Selamat membaca. :)
Andai diizinkan Miranda ingin menghajar Morgan dengan segenap kesungguhan hati. Jap. Jap. Upper cut! Pokoknya dia ingin meluapkan seluruh emosi serta kekesalan dengan serangan mematikan yang dipelajarinya dari menonton pertandingan Mohamad Ali di YouTube. Namun, karena dia tidak bisa menyerang Morgan dengan cara barbar, akhirnya memilih jurus lain: Makan di restoran Padang.
Miranda tahu bahwa Morgan tidak bisa menoleransi makanan bersantan dan pedas. Tidak ada salahnya memperlihatkan ketidaksukaan terhadap seseorang yang telah berani menyakiti kepercayaan. Bagaimanapun juga pengkhianat merupakan musuh terbesar dalam dunia Miranda.
“Balas dendammu benar-benar nggak ada duanya,” Morgan mengomentari pilihan tempat makan yang diajukan Miranda. “Kamu tahu, ‘kan, aku nggak bisa makan pedas?”
Keduanya telah berada di salah satu rumah makan padang yang cukup ramai dikunjungi pekerja kantor lantaran kenyamanan, kebersihan, harga, dan tentu saja rasa makanannya. Miranda sengaja memilih meja yang berada tepat di tengah ruangan. Sebagian orang mulai melahap makanan dan memperbincangkan pekerjaan, sisanya pura-pura makan sembari melirik Miranda dan Morgan. Mereka berdua tampak seperti artis sinetron. Mungkin ada yang berkeinginan meminta tanda tangan. Bisa jadi.
“Kamu bisa pesan nasi putih tanpa lauk dan teh manis,” kata Miranda, cuek. Tidak repot-repot menawarkan menu ayam dan ikan goreng kepada Morgan. Dih nggak usah, Miranda memutuskan bersikap kejam. Dia bahkan langsung menikmati nasi hangat, rendang, rebusan daun singkong, dan ikan goreng. Biasanya Nayla pasti akan mengomentari menu apa saja yang wajib dicicipi di rumah makan padang. Berhubung ada bermacam pilihan lauk yang membuat manusia sejenis Nayla yang hobi makan pasti bersorak, “EUREKA! HORE!” Seperti Tuan Amstrong yang berhasil menjejakkan kaki di bulan. Eforianya setara. “Nda, masakan Padang itu enaknya nggak ada duanya. Pokoknya top. TOP!” Begitu Nayla selalu memuji sajian masakan Padang. Andai boleh memilih, pastilah Miranda lebih bahagia makan bersama Nayla daripada ditemani Morgan. Ara ara.
Telanjur basah, Morgan pun memilih memesan teh hangat. Dia tidak berani mengambil risiko bertaruh dengan cabai, perutnya pasti melilit—sakitnya minta ampun.
“Mira, kembalilah.”
“Ogah,” Miranda menolak. “Kalian semua keterlaluan, terutama kamu.”
Morgan meneguk teh, membiarkan rasa hangat membasuh tenggorokkan. “Aku nggak bermaksud menyembunyikan kebenaran.”
“Oh ya, nggak bermaksud menyembunyikan kebenaran,” Miranda membeo ucapan Morgan, tetapi dengan nada sinis. “Kita berdua hampir mengikuti jejak keluarga Lanister.”
“Cersei selingkuh dengan kembarannya, Mira,” Morgan mengoreksi.
Setelah menandaskan makanan, Miranda langsung minum air putih. “Padahal waktu itu kamu bisa ngomong ke aku kalau kamu adalah kakak tiriku. Seayah. Sesusah itu bagimu mengakui kebenaran.”
Kali ini lelaki yang duduk di seberang meja tidak bisa membalas serangan Miranda.
“Nggak, kamu nggak mau jujur,” Miranda melontarkan kekecewaan yang selama ini dipendamnya seorang diri. “Sampai aku tinggal serumah denganmu. Tahu nggak, ibumu benar-benar membenciku sepenuh hati.”
Seulas senyum sinis terpulas di bibir Miranda. Dia tidak lupa label yang ditempelkan kepadanya oleh si ibu tiri: Putri pelacur. Ibu kandung Miranda hanya seorang pelukis. Bukan pelukis terkenal yang sanggup menggelar pameran di galeri megah, melainkan pelukis kelas bawah yang bertahan hidup dari tambahan kerja lainnya—dengan kata lain, pekerja serabutan.
Pada waktu itu ibu Miranda bahkan tidak tahu bahwa lelaki yang selama ini mendekatinya ternyata telah beristri. Lantas begitu dia mengetahui kebenarannya, wanita itu langsung memilih melarikan diri dan berharap ayah kandung Miranda tidak akan mencarinya; berharap bisa kembali kepada wanita yang syah. Namun, entah karena cinta ataupun ego, lelaki itu kukuh mengejar ibu Miranda.
Akhir cerita: Merepotkan.
Miranda tidak ingin mencontoh orangtuanya. Dalam mencintai dia ingin merasa aman dan tenteram; tidak ingin merasa diabaikan, resah mengharap balasan perasaan, dan sakit hati. Sekali berkomitmen dia hanya ingin merasa lelaki yang menjadi suaminya merupakan pelabuhan yang selama ini dicari olehnya.
Dengan kata lain, rumah.
Iya, rumah. Tempat dia bisa meluapkan segala rasa tanpa takut curiga dari pasangannya. Tidak ada dusta.
“Kamu nggak bisa selamanya melarikan diri, Mira.”
“Aku nggak melarikan diri kok,” katanya mendebat. “Aku hanya ingin melindungi diriku dari rasa sakit.”
Bibir Morgan terkatup rapat, tidak bisa membalas.
***
Diterbitkan pada 7 Maret 2021.

KAMU SEDANG MEMBACA
With You... (TAMAT)
ChickLitGimana rasanya bertetangga artis setenar James? Miranda mencoba peruntungan asmara. Kali ini dia tidak akan kalah membuktikan diri sebagai "warga Indonesia yang bahagia". Satu-satunya masalah ialah, tidak ada cowok yang bisa membuat Miranda melupaka...