🌲 Beneran Teman

7 2 0
                                    

Cece:
Ada ngelihat Jeje dkk gak, Ra?

Cemara:
Ada. Knp ce?

Cece:
Di mana?
Ini dicariin pak Sofian.
Bolos pelajaran sejarah, siap-siap besok dihukum.

Cemara:
Di atap gedung Bahasa
Bolos brg gw

Cece:
Heh? What's wrong with you?





Cemara meletakkan kaleng minuman dengan sentakan keras ke meja kayu dihadapannya. Mengantongi ponselnya, tidak berniat membalas pesan terakhir yang dikirim Cempaka.

"Balik kelas sana," kata Cemara menatap Jenggala, Ranu dan Langit bergantian. "Pelajaran Sejarah kan? Gak boleh bolos, nanti dihukum."

Langit terkekeh geli. "Sejak kapan kita takut dihukum, Ra? Malah makin seneng."

"Udahlah, nikmatin aja hari ini. Kita nyantai aja dulu," sahut Ranu merangkul bahu Kai. "Iya gak, Kai? Btw, gara-gara pipi memar, lo jadi agak diem, njing. Sesakit itu, kah?"

"Habis kepentok apa gimana, tuh," ujar Mentari sambil meringis, ikut merasakan nyeri yang dialami Kai. "Dikompres, biar cepat sembuh."

Savana mengikat asal rambutnya, karena dari tadi ia kesal sendiri rambutnya berantakan tertiup angin. "Hati-hati, Tar. Takut si Kai baper lo perhatiin."

Kai berdecih, ia tersenyum miring. "Nggak akan baper gue. Udah biasa diperhatiin gini sama cewek-cewek," balasnya sombong. "Heh, monyet, tanggung jawab lo! Gara-gara mantan lo, muka gue jadi babak belur!" serunya pada Cemara.

"Lah, gue?" Cemara menunjuk dirinya sendiri. "Lagian siapa yang nyuruh lo berantem?"

"Ini nih, gara-gara Abang lo! Brutal banget nonjok si Gemi sampe anaknya mau sekarat. Gue, kan, baik ya, Ra. Gue bantu pisahin, tuh!"

Cemara langsung menatap Jenggala penuh tanya. Sementara yang ditatap, membuang wajah ke samping seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Nah, pas Jeje ngejelasin yang sebenarnya. Kenapa dia ngehajar Gemi. Gue jadi emosi, dong! Yaudah, gue ikutan nonjok si Gemi. Rupanya, si bangsat itu lebih gesit, ditonjoklah pipi gue sampe biru gini." Kai dengan menggebu-gebu menjelaskan yang terjadi tadi siang di belakang sekolah. "Mana dua manusia gak berakhlak ini lama banget lagi datangnya. Keburu Gemi pergi. Harusnya lo berdua datang lebih cepat, jadi kita berempat sama-sama ngehajar Gemi—–"

"Mainnya keroyokan, anjir." Nora memotong ucapan Kai.

Savana mengangguk setuju. "Tau, nih. Nggak gentle banget."

"Harusnya panggil kita juga, dong! Kita bantu gebukin!"

Kemudian semua mata mengarah ke Nora, memandang Nora kaget.



















Cukup Nora yang bikin mereka kaget, ditambah lagi saat ini gagang pintu roof top tiba-tiba terputar, seperti ada yang ingin mencoba membukanya dari luar. Memang pintu di gedung ini agak sedikit susah dibuka. Perlu teknik yang pas agar terbuka. Tidak mungkin hantu di siang bolong. Kemungkinan besar, itu adalah petugas keamanan, berkeliling mencari siswa-siswi yang membolos di jam pelajaran berlangsung.

"Mampus, ada Pak Sucipto!"

"Gak mungkin, sih. Di gedung bahasa jarang banget diperiksa."

"Gak ada yang gak mungkin di dunia ini, Ranu—"

Cemara menutup mulut Kai dengan tangannya. "Diem, bukan waktunya ceramah."




















"Susah banget pintunya kebuka," katanya menendang pintu tersebut agar tertutup sambil mengelap keringat di pelipisnya. "Jangan tatap gue seolah-olah gue adalah hantu." Cempaka melangkah santai, mengulurkan kantung plastik ke Cemara.

"Cece, ngapain lo ke sini?!" pekik Cemara kaget, tapi menerima plastik itu. Mengintip isinya lalu terkekeh kecil. "Wih, banyak banget jajannya. Ngerampok di mana?"

Tentulah mereka semua yang ada di roof top tercengang melihat kehadiran Cempaka. Yang semua orang tahu, Cempaka ini anak baik-baik. Dia telat satu menit saja sudah ketar-ketir, lalu sekarang malah membolos.

"Ngapain lo di sini? Sana balik ke kelas!" Jenggala membalikkan badan Cempaka, mendorong tubuh gadis itu.  "Nanti dihukum Pak Sucipto."

Cempaka berdecak sebal. Ia menepis Jenggala. "Apaan, sih! Gue nggak peduli."

"Jangan ngikutin gue, Ce. Gue dihukum udah biasa. Nah, elo? Kalo Bunda tau, lo bisa kena marah. Bunda pasti sedih anak kesayangannya jadi nakal."

Jenggala melirik Cemara, menggeleng pelan. "Biarin aja, Ra. Sekali-sekali nggak akan jadi masalah. Selama ngga ada yang ngasih tau Bunda, semua aman."



Setelah mempertimbangkan hal ini hampir lima menit, akhirnya Cempaka diperbolehkan ikut membolos dengan mereka.

Ini pertama kalinya untuk Cempaka dan katanya ia suka.



"Lain kali kalo mau bolos ajakin gue, ya?"


"Heh! Ini yang pertama dan terakhir ya, Ce! Gue takut lo kecanduan."

"HAHAHA IYA INI YANG TERAKHIR, RAAA."







Semua yang ada di sini bersenang-senang, mereka melupakan semua yang terjadi dengan hari ini. Terutama Cemara, ia berusaha melupakan segala hal yang buruk, setidaknya untuk hari ini saja. Karena ia tak yakin, besok akan tertawa lepas seperti sekarang.













"Tetap bahagia, Ra." Kai berjalan mendekati Cemara yang saat ini tengah bersandar di dinding pembatas. "Gue yakin suatu hari nanti lo bakal dapat yang jauh lebih baik dari dia." Ia mengulurkan kacang kulit ke Cemara, membuka kulitnya dan mengulurkan isinya pada gadis ini.

Cemara tertawa. Kali ini bukan tawa palsu. Ia benar-benar tertawa. Menurutnya ini lucu, padahal Kai berbicara serius.

"Dih, ngapain ketawa?"

Cemara mengangkat bahunya. "Nggak, cuma ngerasa lucu aja. Baru kali ini lo ngomong serius sama gue," kata Cemara sambil memasukkan kacang ke mulutnya. "Thanks?" ucapnya ragu.

"Ikhlas gak sih lo ngomong makasihnya? Kaya kepaksa gitu."

"Ikhlas, Kaiiii."
















"WOI NGAPAIN LO DEKET-DEKET ADEK GUE!" seru Jenggala membuat kedua orang yang mengasingkan diri ini jadi menoleh serentak. "Jangan macem-macem!" Ia berjalan cepat menghampiri dengan kedua tangannya berada di pinggang. Memasang ekspresi marah.

"Yailah, baru ujungnya doang, Je. Belum semua," balas Kai santai. "Yakan, Ra?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 12, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

831 MEANING 244 MEANING [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang