"Lo dipanggil Pak Jaya ke kantor," kata Guntur menyerahkan kertas ulangan ke gadis ini. Cemara mendongak, dengan gerakan lesu mengambil kertas itu tanpa berniat melihat nilainya segera ia lipat dan dimasukkan ke dalam laci meja. "Istirahat kedua nanti temuin, Ra. Jangan lupa!"
Guntur mencebikkan bibirnya, "Lesu amat, bos. Kenapa?"
Gadis ini kembali menelungkupkan kepalanya ke meja, bergumam malas. "Kenapa Pak Jaya manggil gue?"
"Ya mana gue tahu, anjir. Dah, ya, pokoknya jangan sampe lupa kaya kemarin-kemarin, nanti gue yang dimarahin!"
Setelah mengatakan itu, Guntur berbalik pergi ke tempat duduknya. Sebenarnya, Cemara sudah tahu apa tujuan gurunya itu memanggilnya ke kantor. Itu sebabnya kemarin-kemarin ia kabur untuk menghindari guru Matematikanya itu.
Nora yang duduk di sebelah Cemara tak tahan untuk memaki temannya ini. Tangannya meraba laci untuk mencari kertas ulangan milik Cemara yang tadi diberikan Guntur.
"Goblok," umpat Nora setelah melihat nilai sembilan puluh di kertas tersebut. "Nanti temuin Pak Jaya. Kalo lo gak mau, gue tarik paksa!"
Cemara menegakkan badannya, merampas kertas itu kemudian ia remas sampai lecek dan dibuang begitu saja ke lantai. "Kalo gue goblok, gak mungkin gue dapat nilai bagus setiap ulangan Matematika."
"Lo goblok karena selalu kabur-kaburan setiap Pak Jaya nyuruh lo ikut olimpiade!"
"GUYS, GUE PUNYA HOT NEWS! DENGERIN GUE DENGERIN!" Mentari dan Savana berlari masuk sambil berteriak. "Jadi, gini—lo tahu anak baru itu, kan???" Mentari menggoyangkan lengan Cemara heboh.
"Kenapa, deh?" Nora mengambil minuman dingin dari tangan Savana, meneguknya setengah.
Savana tak ambil pusing dengan minumannya, yang ia pikirkan hanya menggosip ria bersama ketiga temannya ini. "DIA IKUT OLIMPIADE MATEMATIKA, ANJIR!"
"Ya… terus? Biarin ajalah, gak perduli juga gue."
Nora, Mentari dan Savana saling adu pandang, mengernyit bingung dengan reaksi biasa saja dari Cemara. Padahal dari kemarin gadis ini terus-terusan membahas si anak baru yang membuatnya merasa terancam.
Diantara mereka berempat, Savana yang paling anti main tangan. Namun, kali ini, gadis berponi rata itu menyentil telinga Cemara karena geram. "Coba ngomong sekali lagi biar gue sentil biji mata lo!" serunya dengan menggebu-gebu, matanya menatap tajam Cemara.
"Kalo Sava udah berani main tangan itu artinya dunia gak baik-baik aja, Cemara!"
Cemara mengangkat bahunya tak perduli. "Ya gue harus apa, anjing? Harus bangga, senang atau apa?
"Heh!" Nora membanting botol minum ke meja, menabok lengan Cemara kuat. "Lo harus ikut olimpiade juga! Kalahin dia!"
Berbagai nasehat, sumpah serapah dan kalimat-kalimat hasutan yang diberikan teman-temannya, akhirnya Cemara mau menemui pak Jaya ke kantor guru. Itu juga akibat Savana yang menyeretnya paksa.
Cemara mendengus keras saat baru saja keluar dari kantor, ditatapnya bergantian wajah-wajah sialan di depannya ini. Nora, Savana dan Mentari menatapnya penasaran. Pasalnya, Cemara masih bimbang. Di sepanjang koridor tadi ia masih saja mengeluh dan protes tapi disisi lain merasa tertantang untuk melawan si anak baru.
"Gimana?"
"Jadi ikutan olimpiade, kan? Jangan bilang kalo lo nolak tawaran itu?!"
"Jawab ih! Jangan diam aja!"
"Cemara?!"
"Iya, gue ikut! Puas lo semua?!"
"Cemara?"
KAMU SEDANG MEMBACA
831 MEANING 244 MEANING [hiatus]
Teen Fiction"Tolong jangan paksa gue move on, karena gue gak bisa!" "Move on itu gak selamanya harus melupakan. Move on itu tentang mengikhlaskan. Jadi, ikhlasin dia!" - "Hal yg paling bikin kamu bahagia itu apa?" "... Kamu." [Kalo kamu cari cerita dengan alur...