingin mengelap peluh Bara, tangannya langsung ditepis. "Ngapain lo?"

"Mau usap keringet kamu."

"Gak usah." Ucap Bara sarkas.

"Kenapa? Bara masih marah aku?"

Bara memberikan tatapan tajam, ia melempar bola basket ke sembarang arah. "Pergi dari sini."

"Kenapa Bara? Aku minta maaf, aku gak akan deket cowok manapun lagi."

"Gue bilang pergi dari sini!" Bentak Bara.

"Enggak mau, maafin Ara."

Ara menarik ujung kaus basket Bara, Bara terus saja berjalan menuju teman-temannya yang terpaku. Ia mengambil tasnya dan melepas kasar tangan Ara. "Jangan ganggu gue bisa?!"

Ara menggeleng, matanya sudah berkaca-kaca. "Jangan marah sama aku."

"Lo peduli gue marah atau enggak? Enggak ngaruh buat lo."

"Bara! Bara! Dengerin aku dulu." Bara menaiki motornya dan dengan cepat berlalu dari perkarangan sekolah.

Ara terpaku di depan gerbang, melihat motor Bara sudah melesat menjauh darinya. "Ra, are you okey?" Tanya Vico.

Ara menghapus air matanya dengan cepat. "Iya, kalau gitu aku pulang duluan ya."

"Mau gue anter?"

"Gak usah, aku bisa sendiri. Aku duluan ya." Ara tersenyum tipis dan berjalan menjauh.

"Hati lo terbuat dari apa si Ra? Kenapa lo bisa sekuat itu hadepin sikap Bara?" Ucap Vico seorang diri, menatap punggung Ara yang kesepian.

°°°°

"Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif." Ara menghela nafas saat lagi-lagi suara operator yang menjawab.

Ara senantiasa menunggu balasan pesan dan berharap telfonnya akan dijawab. Terakhir kali Bara membalas pesannya minggu lalu dan itupun hanya satu huruf yaitu 'y'.

Sekarang sudah pukul sembilan malam tapi tanda-tanda Bara akan menjawab chatnya tidak ada. "Triiiing!"

Mata Ara berbinar saat ada yang menelfonnya, tetapi harapannya pupus saat melihat nama kontaknya. "Halo, Ren."

"Gimana? Lo mau terima ajakan gue? Gue traktir apapun yang lo mau deh."

Ara menggigit bibir dalamnya. "Bara?"

Rendy terdiam dahulu sebelum menjawab. "Tenang, Bara udah tau kok. Cuma sehari, Ra"

"Makasih ya udah kasih tau Bara, aku gak mau dia salah paham lagi. Soalnya aku mau kasih tau dia, nomornya gak aktif."

"I-iya santai, besok gue jemput dirumah lo ya. Jam sepuluh, udah bangun belum?"

Ara terkekeh mendengar candaan Rendy. "Udah kok."

"Gue tutup ya, have a nice dream, Ra." Ara memilih tidak menjawab dan langsung mematikan sambungan telfon.

Ara menatap foto Bara yang ia jadikan wallpaper, Ara sengaja memfotonya diam-diam. Karena Bara sama sekali tidak ingin berfoto bersamanya, walaupun seperti itu Ara tetap senang.

Ara tersenyum dan menyimpan ponselnya di atas nakas bersiap untuk tidur. Ia berharap besok pagi akan mendapat balasan pesan dari Bara.

°°°°

BARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang