Dua Puluh Satu

712 105 3
                                        

James dan Miranda kini mulai menemukan ritme dalam hubungan mereka. Semisal makan malam bersama. Kadang James mengundang Miranda mencoba mencicipi masakannya, yang semoga cocok di lidah Miranda. Ada pepatah bahwa cinta bisa datang dari perut lalu naik ke jantung hati. Barangkali sihir peri cinta sedia mengabulkan permohonan James.

Ayo dong, Peri Cinta. Jangan malu-malu mengabulkan permintaan darurat ini!

Konon tidak perlu terburu-buru menangkap cinta. Oke, James setuju. Namun, belum tentu Miranda berpikir dua kali bila menemukan calon pendamping yang sesuai seleranya. Ben si ahli percintaan dan jago menafsirkan rumus hati pernah berpesan bahwa cinta itu bukan perkara pintar mengatakan ucapan manis yang mengandung unsur rayu cap buaya darat. Dia, si Ben sang penakluk cinta (meski klaimnya masih diragukan kebenarannya), menganjurkan agar James mulai mendekati Miranda dengan hal-hal sederhana, tapi berkesan.

“Gini, ya, Say,” kata Ben suatu hari. “Situ harus berusaha menciptakan suasana senyaman mungkin. Jangan mencoba berpura-pura jadi sesuatu yang dia sukai. Cukup perhatikan kebiasaannya. Mulai dari warna kesukaan, penyanyi favorit, buku yang sering dibaca. Seperti itu. Mirip Pangeran Cilik yang merawat mawar.”

But! Ben pun menambahkan: “Semoga saja, ya. Mawar yang kamu rawat nggak nyebelin seperti mawarnya Pangeran Cilik.”

Lalu, dari sanalah James menyadari keuntungan-keuntungan yang selama ini ia abaikan.

1. Sebagai tetangga Miranda, dia bisa mengetahui rutinitas sasarannya.

2. Mereka berdua, James dan Miranda, sama-sama suka membaca.

3. Miranda tipikal pembaca yang tidak pemilih. Dia senang membahas novel apa pun bahkan cerita mengenai suster ngesot pun oke.

4. James tidak suka cerita suster ngesot.

5. James benci semua film, novel, pokoknya segala hal yang berkaitan dengan horor.

6. Akhirnya James berusaha meminta keringanan agar Miranda tidak mengajaknya baca dan nonton horor.

7. Tidak berhasil.

Tidak masalah. Setidaknya James masih bisa mengundang Miranda makan malam.

Kali ini dia berencana menyajikan spageti (menu yang paling ia kuasai karena gampang). Miranda bersedia datang dan berjanji tidak akan membahas kuntilanak maupun tuyul bila sedang bersama James. Namun, saat acara makan malam selesai, Miranda memilih membahas Kolong Wewe dan Pocong.

“Jadi,” Miranda menjelaskan, “ternyata pocong itu nggak loncat-loncat, tetapi terbang.”

Mereka berdua tengah membersihkan piring dan peralatan masak. James yang mencuci dan membilas, sementara Miranda bertanggung jawab mengeringkan dengan lap. Keduanya berdiri berdampingan seolah akan mengucap janji suci pernikahan ... ups, maksudnya mereka berdiri berdampingan sembari mengobrol. Yups, obrolan dengan tema setan lokal yang membuat James ingin mengamuk.

“Aku bahkan nggak peduli Mr. P ingin terbang seperti Superman,” James menggerutu. “Kamu apa nggak pengin ngebahas sesuatu yang lebih aman dan tidak mengerikan?”

Miranda menerima piring yang sudah dibilas oleh James dan mulai mengelap. “Katanya ingin mengenal lebih jauh?” Alis Miranda naik turun seperti ulat disko. “Ayo buktikan cintamu.”

“Apa ini artinya kita resmi pacaran?”

Miranda mencolek lengan James. “Pacaran hanya untuk anak ABG.”

“Apa kita nikah saja?”

“Kamu, ‘kan, masih butuh popularitas. Bagaimana nanti kalau penggemarmu kabur?”

James mematikan keran. Kini dia menatap Miranda. “Tahu, enggak? Aku nggak keberatan dengan kamu. Jangan terlalu memikirkan pendapat orang luar mengenai kita. Aku dan kamu yang ngejalanin.”

“Oke....” Miranda meletakkan piring terakhir di rak. Jemarinya sibuk meremas lap seolah tengah mempertimbangkan sesuatu. “Rasanya aneh saja. Kita belum lama mengenal. Ketemunya lewat kejadian nggak terduga pula!” Miranda mengibaskan tangan seolah mengusir kenangan lucu mengenai pertemuan awal mereka. “Kamu tiba-tiba bilang tertarik denganku. Terlalu tiba-tiba. Apa kamu yakin aku yang kamu cari? Lagi pula, kenapa kamu suka aku?”

“Benar juga.” James mengetuk-ngetuk dagu, berpura-pura berpikir. “Aku bisa sebutin seratus alasan suka kamu, tetapi aku nggak bakal bisa menyebutkan satu hal yang membuatku benci kamu. Bahkan kebiasaan kamu cerita horor saja tetap bisa aku terima. Kamu nggak harus mengubah apa pun. Aku suka kamu. Aku suka seluruh dirimu.” James pura-pura membuat bola dunia dengan cara menggerakkan tangan membentuk lingkaran khayalan. “Kamu sempuran bagiku.”

Of course, James berharap kebiasaan-kebiasaan kecil yang mereka ciptakan bisa mengarah ke hubungan serius. Cough. Cough. Dia tidak keberatan dengan kebiasaan buruk Miranda. Termasuk nyinyirannya mengenai setan lokal.

“Kamu serius?”

James mengangguk. “Aku bisa menunggu sampai kamu siap.”

“James, kamu harus tahu sesuatu.”

Tiba-tiba saja suasana hangat di antara mereka meredup.

Susah payah James menelan ludah. “Oke.”

Dan Miranda pun mulai bercerita.

***

Tidak pernah satu kali pun Miranda mengungkapkan masa lalu kepada siapa pun, termasuk kepada sahabatnya.

Akan tetapi, kini Miranda merasa perlu. Dia merasa harus menumpahkan kebenarannya kepada James. Bahkan meskipun setelah pengungkapan kebenaran akan merenggangkan hubungan baik antara mereka. Miranda siap. Dia tidak ingin dihantui oleh setan masa lalu. Saat dia ingin melabuhkan hati dan perasaan, maka penting tidak menutupi kebenaran. Dia ingin diterima James secara utuh; segala kesempurnaan, kelemahan, bahkan keburukan. Dia ingin merasa aman saat bersama James.

Jadi, Miranda pun menceritakan semuanya. Mengenai ibunya, ayahnya, bahkan Morgan. Sepanjang bercerita, James diam mendengarkan. Tidak ada ekspresi apa pun yang terlintas di wajah James. Barangkali karena James pandai bermain peran hingga bisa menyembunyikan perasaan. Namun, mungkin lebih baik Miranda tidak tahu isi kepala James sebelum dia selesai menuntaskan cerita.

“Oke.”

Itulah yang James katakan setelah Miranda selesai bercerita.

“Kamu nggak keberatan?” Miranda bersidekap. Bingung antara takjub dengan kebebalan James atau harus mempertimbangkan mengirim James ke psikiater. “Kamu nggak takut?”

“Apa yang perlu aku takutkan?”

Miranda memijat pelipis. Tiba-tiba saja dia butuh minum obat sakit kepala. “Aku pernah suka kakakku sendiri!”

“Kakak tiri,” James mengoreksi. Dia merapikan anak-anak rambut Miranda. “Nggak papa kok. Sekarang kamu nggak sendirian. Ada aku,” tunjuknya kepada diri sendiri. “Kamu juga punya teman. Bukankah itu berarti sesuatu yang bagus buat kamu? Kamu nggak sendirian!”

Miranda benar-benar kehabisan kata-kata.

James terlalu luar biasa.

Atau aneh.

***
Diterbitkan pada 16 Juni 2021.

With You... (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang