Sembilan Belas

860 112 4
                                        

Selamat membaca. :”)

***

Komitmen merupakan krisis terbesar dalam hidup Miranda. Tidak seperti Mia yang berani mengamini lamaran Rafael si bos superseksi ataupun Nayla (yang mungkin jidatnya kejedot ampe lupa sumpah PKKT alias Perserikatan Korban Kediktatoran Toni) yang sekarang berbunga-bunga menikmati indahnya perhatian Toni si tuan irit ekspresi. No, darling no. Ibarat pohon dengan segenap buah, daun, beserta benalunya; pohon kehidupan milik Miranda menghasilkan sederet masalah. Semisal, betapa dia tidak bisa memercayai siapa pun (bahkan berkeluh kesah). Semisal, entah mengapa setiap ada lelaki yang berniat serius terhadapnya, dia malah merasa jengah dan ingin kabur secepat kilat (nonono, I can’t). Semisal, ada kebutuhan meluapkan emosi dalam dirinya menjadi ucapan, tetapi begitu akan mengungkapkan seluruh unek-unek mulutnya malah terkatup rapat. Semisal, kebencian terhadap ayah dan Morgan terakumulasi menjadi dendam tidak berkesudahan persis serial Dendam Nyi Pelet. Seperti itu.

Well, hidup memang tidak seindah iklan sabun mandi. Boro-boro mulus dan licin, kehidupan Miranda butuh lulur untuk membersihkan daki ketidakbahagiaan.

Miranda perlu memperbaiki kerusakan dalam dirinya. Akhir-akhir ini dia kesulitan tidur. Pil-pil kimiawi yang disarankan dokter pun terabaikan di lemari dapur. Tidak, tidak, dan tidak. Dia tidak berani mengonsumsi obat tidur karena efek jangka panjangnya. Pilihan terakhir jatuh pada teh herbal. Kalaupun tidur, biasanya tidak bermimpi apa pun. Bangun dalam keadaan lesu, seluruh badan ngilu seolah melakukan olahraga siang malam tanpa henti.

Seburuk itulah kehidupan Miranda.

“Kamu bisa mencoba kenalan dengan mereka.” James memamerkan seulas senyum penuh perhatian. “Tertarik?”

Komitmen, kata Miranda dalam hati.

Padahal mereka hanya menghabiskan waktu dengan berbincang; membahas novel, saling ejek, dan mungkin berharap salah satu di antara keduanya akan bersatu dalam ikatan suci. Komitmen. Berarti Miranda harus membuka borok masa lalu miliknya kepada James. Oh dear, Miranda belum siap. Dia tidak sanggup membagi potongan tidak menyenangkan dari sebagian besar keburukannya. Tentang orangtua, Morgan, dan ... sanggupkah aku tidak hancur dalam prosesnya nanti?

James bukan Morgan, Miranda mencoba fokus pada kehidupannya di masa sekarang. Dia tidak akan membohongiku, ‘kan?

Morgan dulu pun pernah berjanji akan selalu ada bagi Miranda. Namun, janji tinggal janji. Segala sesuatu berubah, begitupun perasaan Miranda kepada Morgan dan sebaliknya.

“Kalau kamu nggak keberatan,” kata James, sedikit menampilkan cengiran. “Kita bisa mencoba. Bayangin aja aku Tejaarum yang pengin ngeboyong Roro Hoyi. Romantis, ‘kan?”

“Oh ya?” Miranda memainkan alis, naik turun macam wahana arum jeram. “Kamu mau jadi Tejaarum? By the way, Tejaarum lho yang ngebunuh Roro Hoyi.”

Sontak James langsung salah tingkah. “Hei aku nggak bakalan kaya gitu.”

Miranda menyunggingkan senyuman maut. “Kira-kira mama kamu bakalan setuju?”

James manggut-manggut. “Felix sih pasti senang ketemu kamu.”

“Oooooh. Gitu.”

“Gimana? Kira-kira proposal pendekatan kita ini lolos atau enggak?”

Miranda terbahak-bahak melihat roman sok lucu buatan James. “Idih. Enggak ah.”

“Kenapa?”

“Nggak pengin dikejar media massa. Capek.”

James menepuk jidat. “Capek banget jadi orang ganteng.”

***

“Ben, kira-kira kenapa ada cewek yang nggak mau pacaran sama artis?”

