"Jangan ke kantin," kata Nora tiba-tiba menghentikan langkah kaki di tengah koridor. "Beli jajan ke koperasi aja," sambungnya lagi menahan tangan Cemara.
"Kenapa?"
Gadis berwajah bulat itu mendesah malas, menggeleng lemah. "Lagi gak pengen makan di sana," jawabnya datar.
Cemara mengangguk-angguk walau sebenarnya ia tak mengerti kenapa Nora menolak ke kantin karena biasanya gadis itu paling senang ke sana dibanding harus ke koperasi.
"Tapi Sava sama Mentari di kantin nungguin kita?" Cemara meringis ditarik pasrah oleh Nora.
"Biarin aja."
Sepanjang perjalanan menuju koperasi sekolah, keduanya sama-sama bungkam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. Nora yang mungkin hari ini sedang bad mood dan Cemara yang merasa ada sesuatu mengganjal dalam hatinya.
Sudah tiga hari Gemintang tidak menghubunginya dan juga tak terlihat di sekitar sekolah. Ya, walaupun memang biasanya mereka jarang chatting kalau tak penting-penting amat.
"Gimana sama Gemi?" Suara lembut Nora membuyarkan lamunan Cemara, ia mengerjap-ngerjap bingung dengan pertanyaan yang menurutnya tiba-tiba itu.
"Gimana apanya?" tanya Cemara terkekeh renyah. "Agak kaget gue ditanyain gini," katanya menepuk-nepuk dada.
Nora memijat keningnya, kemudian meraup wajah Cemara kesal. "Biasa aja dong reaksi lo. Lebay banget!"
"Karena beberapa hari ini jarang ngelihat lo bareng dia," lanjut Nora serius.
Bukan hanya Nora yang bingung, Cemara pun merasa begitu. Ia merasa Gemintang sedang menghindarinya? Cemara bukan tipe orang yang mau ngechat pemuda itu lebih dulu, tapi kemarin ia mengalahkan egonya untuk Gemintang. Dan tahu apa yang terjadi setelah itu? Gemintang hanya membaca pesannya.
Semalaman Cemara overthinking hanya gara-gara pesannya cuma di read padahal saat itu Gemintang sedang online.
"Panjang umur dia," kata Nora menyikut lengan Cemara. "Sana samperin."
Di samping gedung dekat koperasi, pemuda jangkung itu sedang bersandar ke dinding sambil memainkan handphonenya dengan tenang. Ntah apa yang sedang dilakukannya di sana seorang diri.
Cemara menggeleng kuat. "Dih, malas. Eneg gue ngelihat dia," ketusnya kemudian menarik tangan Nora. "Buruan jalannya, gue lapar!"
Sedangkan Nora hanya terkekeh kecil, sesekali menggoda Cemara. Ia merasa geli sendiri melihat Cemara salting.
"WOI PENDEK!"
Cemara yang sedang bersembunyi di balik lengan Nora kini menegang seketika mendengar panggilan tersebut. Siapa lagi kalau bukan Gemintang. Ia menghembus nafas kasar kemudian menoleh perlahan.
Gemintang menyeringai lebar dan berjalan mendekat ke arah Cemara.
Nora melepaskan tangan Cemara dari lengannya, tertawa renyah. "Gue sendirian aja ke koperasi."
Gadis berambut panjang lurus ini menggeleng dengan raut wajah memohon. "Nggak, jangan tinggalin gue, Ra," ujarnya pelan. "Males banget gue ketemu dia, serius."
"Gak boleh malas ke pacar sendiri. Dah ya, gue duluan."
Ah, sial.
Gemintang semakin melebarkan seringainya ketika sudah berdiri di depan Cemara, membuat Cemara ingin sekali menonjok rahang tegas itu sampai patah.
"Siapa, ya? Emang kita pernah kenal?" tanya Cemara memutar bola matanya malas.
Gemintang terkekeh garing, meninju pelan bahu Cemara. "Ya udah, kenalan dulu, yuk," katanya menjulurkan tangannya ke depan yang kemudian mendapat tepisan kasar dari gadis di hadapannya. "Sombong banget gak mau kenalan sama cowok ganteng."
"Masih hidup? Gue pikir udah innalilahi."
"Kangen, kah?"
"Tentu!" seru Cemara girang.
Gemintang menyilangkan tangannya di depan dada, tersenyum lebar. "Jelas sih, gue kan anaknya ngangenin. Udah terbukti."
"Tentu saja tidak!"
"Emang sialan ya lo, Ra. Udah lo buat gue terbang tinggi terus lo jatuhin gitu aja!"
Cemara hanya menatap Gemintang tanpa minat.
