"Cemara? Kok, gak bilang-bilang mau ke sini?"
"Boleh gue nginep di sini?"
"Hah? Ngomong apa, sih? Ya boleh lah, goblok!"
Cemara tidak punya pilihan lain selain menginap di rumah Savana. Awalnya ia ingin menginap di rumah Nora, tapi pasti nanti Cempaka akan menyusulnya ke sana, karena dia yakin kembarannya itu akan mengeceknya di rumah Emily. Kalau ke rumah Mentari, kejauhan.
"Kalo ada yang nyariin gue, jangan bilang gue nginep di rumah lo, ya?" Cemara meletakkan tasnya ke sofa di kamar Savana. "Siapapun itu, termasuk Nora sama Mentari."
Savana yang hendak mengambil handuk digantungan jadi menoleh dengan kening mengkerut dalam. Beberapa saat kemudian dia membelalakkan matanya, menggeleng pelan. "Wait—lo kabur?!"
Tanpa ragu Cemara mengangguk singkat. Mengabaikan Savana di depan sana yang tengah menatapnya penuh tanya.
"Kenapa? Lo punya masalah di rumah?" Savana meletakkan handuknya ke kasur, melupakan niatnya untuk mandi. Ia berjalan mendekati Cemara yang sedang mengutak-atik handphonenya. "Gak mungkin punya masalah sama Bunda dan Ayah lo, kan? Gak mungkin juga punya masalah sama Jeje atau Cece. Ya, walaupun, lo bertiga emang demen banget berantem—tapi, maksudnya, tuh—"
"Mandi sana, udah mau magrib." potong Cemara cepat. "Setan suka gangguin orang yang mandinya malam, Sav."
Savana mendengus keras, tanpa banyak protes dia melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Tidak ada yang tahu perihal hubungannya dengan Jenggala yang berubah canggung. Yang orang-orang tahu, Cemara dan Jenggala masih saja seperti biasa, saling berdebat setiap detik, tapi sebenarnya saling peduli.
Ia melirik handphone ditangannya, layarnya mati. Sengaja Cemara nonaktifkan dulu untuk beberapa saat.
Tadi, sebelum menuju ke rumah Savana, Cemara mengabari ayahnya kalau malam ini dia menginap di rumah Emily. Cemara juga sudah mengajak Emily bersekongkol dengan imbalan traktiran selama seminggu. Sepupunya itu memang luar biasa.
Dia juga sudah menyiapkan semuanya, mulai dari baju-bajunya selama dua hari di sini, lalu skincare-nya dan peralatan mandi lainnya. Cemara sudah mempersiapkannya dengan matang acara kaburnya ini. Setidaknya selama dua hari ini ia bisa bebas.
Savana tinggal berdua di rumah besar ini bersama asistennya, sedangkan mama dan papanya tinggal di Bali dan akan pulang sebulan sekali untuk menengok keadaan Savana.
Pintu kamar mandi terbuka, sosok Savana keluar dengan piyama bermotif kotak-kotak dan handuk membungkus rambutnya yang basah. "Sekarang, ceritain semuanya ke gue tanpa kekurangan sepatah katapun."
Cemara tertawa, dia menjatuhkan tubuhnya ke karpet berbulu di bawah sofa. Matanya menatap langit-langit kamar, menarik nafas panjang. "Gak tau mau mulai darimana. Panjang banget, bisa seminggu baru kelar kalo diceritain mah."
"Gue serius!" Savana melempar bantal ke arah Cemara dan langsung ditangkapnya. "Masih ada hubungannya sama masalah … Gemi?"
"… Maybe?"
"Jeje?"
Cemara sontak bangkit, kini menyandarkan punggungnya ke kaki sofa di belakangnya. Dia akui Savana orang paling peka yang pernah di temuinya setelah Nora. "How can you guess?"
"Ah, gampang," jawab Savana tersenyum remeh. "Selama lo pacaran sama Gemi, Abang lo gak pernah setuju dan siapapun tau itu. Terus, pas kejadian ini … udah pasti dia marah banget. Karena nggak bisa melampiaskan ke Gemi, akhirnya dia cuma bisa marah ke lo atau lebih tepatnya marah ke dirinya sendiri?" Kalimat terakhir Savana terdengar tidak masuk akal bagi Cemara dan itu berhasil mengundang tawanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
831 MEANING 244 MEANING [hiatus]
Teen Fiction"Tolong jangan paksa gue move on, karena gue gak bisa!" "Move on itu gak selamanya harus melupakan. Move on itu tentang mengikhlaskan. Jadi, ikhlasin dia!" - "Hal yg paling bikin kamu bahagia itu apa?" "... Kamu." [Kalo kamu cari cerita dengan alur...