🌲 Berulah Lagi

124 63 86
                                    

"Lepasin, nggak?!" Cemara menjambak kuat rambut belakang Jenggala yang membuat pemuda ini menjerit kesakitan. Tangan Jenggala berusaha melepas tangan Cemara dari rambutnya. "Ih, masa gue pake kaos kaki belang-belang!"

"Ya lepasin dulu tangan lo dari rambut gue!" Jenggala menggeram kesakitan. "Aduh, Rara! Gue aduin ya lo ke emak!"

Barulah setelah mengancam dengan kalimat singkat itu Cemara melepaskan tangannya. Gadis ini berdehem, merapikan seragamnya yang berantakan. Dagunya terangkat tinggi dengan tangan dilipat di depan dada. "Buka sendiri apa gue yang bukain?"

Perkara kaos kaki doang ributnya udah kaya lagi mau tawuran antar kampung.

Jenggala melirik sekitar, untung saja sekarang masih pagi, belum banyak murid yang datang. Masalahnya, sekarang Cemara menghadang Jenggala di tengah-tengah koridor Bahasa.

Pemuda ini menarik nafas lelah, kini berjongkok untuk membuka kaos kaki milik Cemara yang tadi pagi di colongnya dari jemuran belakang rumah. Ia sengaja menukar kaos kakinya yang bolong -di bagian jempol, dengan kaos kaki Cemara. Jenggala pikir, adik kembarnya itu tak akan menyadarinya.

Jenggala mendongak menatap Cemara, ia berdecak kesal. "Ya lo juga buka, dong. Masa gue cuma make sebelah doang?" katanya menyerahkan kaos kaki sebelah kanan ke Cemara.

Gadis ini menepuk ke keningnya, terkekeh singkat. "Lah, iya juga ya. Bego banget gue." Kemudian ia berjongkok, membuka kaos kakinya.

Bukan Cemara namanya kalo gak bikin orang lain kesal. Dengan sengaja ia menggoyang-goyangkan kaos kaki itu ke depan wajah Jenggala yang tentu saja membuat pemuda ini tersulut emosi.

"CEMARA, BAU BANGET!"

Belum sempat Jenggala menarik Cemara, seseorang dari belakang menepuk punggungnya kuat.

Keduanya sontak berdiri tegap saat tau kalau seseorang yang barusan menepuk Jenggala adalah Cempaka.

"Ya Tuhan ...," Cempaka mengusap wajahnya kasar. "Masih pagi udah bertengkar aja. Gak capek, kah?"

Emang yang bisa misahin Cemara dan Jenggala cuma Cempaka. Bahkan, Bunda dan ayah mereka saja angkat tangan, menyerah.

"Dia yang mulai!" seru Cemara menatap horor Jenggala. "Kaos kaki gue dicuri sama dia terus diganti yang bolong. Coba lo bayangin gimana keselnya gue!"

Cempaka menarik tubuh Cemara yang seperti sebentar lagi bersiap menyerang Jenggala. "Lo bisa pake kaos kaki gue, Ra. Gak perlu marah-marah gitu." Kini tatapannya beralih ke Jenggala, menggeleng tak habis pikir. "Lo juga, Je. Apa susahnya permisi? Gak usah pake acara ditukar segala."

Setelah mendapat ceramah singkat di pagi hari yang cerah ini dari saudara kembarnya yang super dewasa itu, Cemara melangkah gontai di koridor menuju kelasnya. Kakinya mulai menaiki tangga dengan malas, menarik nafas dalam-dalam dengan kedua bahu menurun.

Ntahlah, sejak tadi ketika bangun tidur Cemara merasa badannya lemas, moodnya turun.

"Biarin aja jatuh, paling gue ketawain."

Cemara mengangkat wajahnya, sebelah alisnya terangkat tinggi melihat pemuda jangkung itu berdiri di anak tangga teratas sedang menyeringai lebar.

"Durhaka lo ngetawain cewek secantik gue," kata Cemara melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di samping Gemi. "Btw, ngapain di sini? Kelas lo di sebrang sana, noh!"

Gemintang mengangkat bahunya tak perduli. Tangannya terulur kemudian meletakkannya di kening Cemara. "Nggak panas," gumamnya pelan.

Cemara berdecak, menepis kasar tangan Gemintang. "Iyalah gak panas, kan gue gak sakit."

831 MEANING 244 MEANING [hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang