Epilog

13.1K 800 83
                                    





Happy Reading





Suara bising memenuhi ruangan keluarga yang cukup besar dari rumah dengan nuansa klasik yang sangat mencolok. Mulai dari rengekan dan tawa menggelegar menjadi satu dalam ruangan itu.

Dua bocah yang sedang memperebutkan sepeda beroda tiga, untuk mereka kendarai sangat memekakkan telinga setiap orang yang mendengarkan perdebatan antara dua kakak-beradik itu yang tiada hentinya. Padahal kalau dilihat sepeda itu dapat mereka gunakan bersama-sama jika mau, karena sepeda itu memikili satu tempat duduk kecil untuk digunakan sebagai boncengan.

Keberadaan lelaki jangkung yang kala itu bertugas untuk menjaga dua bocah tengil yang tiada henti-hentinya berdebat tidak mampu membuat mereka untuk berhenti bertikai, pria jangkung itu memijit pelipisnya lelah karena memang sudah terlalu biasa melihat pertikaian tidak penting dari kedua bocah tersebut, dirinya terlalu lelah untuk menghentikan perdebatan tersebut, bukannya nanti berhenti malah dirinyalah nanti yang akan dijadikan samsak oleh kedua bocah tengil tersebut.

Belum lagi melihat seluruh sudut ruangan keluarga yang sangat berantakan, ruangan yang sebelumnya sudah tertata rapih kini nampak seperti kapal pecah, semua mainan mulai dari bola-bola kecil atau besar, mobil-mobilan, lego, boneka, serta robotan menyebar kesetiap sudut ruangan yang ada. Box mainan besar yang memang disediakan untuk keduanya setiap kali mengunjungi rumah itu telah kosong semuanya.

Lelaki dengan tubuh tinggi tegapnya itu hanya memperhatikan pertikaian keduanya, pasti sebentar lagi di antara keduanya akan ada yang mengadu untuk meminta pembelaan karena telah merasa kalah dari pertikaian mereka.

"papa. . huaa. . abang gak mayuu ngayah camaa adek. . hu. . hu. . huaa" nah kan, yang muda ternyata yang duluan menyerah dari perdebatan unfaedah keduanya.

Tangisan bocah perempuan itu semakin pecah kala pria jangkung yang dipanggil papa itu mendekati dirinya, "pa. . abang cakal adek. . nih iaat" diberikan lengannya yang tidak sengaja terkena kuku panjang dari sang abang dihadapan papanya.

Sementara sang kakak hanya menatap adeknya menangis dengan tatapan datar tanpa ekspresi persis sekali dengan watak dari pria jangkung itu dulu, yang kini telah mendekati yang muda lalu menatap sang kakak meminta penjelasan dari dirinya.

"Lee Hyun Abiantara we need to talk about this" pria jangkung itu menatap putranya dengan tatapan cukup tajam agar putranya yang kini menunduk menatap lantai sambil memegang sepeda beroda tiga itu dengan takut, karena suara rendah papanya sangat menakutinya.

"i'm solii pa. . abang gak sengaja" suaranya bergetar meminta maaf pada pria jangkung, bocah laki-laki itu melangkah mundur dari tempatnya berdiri takut mendekati papanya.

"sini dulu abang deket sama papa. . minta maaf sama adek. . tangan adek berdarah loh ini" pria jangkung itu memanggil putranya untuk mendekat, lalu menunjukan lengan gadis kecil yang kini duduk dipangkuan papanya dengan tangisannya yang mulai meredah.

"m-maaf" ucap bocah tengil itu singkat sambil mengulur tangan mungilnya kehadapan yang muda. Dengan maksud untuk menjabat tangan sang adik, agar mau memaafkan kesalahannya.

Pria jangkung itu menghelah nafasnya pelan, "Bian. . yang bener minta maafnya sama adek" dia menegur putranya dengan lembut agar meminta maaf pada sang adik dengan cara yang benar. 

"adek. .abang minta maaf, janji gak bakayan ganggu adek yagi, janji gak bakayan cakal adek yagi" uluran tangah bocah laki-laki itu semakin dia dekatkan pada sang adik yang tidak mau juga menjabat tangannya. Sepertinya yang muda masih sulit untuk memafkan abangnya, atau mungkin ada tujuan atau keinginan lain agar dirinya memaafkan yang lebih tua.

Near (HyuckRen)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang