"Nda, kamu bertapa di gunung mana, sih? Susah amat dicarinya!"
Setelah menimbang, memperhatikan, memperkirakan, dan menakar, Miranda akhirnya mengamini permintaan Nayla: Bertemu. Kali ini Miranda mencoba membaca horoskop. Angka keberuntungan sembilan, cek. Warna merah hitam, cek. Kesehatan perut sedikit bermasalah, cek. Kesimpulan, Miranda mulai hiperbolis. Dia bukan tipikal petapa dari Gunung Merapi yang akan berhati-hati dan sebisa mungkin memilih jalan yang tidak bersimpangan dengan marabahaya. Lihat saja deh, kemarin dia tidak bertemu Kikan. Omong-omong Kikan sepertinya wajib dilarung ke laut. Okey, Miranda akan mempersiapkan sajen untuk menyertai Kikan perjalanan menemui ratu paus.
Miranda, my baby. Sayangku sakit. Ketemuannya diundur, ya?
Sakit tapi tidak berdarah. SMS yang sangat bermanfaat. Datangnya pun bertepatan dengan momen Miranda masuk ke mobil dan bersiap pulang. Dal am hati dia sudah bersiap mengumpat, menyumpal Kikan dengan ikan, atau yang terbaik: Tenggelamkan.
Sip, kembali ke Nayla, teman terbaik Miranda (ya enggak, sih?). Wanita itu sibuk menjelajahi hunian baru Miranda. Matanya jelalatan ke sofa, meja, lantai, gorden, jendela, dan bahkan sempat-sempatnya menanyakan tetangga Miranda.
"Nda, cowok yang pakai celana ijo itu masih single, enggak?"
Berhubung Miranda termasuk wanita berhati legowo , maka tanpa ragu dia membalas, "Nay, inget Pak Toni. Kamu mau disantet, hah?"
"Jangan cemas," kata Nayla, santai. "Peletku kelas dewa. Doi enggak bakal nyadar."
Miranda memutar bola mata. "Terserah deh."
"Nda, kok kamu nggak ngomong-ngomong sih?" Nayla merebahkan diri di sofa, sikapnya mirip kucing minta digampar. "Resign, pindah rumah, jangan bilang kamu mau ngelangkahin aku?"
Nayla menegakkan tubuh, menatap langsung Miranda yang duduk di seberang. "Nda, kamu mau nikah, ya? Please, aku duluan dong. Pak Toni belum nemuin mamaku."
"Nayla, kamu nyindir?"
Miranda bersidekap, menyilangkan kaki. Celana jins yang dikenakan Miranda sukses membuat Nayla iri saat melihat betapa sempurnanya kedua kaki tersebut. Jenis-jenis kaki yang bisa dipakai melenggok di atas karpet merah. Jepret, jepret, jepret. Jangan lupa lambaikan tangan ke kamera.
"Enggak sih," kata Nayla sembari meraih cangkir teh. Sesekali dia menghidu aroma lemon sebelum meneguknya. "Aku, kan, nggak mau dilangkahin. Bercanda, Nda."
Miranda mendengus, kesal. "Kelakar garing."
Nayla meletakan cangkir teh, diamatinya potongan lemon yang mengapung. "Nda, aku bisa jadi pendengar yang baik loh."
"Yeah, aku banget." Miranda mulai menghitung menggunakan jari lalu menyebut, "Ngedengerin kamu ngedumel pas Pak Toni enggak mau diajak kencan ke Dufan. Nay, situ sadar umur, enggak? Terus waktu drakor Scarlet Heart apa itulah judulnya. Kamu terus nyerocos ceweknya ngenes banget ninggalin rajanya. Noh, kapan kamu memosisikan diri sebagai pendengar yang baik?"
"Terus, sebutin semua dosaku, Nda," kata Nayla menyemangati.
"Malas."
"Oke. Setop, yah, ngelawaknya sebelum cangkirnya melayang." Nayla menghela napas, butuh beberapa detik sebelum dia kembali mengutarakan niatannya. "Nda, kamu sekarang susah ditemuin. Facebook, twitter , bahkan SMS-ku enggak pernah dibalas. WA-mu juga ... ada apa, Nda?"
Miranda diam. Tak membalas.
"Oke, Nda. Aku nggak sepintar Mia yang bisa langsung kasih solusi buat semua masalah. Tapi, percaya deh. Seenggaknya aku bisa jadi tempat sampahmu."

KAMU SEDANG MEMBACA
With You... (TAMAT)
Chick-LitGimana rasanya bertetangga artis setenar James? Miranda mencoba peruntungan asmara. Kali ini dia tidak akan kalah membuktikan diri sebagai "warga Indonesia yang bahagia". Satu-satunya masalah ialah, tidak ada cowok yang bisa membuat Miranda melupaka...