"Ini, nih, tisu. Puas puas-in deh nangisnya biar lega," ujar Savana menyerahkan kotak tisu ke Mentari yang beberapa saat lalu baru saja dibeli Cemara di supermarket depan kompleks.
Sekarang malam Minggu dan ketiga teman Cemara datang ke rumahnya untuk menginap. Harusnya, ya, Cemara malam ini berkencan dengan Gemintang, tapi mendengar bahwa Mentari sedang patah hati dan nangis senggugukan membuatnya merasa iba dan harus membatalkan janji.
Di sebelahnya, Nora mengelus-elus punggung Mentari mencoba menenangkan. "Gak apa-apa, keluarin aja semuanya. Nangis sepuasnya sampe lo ngerasa lega."
Mentari datang-datang langsung nangis kejer, menelungkupkan tubuhnya ke karpet berbulu di lantai kamar Cemara. Tentu saja hal itu membuat Cemara kebingungan dan minta penjelasan dari Nora dan Savana.
Savana bilang, Mentari baru saja putus dengan kekasihnya yang sudah hampir lima tahun dijalani sejak mereka masih duduk di bangku SMP.
Cemara tak bisa membantu banyak, tak bisa seperti Nora yang mengeluarkan kata-kata penyemangat dan bukan Savana yang siap untuk memeluk dan memberi bahunya. Ini Cemara. Hanya bisa diam mendengarkan tanpa tahu harus berbuat apa. Kadang ia bingung, merasa tak berguna sebagai teman. Bisanya cuma ngasih kata-kata pedas agar teman-temannya sadar. Kaya gini misalnya.
"Mentari…," panggil Cemara pelan, menyodorkan botol minum ke arahnya ketika gadis ini sudah selesai dengan tangisannya tapi masih menyisakan senggugukan dan ingus yang meler di hidungnya. "Dengerin gue—"
"Kasih kata-kata pedas lo, Ra, biar nyadar dia." potong Savana masih menepuk-nepuk kepala Mentari.
Cemara berdehem singkat, menyenderkan punggungnya ke pinggiran kasur. "Jodoh itu di tangan Tuhan, Mentari. Sedangkan Tuhan lo dengan Tuhannya beda. Yang seagama aja belum tentu jodoh, gimana sama yang beda agama? Masih ngarep jodoh? Ingat ya, kalung salip di leher dia sama tasbih ditangan lo gak akan bisa nyatu. Udah, mundur aja. Emang berani nantang Tuhan?"
Kan, benar. Bukannya merenung setelah dikasih tamparan keras oleh Cemara, Mentari malah semakin mengencangkan tangisannya.
Kalau gini kan Cemara jadi merasa serba salah.
"HUAAA, CEMARAAA! DADA GUE SAKIT BANGET RASANYA SESAK!"
"Allahuakbar."
"Buset, makin kencang aja nangisnya. Udah woi! Ntar bapaknya Cemara ngusir kita pulang!"
Cemara menyambar handphonenya di atas tempat tidur, melirik jam yang bertengger di dinding. Pukul delapan malam. "Gue ke Indomaret dulu, deh. Kalian mau dibeliin apa?"
Setelah menyebutkan beberapa cemilan yang diinginkan, Cemara bergegas turun ke bawah dan betapa kagetnya ia melihat teman-teman Jenggala berada di luar rumah. Bukan, sebenarnya bukan kaget karena ramai teman Jenggala datang, melainkan karena melihat sosok Banyu di antara yang lain.
Jenggala yang sadar akan kehadiran Cemara kini tersenyum lebar dan penuh arti. Ia berjalan mendekat. "Mau kemana, Dek? Sibuk nggak?"
Tentu saja Cemara langsung menaikkan sudut bibirnya. Menatap Jenggala seperti se-enggok sampah, jijik. "Sibuk bangettttt! Jadi, jangan ganggu gue."
"Sesibuk apa?"
"Sibuk banget pokoknya. Bahkan gue nafas aja susah sangking sibuknya."
Cemara kira teman-teman Jenggala tak mendengar perkataannya barusan ternyata salah. Kini Kai dan Ranu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Langit dan Banyu terkekeh kecil.
"Ya Allah…," Jenggala menyugar kasar rambutnya, menatap nanar Cemara. "Tolongin gue sekali aja, plis… bikinin mereka minum."
"Kita kan tamu, Ra. Harus dilayani, dong." Ranu melipat kedua tangannya dengan dagu terangkat tinggi, berlagak seperti tamu beneran.
KAMU SEDANG MEMBACA
831 MEANING 244 MEANING [hiatus]
Teen Fiction"Tolong jangan paksa gue move on, karena gue gak bisa!" "Move on itu gak selamanya harus melupakan. Move on itu tentang mengikhlaskan. Jadi, ikhlasin dia!" - "Hal yg paling bikin kamu bahagia itu apa?" "... Kamu." [Kalo kamu cari cerita dengan alur...