"Lesu banget." Gemintang mendekatkan wajahnya ke Cemara, ditelitinya gadis ini secara intens. "Sakit, ya?"
Ditatap begitu membuat Cemara jadi panas dingin sendiri. Mau ngelak tapi rasanya susah, mau nonjok juga tak tega, jadinya cuma bisa diam kaku.
"N-ngapain, sih?" tanya Cemara mendorong pelan dada Gemintang. "Minggir coba, risih gue dekat-dekat lo."
Gemintang menipiskan bibirnya, berdecak sebal kemudian menurut untuk mundur selangkah. "Salting bilang, bos. Gak usah sok-sokan bilang risih segala."
Yang digoda hanya diam tanpa ekspresi melihat Gemintang.
"Udah selesai lo ngomongnya?" tanya Cemara sarkas. "Bisa kita cari tempat buat ngobrol?"
Bukan Gemintang namanya kalau tidak menjahili Cemara. Pemuda itu mengerling menggoda, mencolek pipi gadis ini. "Sumpah? Se-kangen ini lo sama gue, Cemara?"
Meladeni pemuda ini tak akan ada habisnya, jadi Cemara segera menarik tangan Gemintang dan membawanya ke atap sekolah -tempat yang jarang dikunjungi oleh murid lain selain Cemara dan Gemintang.
"Kenapa, sih? Mau ngomongin apaan coba?"
"Wah, jangan-jangan lo mau mutusin gue, ya?"
Begitu tiba di atap, Gemintang segera mencerca berbagai pertanyaan ke Cemara tapi ia hiraukan.
"Jangan serius-serius amat napa, gue serem anjim ngelihatnya."
Cemara melepas cekalan tangannya, kini menyenderkan punggungnya ke dinding pembatas sambil menatap Gemintang datar. "Kemana aja lo?"
Susah payah Gemintang menelan salivanya, ia tertawa renyah sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Lo bisa biasa aja nggak mukanya? Hehe jangan sangar gitu, takut gue," ujarnya pelan kemudian ia tersentak sadar. "Wait, lo tumbenan banget nyariin gue?"
Karena biasanya, mau ngilang beberapa hari, bulan, tahun bahkan berabad-abad sekalipun, Cemara tak akan perduli.
Bingung tidak, sih, sama hubungan mereka? Pacaran tapi kaya musuh. Dibilang musuh juga kadang-kadang lengket kaya sepatu sama kaki.
Cemara bergeming di tempatnya, ia juga merasa heran dengan dirinya sendiri. "Iya juga, ya," gumamnya pelan mengangguk-angguk.
Ia merasa beberapa hari ini, lebih tepatnya sejak kedatangan murid baru itu membuat Cemara sedikit terusik. Ditambah lagi dengan tingkah laku Gemintang belakangan ini sedikit aneh? Suka ngilang tiba-tiba lalu muncul tiba-tiba juga. Kaya jelangkung.
"Tuh, kan, begonya makin bertambah. Gue bilang juga apa, obatnya diminum, jangan dibuang-buang—anjing!" seru Gemintang ketika Cemara mencubit dadanya. Ia membelalakkan matanya, menyilangkan tangannya menutupi dada takut kalau gadis ini kembali menyentuhnya. "Pelecehan lu! Gue laporin ke pihak berwajib mau?!"
Cemara tersenyum manis, mengangguk-angguk lucu. "Mauuu!"
"Gak waras!"
"Lo sinting."
"Elu gila!"
"Gila karena mu," jawab Cemara kembali mencolek dada Gemintang.
"CEMARA! Jangan sentuh sentuh aku! Laki-laki itu dijaga, bukan dirusak!"
Cemara tertawa terpingkal-pingkal sampai harus memegangi perutnya menahan keram. Pipinya juga sudah terlalu pegal.
Wajah Gemintang benar-benar membuatnya merasa geli.
"Terus kaya gini, Ra. Gue suka lihatnya."
"Hah? Ngomong apa lo barusan?"
"Apa? Gue gak ngomong apa-apa perasaan. Kuping lo bermasalah kali."
"Iya kali ya. Kayanya gue nanti pulang sekolah singgah dulu ke dokter."
"Hmm … sekalian periksa otak lu, Ra."
KAMU SEDANG MEMBACA
831 MEANING 244 MEANING [hiatus]
Teen Fiction"Tolong jangan paksa gue move on, karena gue gak bisa!" "Move on itu gak selamanya harus melupakan. Move on itu tentang mengikhlaskan. Jadi, ikhlasin dia!" - "Hal yg paling bikin kamu bahagia itu apa?" "... Kamu." [Kalo kamu cari cerita dengan alur...