James kali ini tengah istirahat setelah acara pemotretan untuk produk baju milik Clarisa Wijaya, salah satu desainer yang tengah meroket setelah peragaan busana bertema Negeri Seribu Satu Malam. Di ruang ganti sekaligus ruang tunggu bagi model, James mulai mengutarakan kegalauan miliknya kepada Ben. Keduanya duduk di depan stan rias.

“Berarti doi malas jadi buruan paparazi,” celetuk Ben yang sibuk memperhatikan bibit jerawat yang mungkin nongol di wajahnya. “Iyuh, rempong amat hidupmu.”

“Cuma itu?”

“Ya apa lagi sich? Pacaran ama public figure emang butuh kesabaran, James-ku tersayang tiada dua. Dikira semua cewek tabah lahir batin, kali ya? Coba situ bayangin perasaan akyuh saat melihat Papa Brad Pit pelukan sama cewek. Sakitnya tuch di siniiiiii.”

Sebenarnya James berniat mengoreksi contoh soal yang diberikan Ben, tetapi ponselnya keburu berdering—minta perhatian.

“Ya, Mama.” Kanjeng Mami tidak boleh diabaikan, nanti kualat. Begitulah alasan James bersedia menerima panggilan telepon. Dia tidak ingin mengikuti jejak kesuksesan Malinkundang sebagai pemuda tidak tahu diri. “I love you.”

“Mama pasti lebih bahagia kalau kamu ngabarin rencana pernikahan, James.”

Ulala, acara ceramah mengenai pentingnya mempertahankan populasi manusia pun dimulai. “Ma, jodoh, kan, nggak boleh diburu.”

Terdengar suara dengusan dari seberang sambungan. “Jodoh nggak bakal datang kalau kamu diam di tempat. Bergerak, James. Jangan hanya menunggu.”

Ben yang menangkap ketidaknyamanan James pun hanya bisa memberikan kedipan penyemangat. Yuk bisa, yuk. 

“James, Mama nggak keberatan kalau ternyata kamu lebih suka bule daripada pribumi. Yang penting kamu harus ngabarin Mama, bawa dia ke sini.”

“Ma, James nafsunya sama cewek yang mau sama James.”

“Udah, jangan gitu.”

“Demi cintaku kepada Mama, James serius.”

“Kapan kamu bawa mantu?”

“Sedang usaha, Ma. Calon mantunya susah didekatin.”

Saat itulah Ben terbahak-bahak.

James merengut, tidak suka ditertawakan. “Ma, tolong jangan neror James dong.”

“Oh jadi sekarang kamu merasa terganggu. Begitu?”

Ampun, Kanjeng Mami! “Bukan begitu ... James hanya pengin menikah dengan yang sehati.”

“Coba kamu ngomong gitu sama cewek yang pakaiannya kurang bahan, siapa kemarin yang kamu bawa? Tari? Teri?”

“Cherry, Ma,” James mengoreksi. “Kok Mama kecewa begitu. Kan, seenggaknya James pernah ngenalin ke Mama.”

Tanpa melihat pun James tahu ibunya tengah menggeleng nelangsa.

“James, Mama nggak mau punya mantu yang pakaiannya bisa sobek kapan pun. Ngeri. Coba kamu tiru Felix. Dia milih teman semasa kuliah. Tahu luar dalamnya. Tahu keluarganya. Tahu pekerjaannya. Tahu seberapa baik dia ke kamu dan keluargamu.”

Lagi-lagi James dibandingkan dengan Felix. Rasanya James ingin menjungkirbalikkan dunia Felix dengan mempertontonkan koleksi majalah Playboy yang dulu dia sembunyikan. “Ma, James beneran usaha.”

“Udah,” Mama mencetuskan ide, “kamu nggak perlu usaha. Kamu tinggal ke sini nanti Mama kenalin sama anaknya teman Mama. Katanya dia lulusan universitas ternama dan berencana melanjutkan jenjang pendidikan ke luar negeri. Atau kamu minta anak temannya Papa? Tinggal pilih. Kamu mau yang tinggi, hitam manis, pinter masak, pinter nyanyi, Papa bisa carikan.”

Saat itulah James pura-pura batuk. “Duh, Ma. James pamit mau minum dulu. Haus.”

Panggilan terputus.

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang